"Ra, Menurut kamu Mama bakal seneng gak liat Papa nikah lagi?" tanya Papa seraya menatap foto mendiang Mama Kara di tangannya. Kara menyandarkan kepalanya di bahu Papanya, "I bet she is, and I guess tante Nia adalah orang yang tepat, Mama pasti seneng knowing you're married to someone who love you as much as she loves you," tukas Kara dengan sedikit rasa haru di hatinya karena merindukan mendiang Mamanya. Hari itu Papa Kara dan tante Nia resmi menikah sehingga otomatis menjadikan Kara dan James menjadi saudara. Mereka menyewa satu unit restoran Italia untuk merayakan pernikahan Papa Kara dan tante Nia yang hanya dihadiri oleh saudara dan kerabat terdekat saja. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir Kara berkumpul dengan keluarga besarnya. Bahkan Mama Bagas dan Papa Bagas juga ikut datang untuk mengucapkan selamat kepada Papa Kara. "Nyuk! Aaaaaaaa kangeeeeen!!!" pekik Nadine saat bertemu dengan Kara. Mereka berpelukan dengan erat. "Lo sih lama banget di Bali!" seru Kara setelah me
Kara terbangun dengan pandangan mata yang sedikit kabur. Ia dapat mencium aroma khas rumah sakit dan telinganya dapat mendengar dengan jelas suara detak yang mirip seperti suara detak jantung manusia dengan ritme yang lebih cepat. Setelah sepenuhnya terjaga, Kara baru menyadari jika ia berada di dalam ruang IGD rumah sakit dengan alat bantu nafas tertancap di hidungnya dan alat CTG menempel di perutnya. Ternyata detak jantung yang ia dengar adalah detak jantung bayi dalam kandungannya yang terdengar melalui alat CTG atau Cardiotocography. "Pasien siuman dok!" teriak seorang perawat yang sedang memantau gerakan alat CTG di perut Kara. Seorang dokter bergegas mendekat, ia memeriksa mata Kara. "Halo bu, saya dengan dokter Ratna, ibu sekarang berada di Royal Hospitals, keluarga ibu sedang menunggu di luar, jadi jangan cemas ya. Saya mau tanya beberapa pertanyaan untuk memeriksa keadaan ibu," ujar dokter Ratna dengan senyum yang ramah. Kara hanya mengangguk samar, nyaris tak terlihat. "
Tak ada yang lebih mengerikan dari pada fakta bahwa ada seseorang atau mungkin lebih, yang berhasil menyelinap masuk ke dalam kediaman keluarga Mahendra tanpa seorang pun menyadarinya. "Saya masih yakin ada orang dalam yang terlibat, it's not easy Gas buat bawa-bawa tabung klorin ke ruang pompa kolam renang sementara satu-satunya akses masuk cuma dari pintu utama," tukas Kara keesokan harinya setelah keadaannya sudah semakin membaik. Bagas mengangguk, "Kamu bener, polisi lagi selidiki semuanya Kar, jangan khawatir ya... We're moving to penthouse soon," ujar Bagas yang cukup membuat Kara terkejut. "Penthouse? Bukannya malah lebih riskan Gas?" tanya Kara agak khawatir. "Penthouse tempat yang paling aman Kar, saya gak bisa ngebiarin kamu di rumah Mama sementara kita belum tau siapa diantara para pekerja kita yang ternyata berkhianat, gimana saya bisa tenang sementara benak saya terus berprasangka apa jangan-jangan makanan kamu diracun atau jangan-jangan akan ada yang dorong kamu dari
"Nemuin Thalita?!" tanya Kara dengan wajah terkejut. Bagas mengangguk pelan. Saat itu mereka sudah berada di Penthouse yang interiornya sudah selesai dirubah menjadi lebih ramah anak. "Emang gak bahaya?" tukas Kara dengan wajah gamang. Bagas menghela nafas panjang, "Kar, dia jadi kayak gitu karena saya..." gumam Bagas sambil menunduk. Dua tahun yang lalu di positano, Bagas berjanji akan kembali ke Thalita setelah kontrak pernikahannya dengan Kara selesai. Thalita dengan segala kehidupan bebasnya mempercayakan hatinya kepada Bagas, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicintainya, tapi Bagas mengecewakannya. Seumur hidup Thalita ia tidak pernah dicampakkan. Puluhan kali berpacaran dengan banyak pria, Thalita adalah pihak yang selalu mencampakkan. Namun Bagas merubah semuanya. Bagas menyakitinya dan meninggalkannya tepat di saat ia memilih untuk mempercayakan hidupnya pada Bagas. Tak ada lagi yang tersisa bagi Thalita, bagi Thalita hidupnya berakhir tepat saat Bagas memilih untuk
"Gas, kamu yakin mau melanjutkan perkara ini?" tanya Kara pelan. Saat itu ia dan Bagas sedang duduk berdua di kitchen bar. Bagas melamun, menatap piring di depannya dengan tatapan kosong. "Saya takut Kar, saya takut dia akan bertindak lebih jauh..." tukas Bagas tanpa menatap Kara. "Kemaren Theo bilang Thalita bisa aja dijerat hukuman sampai lima belas tahun penjara, kamu yakin kamu gak akan merasa bersalah sama dia seumur hidup kamu?" tanya Kara dengan perasaan yang campur aduk. Bagas mendongak, "Memangnya kamu bisa memaafkan?" Bagas balik bertanya, matanya menatap Kara dalam. "Saya lebih baik memaafkan Thalita dari pada harus ngeliat kamu berkubang dalam rasa bersalah seumur hidup kamu," tukas Kara, tak ada keraguan di matanya. "Kamu yakin Kar? Dia gila Kar, dia bisa bertindak nekat!" seru Bagas, bayangan Thalita yang histeris kemarin melintas di benaknya. "Saya justru mau tanya sama kamu, kamu yakin setelah menjebloskan Thalita ke penjara lagi untuk waktu yang lama kamu bisa hi
Bukan hal mudah untuk berbicara pada Mama dan Papa Bagas perkara keinginan Bagas dan Kara untuk pindah ke negara lain. Tapi setelah mereka mengatakan ini semua demi keselamatan dan kenyamanan hidup cucu mereka, akhirnya Papa dan Mama Bagas setuju, bahkan Papa Bagas berjanji akan membantu untuk memblokir akses Visa Thalita ke negara tersebut. "Konyol ya Gas kita..." gumam Kara seraya memandang ke sekeliling penthouse. Bagas menoleh, menatap Kara dengan tatapan penuh tanda tanya. "Selama dua tahun pernikahan, kita udah berapa kali pindah rumah, ini penthouse baru di renov terus mau kita tinggalin lagi," tukas Kara setengah tertawa. Bagas ikut mendengus tertawa, "Gak pa pa lah, ikutin insting aja, yang penting happy!" seru Bagas yang sudah merasa sangat yakin dengan keputusannya. Kara mengangguk, "Semoga di tempat yang baru kita bisa lebih bahagia ya Gas..." ucap Kara seraya merangkul leher Bagas dengan kedua tangannya. "Semoga..." sahut Bagas lalu mengecup bibir Kara lembut. *****Sa
Dengan panik Bagas menggendong Kara ke dalam mobil. Kara merasakan sedikit mulas pada perutnya, "Okee Kara relaks atur nafas... atur nafas... everything will be alright..." Kara mencoba menenangkan diri sementara Bagas sedang sibuk mencari rumah sakit terdekat di mesin pencarian google. "Oke Kar, let's do this! Hang in there baby!" seru Bagas lalu menginjak pedal gas dan melaju menuju St. Pauls Hospitals. Baik Kara maupun Bagas sama sekali tidak mengira bahwa Kara akan mengalami pecah ketuban di usia kandungan yang baru menginjak 33 minggu. Keringat dingin mulai membasahi kening dan leher Kara, Bagas merasa sangat gugup dan panik karena ia tidak menyangka hal ini akan terjadi lebih awal. Ia hanya terus menerus mengatakan pada Kara bahwa semua akan baik-baik saja. Sampai di rumah sakit, Bagas segera menghentikan mobil di depan IGD dan meminta bantuan staf medis untuk membawa Kara ke dalam. Kara terlihat sudah sangat pasrah sambil terus menerus mencoba mengatur nafasnya. Seorang per
Dunia seakan runtuh bagi Bagas saat ia melihat Kara terkulai lemas. Dokter mengatakan Kara mengalami perdarahan hebat sehingga dokter perlu memberikan Kara alat bantu nafas dan transfusi darah karena HB kara yang anjlok ke angka 7.Bagas diminta untuk menunggu di luar agar ia tidak panik, sementara bayi perempuan mereka sudah di urus oleh perawat dan di masukan ke dalam inkubator karena kondisinya yang prematur. Di sela doa dan tangisnya Bagas teringat Mamanya, ia menghubungi Mamanya dan menceritakan apa yang terjadi, Mama sangat terkejut dan memberi wejangan untuk membesarkan hati Bagas. "Ma makasih ya udah lahirin aku ke dunia, selama ini aku gak tau kalau perjuangan Mama dulu mungkin juga seberat ini. Aku minta maaf kalau selama ini selalu bikin Mama kecewa, sekarang aku minta tolong sama Mama buat do'ain Kara supaya dia bisa lalui semua dengan baik..." ujar Bagas sambil sesekali menyeka air matanya. "Aku gak akan bisa hidup bahagia kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama K