"Kar, saya udah nemu tempat yang lebih tepat buat butik kamu," tukas Bagas tiba-tiba, saat itu Kara sedang sibuk menyedot debu di karpet dengan vacum cleaner. Kara mendongak terkejut, "Maksudnya? Kan interior butik saya udah hampir seratus persen jadi di gedung kantor kamu?" tanya Kara tak mengerti. Bagas menghampiri Kara, mematikan tombol vacum cleaner yang berdengung berisik, lalu berdiri tepat di depan Kara. "Kita harus pastikan kalo butik itu jadi sepenuhnya milik kamu, jadi kalau kontrak nikah kita selesai, butik itu gak akan ikut berakhir," tukas Bagas kali ini sambil menatap kedua mata Kara. Kara membeku di tempatnya berdiri, "Kamu bener-bener mikirin kata-kata Nadine?" tanya Kara terkejut. Bagas mengangkat bahu, "Ya emang gitu kan seharusnya," sahut Bagas seraya berlalu dari hadapan Kara, membuat Kara tersenyum sendiri. Kara langsung berhenti tersenyum ketika tiba-tiba saja Bagas menoleh lagi ke arahnya. "Abis ini kita survei ke sana, mandi gih!" seru Bagas sambil menahan
Tiga bulan kemudian. Kara sedang sibuk untuk mempersiapkan pembukaan butik barunya, ia bekerjasama dengan beberapa media untuk meliput acara pembukaan butik yang di beri nama By Kara. Selama tiga bulan belakangan baik Kara maupun Bagas sibuk dengan urusan masing-masing. Bagas sangat jarang terlihat di Penthouse, setiap pulang kerja ia selalu pergi ke tempat lain. Kara pernah bertanya, namun Bagas hanya menjawab ia sedang mengerjakan suatu proyek lain diluar perusahaan. Hubungan Kara dan Bagas tidak ada kemajuan sama sekali, Bagas belum membuat pergerakan yang berarti, begitu juga Kara yang terang saja tidak mau menyatakan apapun karena Bagas masih sering menemui Thalita. Terlepas dari itu adalah sebuah keharusan karena mereka tak mau jika Thalita buka mulut, tetap saja Kara merasa cemburu. "Udah ready semua Nyuk?" tanya Kara pada Nadine yang terlihat sedang memeriksa semua satu persatu. Nadine mengangguk, "Aman!" sahut Nadine yakin. Hari itu mereka mengadakan acara di sebuah Mall
Kara sedang membuat sarapan di dapur saat Bagas keluar dari kamar dengan pakaian kerjanya. Rasanya Kara ingin mengkonfrontasi Bagas dan menanyakan langsung padanya mengenai kebenaran kata-kata Thalita. Tapi entah mengapa nyali Kara menjadi agak ciut, iya tidak siap jika jawaban Bagas ternyata sesuai dengan apa yang Thalita katakan. Kara juga merasa sangat marah karena Bagas tidak datang ke acara fashion show perdananya kemarin. Ia memilih diam dan tak menanyakan pada Bagas, mungkin memang Kara tidak sepenting itu di mata Bagas! Tapi kan Bagas sendiri yang memotivasi Kara untuk bisa mandiri dan memiliki bisnis sendiri, kenapa dia tidak datang untuk mendukung! "Masak apa Kar?" tanya Bagas sambil memasang dasi di kemeja biru mudanya. "Nasi goreng," sahut Kara singkat, padat dan jelas. "Hari ini ngantor?" tanya Bagas lagi. "Iya," jawab Kara ketus. "Oh, ya udah saya berangkat," tukas Bagas seraya berbalik badan. Kara merasakan darahnya mendidih saking kesalnya. "WOI BAGASKARA MAHENDRA!
Beberapa waktu belakangan Gavin semakin gencar mendekati Kara. Ia selalu datang ke butik dan mengajak Kara keluar untuk makan siang. Jika malam tiba, Gavin akan mengirimkan makan malam untuk Kara, itu semua berlangsung selama beberapa bulan hingga membuat Kara merasa tidak nyaman. Namun entah mengapa ia merasa agak takut bersikap kasar pada Gavin, ia takut Gavin akan membocorkan rahasia pernikahan kontraknya. Karena bagaimanapun Ia harus melindungi Bagas. Lima bulan sudah berlalu sejak butik By Kara diresmikan. Semakin hari By Kara semakin dikenal oleh masyarakat luas karena desainnya yang simpel tapi bagus dan harganya yang cukup terjangkau di kalangan menengah ke atas. Kara menjual produknya secara online dengan website dan media sosial yang dengan sangat cepat dapat menjaring masyarakat usia produktif. Tak terasa juga pernikahan Kara dan Bagas sudah berjalan selama satu tahun. Selama itu pula mereka menahan perasaan satu sama lain tanpa pernah saling mengungkapkan. Bagas masih sa
"Apaan sih Gas? Gak jelas banget main tuduh aja! Saya gak tau maksud Gavin itu apa!" tukas Kara kesal. Bagas mendengus, "Dia jelas-jelas tau tentang pernikahan kontrak kita! Gak mungkin kamu gak ngomong apa-apa! Kamu pikir saya gak tau kalau Gavin suka dateng ke butik kamu! Jadi kalian ada rencana di belakang saya!" bentak Bagas dengan menggebu-gebu. Kara menarik nafas panjang, mungkin sebaiknya ia beritahu Bagas saja. "Justru saya ngelindungin kamu! Kamu itu selalu aja mojokin saya! Sebel! Gavin udah tau tentang kita sejak awal! Dia bahkan ngikutin kita sejak pertama kita ketemu di Schiphol! Papa yang suruh," terang Kara dengan nafas memburu. Bagas terbelalak, "Yang bener kamu? Kenapa Gavin gak kasih tau Papa saya?!" tanya Bagas tak habis pikir. Kara menggigit bibir, "Ummm, dia bilang sih kasian sama saya, soalnya dia takut kamu gak bayar hutang papa saya," jawab Kara takut-takut. Bagas mendengus, merasa jijik dan marah karena Gavin mengkhawatirkan Kara. "Berarti dia gak tau kalau
Suara alarm yang menjerit di ponsel membangunkan Kara, tangannya menggapai nakas mencari-cari ponsel yang biasanya ia letakkan di sana, namun Kara tak mendapatkannya. Merasa sangat terganggu dengan suara alarm, Kara bangkit dari tidurnya dengan mata yang masih mengantuk. Saat kesadarannya mulai kembali, Kara menjerit tertahan karena mendapati tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi, di sebelahnya Bagas terlihat sedang tertidur pulas dengan selimut rapat sampai ke dada. Jantung Kara berdebar kencang, ia segera bangkit dari tempat tidur dan berlari untuk mengenakan jubah mandi yang tergeletak di dekat sana. Ia baru sadar jika ia berada di dalam kamar Bagas. Setelah mengenakan jubah handuk, Kara membangunkan Bagas dengan wajah panik. "Gas! Bagas! Bangun!" ujar Kara seraya menggerakkan badan Bagas. Setelah beberapa lama, akhirnya Bagas membuka matanya dengan malas. "Apaaaaa?" tanya Bagas sambil memejamkan matanya lagi. "Ih bangun Gas! Gawat nih!" tukas Kara dengan nada s
Keesokan harinya Kara terbangun dengan perasaan tak karuan. Ia berjungkir balik di atas tempat tidurnya karena merasa mulas setiap kali teringat apa yang ia dan Bagas lakukan di malam tahun baru. Bayang-bayang wajah dan tubuh Bagas selalu saja melintas di pelupuk matanya. Saking groginya, Kara tak ingin berpapasan dengan Bagas. Sialnya libur tahun baru masih panjang, sehingga Kara mau tak mau harus bertemu Bagas setiap harinya. Dengan perasaan tak menentu Kara bangkit dari tempat tidur lalu beranjak menuju ke kamar mandi. Di kamar mandi Kara berdiri di depan cermin besar yang memantulkan bayangan tubuhnya dari kepala sampai kaki. Kara membuka bajunya, memandang tubuhnya dengan lekat, ia tak percaya ia bisa kehilangan keperawanannya dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar. Kara menjambak rambutnya dengan kencang, merasa kesal dengan dirinya sendiri. Seharusnya ia tak melakukan hal itu dengan Bagas, sekarang ia benar-benar tak akan bisa melupakan Bagas. Setelah mandi Kara yang mer
Kara sedang duduk bersama beberapa orang lainnya di bangku penonton menunggu Bagas bermain basket saat ponsel Bagas yang dipegangnya berdering, panggilan dari Thalita. Tadinya Kara enggan mengangkat, tapi Thalita terus menerus menelepon. "Halo!" sapa Kara riang. Di seberang sana Thalita sempat terdiam, "Kara?" tanya Thalita dengan nada tak percaya. "Iya ini Kara, kenapa Ta? Bagas nya lagi main Basket!" tukas Kara memberitahu. "Main basket? Sejak kapan kamu bisa nemenin Bagas main basket?!" pekik Thalita dengan nada benar-benar kesal. Kara malah justru terpancing untuk pamer, "Sejak hari ini, mungkin seterusnya!" ledek Kara yang sengaja membuat Thalita kesal. "You better watch your words Kar!" ancam Thalita tajam. "Or what?" tantang Kara. "Oh, nantang ya sekarang! You'll see!" Thalita segera mematikan teleponnya dengan gusar. Kara sebenarnya setengah was-was juga, bagaimana jika Thalita benar-benar marah dan langsung mengadukan tentang segalanya kepada orang tua Bagas? Setelah mengg