"Kita ke rumah sakit ya Kar!" seru Gavin dengan wajah yang khawatir. Kara hanya terdiam sambil memejamkan mata, ia mengusap perutnya, dalam hati ia berbicara dengan janinnya, meminta janin dalam kandungannya untuk kuat dan bertahan. Ia mengulang kata-katanya sampai beberapa kali, sampai akhirnya perutnya mulai terasa lebih baik. Ia tidak lagi merasakan keram. Kara membuka matanya dan langsung bertatapan dengan mata Gavin yang sedang berdiri sambil menatap Kara dengan wajah pias karena terlalu merasa khawatir. Dalam hati Kara berpikir, mungkin seharusnya ia tidak sekeras itu kepada Gavin, karena toh dia ada disini karena permintaan Bagas. Setelah merasa lebih baik, Kara bangkit untuk duduk, dengan sigap Gavin membantu Kara. "Saya ambilin minum ya," ujar Gavin lalu berlalu menuju ke dalam, mencari-cari letak dapur. Tak lama kemudian Gavin kembali dengan segelas air putih dan langsung menyodorkannya pada Kara. "Makasih," ucap Kara lirih. Gavin duduk di depan Kara dengan wajah muram. "
"Nyuk kenapa gak cerita dari kemaren sih!" tukas Nadine setelah ia sampai di rumah Kara. Kara hanya terdiam sambil memainkan ponsel di tangannya. "Lo gak mau ngelakuin sesuatu?!" desak Nadine dengan gemas. Kara mengigit bibirnya, "Bagas nyuruh gue buat percayain aja semua ke dia," jawab Kara sambil berpikir. Nadine menghempaskan tubuhnya di atas sofa di sebelah Kara. "Kalo ternyata Bagas gak ngelakuin apa-apa gimana?" pancing Nadine. "Gak mungkin lah Nyuk! Bagas pasti ngelakuin sesuatu!" sanggah Kara dengan agak kesal, tapi jauh di lubuk hati Kara sejujurnya ia menanyakan hal yang sama. "Sekarang gini, seandainya Bagas gak ngelarang lo, apa yang mau lo lakuin di situasi ini?" tanya Nadine yang terlalu mengenal Kara. Ia tahu betul jika Kara bukan tipe orang yang bisa berpangku tangan ditengah situasi yang merugikan dirinya. "Gue pengen nemuin Papanya Bagas! Gue mau tau kenapa dia gak bisa ngebiarin aja Bagas bahagia sama gue! Kalau sampai dia ngancem gue, gue bakal ngancem dia balik
Kara merasa seperti berada di atas angin sekarang, namun kata-kata yang keluar dari mulut Papa Bagas justru membuat Kara menjadi lemas seketika. "Saya akan lepaskan Bagas, saya beri kalian waktu enam bulan untuk mengembalikan Seratus Milyar saya, jika kalian gagal Bagas akan saya pidanakan dengan pasal penipuan!" tukas Papa Bagas tegas, tak ada lagi wajah ramah palsu yang seringkali ia tunjukkan. Kara menggigit bibirnya, mengumpulkan uang Seratus Milyar dalam tempo enam bulan sama tak mungkinnya dengan kehidupan di planet Mars. "Apa yang akan terjadi jika Bagas gagal bayar dan tak ingin di pidanakan?" tanya Kara berusaha tidak terlihat takut sama sekali. Papa Bagas mendengus, "Bagas akan kembali ke tempat asalnya dan kamu akan kembali ke tempat asal kamu," ujar Papa Bagas dengan tatapan yang sangat membuat Kara merasa di remehkan.Kara berpikir cepat, ia bisa mengulur waktu sampai enam bulan ke depan. Ia akan berusaha keras untuk membayar kembali Seratus Milyar tersebut kepada Papa
Pagi harinya, Kara dan Bagas sudah sibuk membersihkan kembali lantai atas yang akan digunakan untuk kantor perusahaan startup yang akan dijalankan oleh Bagas dan teman-temannya. Mereka sangat bersemangat sampai tak merasakan lelah sama sekali. Sesekali Bagas mengingatkan Kara untuk tidak bekerja terlalu keras karena janin yang sedang dikandungnya. Pukul 9.00 pagi, bel rumah berbunyi, Kara dan Bagas bergegas membuka pintu dan mendapati empat orang pria berdiri di sana dengan pakaian kasual. "Hai Bro!" sapa si orang yang paling depan yang Kara kenali sebagai Arga yang sempat ditemuinya di Mall beberapa waktu lalu. Arga juga menyapa Kara dan memperkenalkan tiga orang lainnya. "Mereka bertiga ini adalah pengembang kita, Gio, Gery dan Gani, orang biasa menyebut mereka 3G," tukas Arga sambil tertawa. Kara menyalami mereka satu persatu. Gio si kribo, Gery si kalem tapi cukup tampan dan Gani si preman karena tatto yang memenuhi lengannya. Setelah itu mereka kembali ke mobil dan membawa per
Semalaman Kara sangat gelisah sampai tidak bisa tidur. Sementara di sebelahnya Bagas tampak sudah terlelap karena kelelahan bekerja seharian. Dengan gusar Kara bangkit dari tempat tidur menuju dapur, mungkin setelah meminum segelas susu almond ia akan segera mengantuk. Dengan lemas Kara beranjak menuju kulkas, mengambil sebotol susu almond lalu menenggaknya sampai habis. Pikiran Kara berputar-putar, memikirkan siapa kira-kira yang sangat berani mengancam Kara seperti itu. Hati kecilnya mengatakan jika sang pengancam pasti salah satu dari keluarga Bagas, tapi kenyataan bahwa mereka keluarga, membuat Kara ragu. Papa Bagas mungkin memang terlihat kejam dan menyebalkan tapi ia tak mungkin akan membunuh putranya sendiri. Mama Bagas? Apalagi! Dia adalah satu-satunya orang yang selama ini selalu mendukung dan menyayangi Bagas. Kemungkinan bahwa Mama Bagas akan menyakiti putra semata wayangnya sama tak mungkinnya dengan kemungkinan akan turun salju di Indonesia. Kara mengacak rambutnya yan
Kara membuka mata perlahan, yang pertama dilihatnya adalah Bagas yang menunduk di atasnya dengan wajah khawatir, lalu ia menoleh dan mendapati Nadine dan Arga yang juga sedang menanti Kara siuman. "Kar, ada yang sakit?" tanya Bagas memeriksa tubuh Kara. Kara menatap Bagas lalu tangisnya pecah. Arga memilih untuk menjauh setelah menepuk bahu Bagas pelan. "Gas, ini serius banget, lo mesti ngelakuin sesuatu," tukas Nadine lalu berjongkok di sisi Kara. "Lo gak pa pa kan Nyuk?" tanya Nadine sambil mengusap lengan Kara pelan. Kara mengangguk, dengan dibantu Bagas ia bangkit duduk bersandar pada sofa. "Saya juga dapet kiriman pesan aneh Kar, tapi sebaliknya dari yang kamu terima, dia ngancem akan nyakitin kamu bukan saya," ujar Bagas seraya duduk di sebelah Kara. "Siapa yang kira-kira ngelakuin ini Gas? Kamu ada gambaran?" tanya Kara menoleh menatap Bagas masih dengan matanya yang basah. Hidungnya mencium aroma amis yang ternyata berasal dari t-shirt putihnya yang belum diganti. "Saya ga
"Lo istirahat Nyuk, kalo lo gak mau tidur juga gue panggil dokter juga nih biar lo dikasih obat tidur!" omel Nadine karena Kara masih saja terjaga padahal jam sudah menunjukkan pukul 01.00 pagi. "Bagas gimana Nyuk, dia belum juga bales pesan gue, telepon gue juga gak nyambung, HP nya mati, gimana kalo ada apa-apa sama dia!" oceh Kara dengan wajah ketakutan. Nadine memejamkan mata, sesungguhnya ia juga berpikiran sama dengan Kara. Tapi menimpali Kara hanyalah akan membuat Kara bertambah khawatir dan akan mengganggu kesehatannya. "Kar, lo percaya aja sama Bagas, dia akan baik-baik aja, dia gak akan ngebiarin dirinya terluka karena ada lo dan janin lo yang mesti dia jaga, trust me!" tukas Nadine berusaha keras membuat Kara tenang. Kata-kata Nadine cukup meyakinkan Kara, benar kata Nadine, Bagas tidak akan membiarkan dirinya terluka, karena Kara dan janin dalam perut Kara membutuhkannya! Setelah berkali-kali berdoa untuk keselamatan Bagas, akhirnya Kara mencoba untuk memejamkan mata w
"Gila kalian ya! Mana mungkin Ibu saya ngelakuin hal semacam itu? Bahkan seumur hidupnya dia gak pernah terobsesi dengan uang! Hubungan dengan Papa murni karena Ibu saya mencintai Papa!" seru Gavin pada Kara, Bagas dan Nadine. Wajah Bagas mengeras, "Jangan berbicara seolah mencintai laki-laki beristri adalah hal yang membanggakan!" bentak Bagas yang kesal mendengar kata-kata Gavin. Kara menyentuh lengan Bagas seolah mengatakan bahwa ini bukan waktunya untuk meributkan hal semacam itu. Kara yang hari ini sudah merasa lebih baik duduk tegak di atas tempat tidur rumah sakit. Ia menatap Gavin tajam, "kamu bisa buktikan?" tanya Kara. Gavin menghela nafas panjang, ia mengambil ponsel di saku celananya. "Liat! Ibu saya selama satu bulan belakangan berada di Magelang menjaga Eyang saya yang sedang sakit keras! Kalian bisa liat rekaman CCTV day by day, karena selama sebulan penuh Ibu saya tidak pergi kemana-mana!" jelas Gavin panjang lebar dengan nada gusar. "Kirim ke saya data CCTV-nya!