"Ada apa tadi menelepon Dani, Buk? Maaf tadi tidak tahu Ibu menelepon. Seharian Dani sibuk terus, Buk. Jadi ada apa, Buk?" tanya Dani melalui sambungan telepon.Dani baru saja menelepon, setelah satu jam yang lalu aku menghubunginya tapi tak ada jawaban darinya."Tidak, Dan. Tadi rencananya ibu mau minta bertemu denganmu besok, ada yang ingin ibu sampaikan padamu, tapi sepertinya tidak bisa," jawabku."Memangnya kenapa tidak bisa, Buk?""Besok ibu diminta Dina untuk ke rumahnya. Dia akan berlibur dengan keluarga suaminya. Lalu dia meminta ibu untuk mengawasi karyawannya di toko."Hening. Tidak ada sahutan dari Dani. Entah apa yang sedang dipikirkannya mendengar jawaban dariku, hingga dia tidak menyahutinya. Apa ada perkataanku yang salah hingga diam saja? Tapi apa? Aku pun mengernyitkan kening, tidak mengerti dengan apa yang salah pada jawabanku."Ada apa, Dan? Kenapa diam saja?" tanyaku ketika Dani, saat dia tak juga membuka suaranya setelah beberapa detik berlalu."Hmm ... tidak apa
"Baiklah. Biarkan saja, Buk. Jangan melarang Damar melakukan apapun. Cukup Ibu perhatikan saja, biar Dani yang mengurus sisanya." Dani menggenggam tangan keriputku lembut, tampaknya dia sedang mencoba membuatku tenang.Aku baru saja menceritakan tentang Damar yang menjual mobilnya pada Dani. Dan kekhawatiranku kalau Damar menginvestasikan uangnya pada Hendri.Dani menepati janjinya menjemputku di toko Dina. Dia datang tepat setelah toko tutup."Baik, Dan. Ibu akan mengikuti perkataanmu," sahutku.Dani tersenyum menatapku, tapi tiba-tiba senyumnya berhenti ketika melihat punggung tanganku. "Ini kenapa, Buk?" tanyanya sembari mengangkat tanganku, memperlihatkan tanganku yang membiru.Aku langsung menarik tanganku dari genggaman Dani. "Tidak apa-apa, Dan. Tadi ibu hanya tidak hati-hati saja waktu di toko Dina."Netra Dani memicing, "Katakan apa yang sebenarnya terjadi pada tangan Ibu," tegas Dani."I-bu ti-dak apa-apa, Dan. Sungguh." Aku tergagap. Tapi aku masih mencoba meyakinkan putra
"Din, hari ini ibu tidak bisa buka toko. Tolong kamu hubungi karyawanmu untuk tidak usah datang hari ini," ucapku pada Dina melalui sambungan telepon."Ibu apa-apaan sih? Kenapa tidak bisa membuka toko?" Suara Dina sedikit meninggi.Aku menghela napas panjang. Seperti dugaanku. Dina pasti akan marah jika aku tidak menuruti keinginannya. Tapi aku juga kadung janji pada Dani untuk tidak pergi ke toko Dina hari ini."Ibu lagi tidak enak badan, Din," jawabku, tidak sepenuhnya berbohong. Aku memang sedang tidak enak badan. Seharian mondar mandir ikut melayani pembeli membuat kakiku sedikit nyeri. Mungkin karena efek usia, hingga tubuhku jadi seperti ini."Halah, Ibu pasti hanya alasan saja! Padahal aku meminta tolong pada Ibu juga tidak gratis, aku pasti akan membayar Ibu." Dengan entengnya Dina mengatakan hal yang menyakitkan padaku."Ya Allah ... aku tidak pernah mengharapkan uangmu, Din. Aku membantumu juga ikhlas, tidak pernah aku menuntut balasan atas semua yang telah kulakukan untuk
Tak terasa waktu cepat sekali berlalu, sudah sebulan sejak Dina berlibur. Kini dia tidak pernah berkunjung ke rumahku lagi. Bahkan untuk sekedar menanyakan kabarku pun tidak pernah. Mungkin dia benar-benar marah padaku.Aku menghela napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Ada sesak di hatiku ketika mengingat putriku itu. Hanya karena masalah sepele dia sampai marah seperti ini. Aku pun tidak pernah mencoba untuk menghubunginya, walau kadang ada rindu bersarang di hatiku.Ibu mana yang tidak rindu pada anaknya, ketika sudah satu bulan tidak bertemu, bahkan bertukar kabar. Rasanya ada yang hilang dari hidupku, ketika Dina tak juga mau menghubungi atau menemuiku."Ibu ... lagi melamunkan apa?" Dani menepuk pundakku lembut.Aku pun menoleh ke arahnya. Tampak Dani dan juga Nada telah berada di belakangku. Mereka mungkin baru saja tiba, tapi aku tidak menyadari kedatangan mereka. Mungkin aku terlalu fokus pada pikiranku tentang Dina. Aku pun langsung berdiri menyambut kedatangan merek
Angin dingin menembus kulitku, udara menjadi sangat dingin setelah hujan turun dengan lebatnya tadi. Aku mengeratkan sweater biru tua yang aku pakai, sembari memeluk amplop yang diberikan Dani tadi. Aku membawanya hati-hati sekali. Bahkan takut jika sampai amplop tersebut kusut.Aku memperlakukannya dengan sangat hati-hati. Dari tadi pun senyumku tidak pernah pudar.Aku berjalan dari ujung persimpangan, tadi Dani menurunkanku di sana. Sebenarnya dia ingin mengantarku sampai depan rumah, tapi aku melarangnya. Aku tidak ingin Damar banyak bertanya tentang siapa yang mengantarku pulang dengan mengendarai mobil yang terlihat mewah.Jalanan yang kulewati banyak air yang menggenang, membuatku menghindarinya agar ujung gamisku tidak basah. Sebenarnya jarak antara rumahku dan juga persimpangan tidaklah jauh, tapi jika jalanan digenangi air seperti ini, membuatku harus melangkah pelan-pelan.Aku mendesah lega ketika sudah sampai di depan rumah, tapi pandangan mataku memicing di kala melihat mot
"Aku sudah tidak tahu lagi apa yang ada di pikiran Ibu. Bisa-bisanya Ibu melakukan itu. Anakmu sedang dalam kesusahan. Tapi apa yang Ibu lakukan? Ibu malah tetap bersikeras mewujudkan impian Ibu itu! Teganya Ibu seperti itu. Damar baru tahu kalau ternyata Ibu tidak pernah menyayangi kami!" sentak Damar dengan penuh penekanan.Aku menatap bungsuku itu dengan ekspresi terluka. Aku kembali patah hati pada anak-anakku. Hatiku kembali terluka oleh kata-kata mereka."Apa yang kamu katakan, Mar? Ibu selalu menyayangi kalian. Tidak pernah ibu memikirkan diri ibu sendiri selama ini. Ibu banting tulang untuk membesarkan kalian. Membahagiakan kalian, hingga ibu sendiri lupa untuk membahagiakan diri ibu sendiri. Sejak ayah kalian meninggal, ibu tidak pernah memikirkan diri ibu sendiri. Yang ada di dalam pikiran ibu selalu kalian, berpikir bagaimana kalian bisa hidup tanpa kekurangan meski sudah tidak mempunyai orangtua yang lengkap! Lalu, bagian mana yang membuat ibu tidak menyayangi kalian? Jawa
"Ayo, Buk." Nada menepuk pundakku lembut, ketika aku masih memandang rumah yang sudah menjadi tempat tinggalku semenjak Mas Darman memboyongku setelah pernikahan kami.Rumah yang menjadi saksi bisu setiap suka dukaku dalam mengarungi pahit manisnya kehidupan. Aku merasa langkahku sangat berat meninggalkan rumah yang memiliki banyak kenangan itu.Setelah tadi Dani mengirim uang yang Damar minta, dia langsung mengajakku pergi, meninggalkan rumah yang sangat berarti untukku itu."Ayo kita pergi, Buk. Hari sudah semakin malam, kasihan Nada." Dani meraih tanganku dengan lembut, aku pun menatapnya dengan mata berkaca-kaca, setengah memohon agar dia tidak membawaku pergi dari rumah yang penuh dengan kenangan indahku bersama Mas Darman."Ibu, kita harus segera pulang, Buk. Kasihan Nada dan calon bayinya, mereka butuh istirahat yang banyak," ucapnya lagi dengan suara yang semakin melembut.Aku mengalihkan tatapanku ke arah Nada. Wanita berkulit putih dengan lesung pipi itu mengangguk. "Iya, Bu
Waktu bergulir begitu cepat, tidak terasa enam bulan telah berlalu. Kini aku semakin terbiasa hidup tanpa anak-anakku, walaupun terkadang aku masih menangisi mereka.Dina dan Damar pun tidak pernah mencariku, mungkin hidup mereka sudah jauh lebih baik dari yang dulu, apalagi dengan uang yang mereka terima itu. Tentu mereka tidak akan kesusahan sama sekali. Aku pun tidak tahu, yang pasti sekarang aku sedang berusaha menata hatiku dengan menyibukkan diri, mengalihkan kesedihanku.Setelah waktu berlalu dengan cepatnya, perut Nada pun sudah mulai terlihat membesar, hari ini aku menemaninya pergi ke dokter. Sementara Dani sedang ada meeting yang tidak bisa dia tinggalkan, hingga tidak bisa menemani sang istri memeriksakan kandungannya.Nada sudah selesai diperiksa sejak tadi, kini kami sedang mengantri untuk mengambil obat yang diresepkan dokter, setelah itu kami bisa pulang. Kami sedang duduk di tempat tunggu."Ibu, Nada ke kamar mandi dulu ya," ucap Nada tiba-tiba. Dia sudah berdiri dari