Zivanka membelalak tak percaya.
“Bukan.” Azkio kembali menjitak.“Ish,” desis Zivanka. Kali ini jitakan suaminya sedikit keras.Azkio meminta ia agar meninggalkan kebiasaannya selama ini. Seperti ke klub malam, nongkrong tidak jelas, bergaul dengan lawan jenis dan gaya hidup lainnya yang unfaedah. Azkio juga meminta mulai sekarang ia harus benar-benar belajar sholat, ngaji serta berpakian menutup aurat. Untuk saat ini, segitu saja dulu. Takutnya kepala Zivanka meledak tiba-tiba.Busyet, kalau begini aturannya, aku jadi tobat beneran, nih.“Ziv, kamu siap?”“Hmm … siap.” Akhirnya ia jawab siap saja dulu.Nanti kalau misi tuing-tuing sudah tercapai, badung kembali kan bisa. Ditalak juga rasanya tak masalah. Mana mau Zivanka hidup terikat penuh aturan.“Baiklah, sekarang kita berkemas.”“Kok, berkemas?”“Karena kita akan ke panti asuhan.”“Lah, kenapa?”“Ziva, saya belum memiliki rumah. Nikah kita kan dadakan, jadi saya belum sempat cari rumah.”“Oh, iya.”Selama ini Azkio sengaja lebih memilih tinggal di Panti karena selalu ingin melihat Lily. Sebetulnya dia sudah mampu untuk membeli sebuah rumah sederhana. Penghasilannya dari konten dan bisnis fashion muslim sudah lumayan besar. Sebagian penghasilan itu dia juga dedikasikan untuk keperluan panti asuhan.“Tenang, kita tinggal di panti hanya untuk sementara. Sampai nemu rumah yang cocok.”“Ok.”**Begitu sampai di panti asuhan, banyak sekali anak-anak yang menyambut. Rupanya Azkio cukup dekat dengan mereka semua. Terlihat kalau sosok suami Zivanka itu sangat dirindukan. Sebelum sampai ke rumah Fatimah di belakang panti, terlebih dahulu ia mengenalkan istrinya kepada beberapa bangunan lain.Paling depan ada aula panti tempat berkumpul dan melakukan kegiatan. Di sampingnya ada dapur luas berikut tempat makannya. Sementara di sebelah lagi ada dua rumah yang bersebelahan.“Nah, ini rumah khusus Nisa dan yang itu Rijal.”“Nisa dan Rizal itu siapa? Anaknya ummi Fatimah?"Azkio tersenyum dan lagi-lagi sangat manis."Bukan, Ziva. Rumah Nisa itu maksudnya untuk anak-anak perempuan, sedangkan Rizal untuk anak laki-laki.""Oh. Pasti bahasa arab, kan?"Anak-anak yang sedari tadi mengikuti pun cekikikan mendengarkan omongan Zivanka. Setelah sedikit berjalan-jalan, akhirnya sampailah di rumah utama.Fatimah menyambut hangat dan Zivanka juga dapat merasakan ketulusan wanita setengah abad tersebut.Azkio juga sedikit tercengang dengan perubahan sikap Zivanka. Istrinya itu berubah lemah lembut dan manis sekali. Meski terkesan sekali kalau lembutnya itu dibuat-buat, dipaksakan. Namun, manisnya asli sekali tanpa bahan pengawet.Cantik, gumam Azkio saat tak sadar memandang istrinya yang sedang mengobrol itu.“Oh, masya allah, cantiknya. Ini ya, istrinya kak Kio?” Tiba-tiba Lily baru muncul dari kamar.Lily pun menyalami Zivanka sambil cium pipi kanan-kiri, meski sekedar menempel seidkit.“Oya, kenalkan. Ini Lily, anak bungsu Ummi,” ucap Fatimah.Degh! Zivanka merasa terbakar. Wanita di depannya ini benar-benar terlihat anggun dan elegan."Iya, aku Zivanka, istrinya ustaz."“Loh, kok, manggilnya masih ustaz?” komentar Lily.“Mungkin karena masih baru, Ly. Sudah biarkan saja,” sela Fatimah.Azkio yang merasa terjebak di antara wanita, mendadak ingin melarikan diri.“Ziv, saya harus ke ruamh Rijal dulu, ya!” pamit Azkio, “Ummi, titip Ziva, ya,” sambungnya.“Kak Kio tenang saja, kak Ziva aman sama Lily.” Lily sengaja menyahut karena kakak angkatnya itu sama sekali tidak menyapa.Setelah Azkio berlalu, mereka kembali ngobrol-ngobrol. Lily begitu aktif bertanya dan bercerita. Sementara Fatimah pergi ke dapur dulu.“Oya, maaf yang semalam. Aku tidak bermaksud mengganggu malam pertama kalian. Aku juga tidak sangka kalau kak Kio akan datang. Dari dulu, kak Kio emang selalu khawatirkan aku. Dia sangat perhatian sekali. Malam juga dia sangat panik, pas tahu ada orang yang menggangguku." Lily menuturkan dengan bangga. Betapa dirinya penting bagi Azkio."Wajar kalau kakak khawatirkan adiknya," komentar Zivanka yang sebetulnya sudah tahu dari Azkio kalau Lily bukan adik kandungnya."Emang Kak Ziva tidak tahu, kalau kami tuh sebenarnya bukan saudara. Kak Kio hanya anak angkat Ummi."Dih, bau-baunya si Lily ini bibit pelakor deh.“Tahu, kok. Tapi tetap saja kalian ini kakak-adik.”“Orang-orang malah ngiranya kita ini suami-istri, loh. Mungkin karena sering jalan berdua.”Awas, darah mulai tersirap ke kepala. Hati-hati jika ubun-ubun Zivanka sudah mulai berasap.“Nanti orang-orang juga bakal tahu, kok, yang sebenarnya.”“Tapi kak Kio itu emang selalu bersikap layaknya seorang suami sama aku. Uang bulanan juga, dia suka ngasih, loh.” Lily tidak pantang padam mumpung umminya tak ada.“Azkio itu tulang punggung gue dan gue tulang rusuknya. Lah, kalau lu tulang apa?" sinis Zivanka, "tulang ekor? Enakan juga tulang seblak," lanjutannya mengejek.Tuh kan jadi keluar watak aslinya si Zivanka. Lily pun dibuat tercengang olehnya.Allahu Akbar, Allahu Akbar.Adzan dzuhur mengakhiri persaingan mereka. Fatimah datang memanggil untuk melaksakan sholat berjamaah."Yuk, Kita ambil wudhu dulu," ajaknya."Umm, wudhunya di sini?" tanya Zivanka setelah sampai di depan keran khusus ambil air wudhu."Iya, Ziv. Emangnya kenapa?""Umm, aku mau di kamar mandi saja.""Lebih afdol di sini. Di kamar mandi hanya Ada keran shower."Duh, mampus!Lily Dan Fatimah berdiri menunggu giliran wudhu. Sementara Zivanka di depannya masih berdiri mematung. Ragu-ragu untuk memulai.Kalau nggak salah habis cuci muka, cuci tangan deh. Eh, apa cuci tangan dulu? Hati Zivanka bimbang."Ziv, hayo! Kenapa kerannya dilihatin terus?""Kerannya ngajak gelut, Ummi," ceplos Zivanka kesal."Apa, Ziv?"OMG, ujian apa lagi ini. Napa rem mulut aku blong, sih?*****MIB-6"Aduh Umm, aku kebelet pipis." "Ya sudah, cepat ke kamar mandi. Nanti Ummi dan Lily tunggu di mushola, ya!""Baik, Umm."Zivanka merasa lega. Karena akhirnya terbebas dari wudhu yang dia lupa urutannya. Nanti sepertinya harus belajar lagi wudhu dengan benar. Karena mau sampai kapan harus pura-pura melakukannya.Sekarang Zivanka sudah berada di mushola, tepat di depan rumah Fatimah. Mushola khusus sholat perempuan. Sedangkan laki-laki melaksanakannya di masjid dekat aula Panti.Wah, mayan banyak juga ya, pasukan Ummi Fatimah.Zivanka mengedarkan pandangan kepada yang sudah berbaris rapi. Jumlah yang akan sholat berjamaah sekitar 25 orang. Terdiri dari anak-anak usia SD hingga SMA dan ada 3 orang sudah kuliah. "Ziv, sini!" panggil Fatimah.OMG, jangan bilang suruh jadi imam.Seketika Zivanka pucat pasi. Salah besar sudah mau diajak Azkio tinggal di panti. Belum sehari jantungnya sudah terus dag dig dug tak menentu. Semacam sedang diuji nyali saja."Ayo, Kak Ziva. Kita mau mulai,
MIB-7Azkio bergedik ngeri saat melihat istrinya begitu bern4fsu menusuk-nusuk sosis dengan garpu. Tenang, tenang! Tidak boleh terlihat kalah depan cewek so’ alim itu, batin Zivanka.“Ekhm," dehamnya.Setelah menghela napas sepanjang jalan kenangan, akhirnya gejolak amarah di dada bisa dikendalikan. Sungguh ini adalah sebuah prestasi luar biasa karena jarang-jarang bisa meredam emosi.“Kak Ziva nggak marah kan?” tanya Lily.“Oh, nggak. Santai saja. Lagian wajar kok, jika kakak antar adiknya. Cuma lain kali harus izin kepada pemilik sahnya.” Akhir kata penuh penekanan.“Maksud, kak Ziva?” Lily berlaga polos.“Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya?” Zivanka mengejek.“Kalau begitu, aku ke kamar dulu, ya,” pamit Lily dengan nada lemas.“Ly,” jangan lupa nanti diminum lagi obatnya,” pesan Azkio.“Baik, Kak.” Lily berlalu dengan senyum menyungging.Sebetulnya Lily adalah gadis yang baik
Zivanka masih keliling panti tanpa tujuan. Dia melihat anak laki-laki seumuran SMA sedang duduk di bawah pohon."Dek, lagi pain sendirian di sini?""Eh, kak Ziva. Lagi santai aja, kak.""Kamu nggak ikutan hapalan surat?"Kebetulan pas lewat tadi, Zivanka melihat anak laki-laki sedang pada hapalan surat di masjid."Saya non muslim, Kak.""What?! Kok, bisa ada di sini?""Emang kenapa, Kak? Kan ini panti asuhan, bukan pesantren.""Iya, sih. Tapi ....""Ummi Fatimah itu orang baik. Dia tidak pilih kasih, walau saya bukan muslim. Beliau juga tidak memaksa saya untuk ikut agamanya."Hanya saja anak-anak beragama Islam, Fatimah memang ketat dalam mendidik agamanya. Apalagi mereka semua kan sekolah di Negeri bukan sekolah islam, swasta. Karena keterbatasan biaya. Jadi untuk menjaga mereka dari kontaminasi pergaulan luar yang tidak baik, Fatimah menanamkan pondasi kuat dengan sholat dan mengaji.
MIB-8“Yang pasti doa setelah sholat.” Zivanka mencoba percaya diri.Azkio menggeleng, “bukan. Itu doa sesudah makan.”Seketika Zivanka pengen ngilang gitu saja. Dia merutuki Nia yang sudah mengiriminya doa. Bagaimana bisa sepasang bestie ini sama-sama bloonnya. Hadeuh.Setelah berpikir sedari tadi, akhirnya Azkio memutuskan untuk memanfaatkan misi istrinya. Dia akan mengimingi Zivanka dengan nafkah batin jika patuh dan mau belajar agama. Meski artinya dia juga harus menahan diri untuk tidak dulu menyentuh. Walau bagaimanapun sebagai pria normal keinginan lebih dari melihat itu selalu terlintas. Terlebih sudah dihalalkan.Namun, istri model Zivanka tidak akan benar-benar tunduk kalau keinginan dan rasa penasarannya terwujud dengan mudah. Tipe dia senang akan tantangan dan sesuatu yang baru. Semoga meski awalnya mungkin perubahan bukan karena Allah, setidaknya setelah mengenal diharapkan hidayah benar-benar turun. “Ya ampun, dili
“Woy, itu si Ziva!” teriak Juno.“Kirain, lu nggak jadi datang,” timpal Nia."Kan udah gue bilang, pasti telat dikit."Zivanka langsung bergabung ke kerumunan gang motor yang hobbi balapan liar di tengah malam. Tempat yang mereka pilih bukan sembarang jalan. Terlebih dahulu dipastikan kalau jalanan yang akan jadi rute balap lumayan sepi dan jauh dari warga. Meski kadang tetap saja terciduk polisi yang sedang patroli.Mereka yang baru menyadari penampilan Zivanka langsung ngakak. Pasalnya dia masih mengenakan rok dan dengan santuynya mau ikut balapan.“Eh, lu salah minum obat?” ejek teman-temannya.“Bacot, lu! Buruan, kita taruhan berapa malam ini?" Zivanka tidak menggubris ejekan mereka.“Lima juta.”“Ok. Ambil uangnya nanti di si Juno! Kalau gue kalah.""Loh, kok, jadi di gue, sih?" protes Juno."Tenang aja, gue pasti menang, Juno!""Serah lu, deh."Zivanka dan temannya yang
MIB-9“Astaghfirullah.” Azkio terkejut sudah tak mendapati Zivanka di dalam kamar. Ponselnya pun tidak ada.Dia sudah bisa menebak kalau istrinya kabur untuk ikuti balapan. Segera berganti pakaian dan langsung menuju rumah mertua. Karena tempat pertama yang didatangi Zivanka pasti kediaman orang tuanya untuk ambil motor.Walau tidak enak hati, Azkio terpaksa membangunkan Baskara malam-malam lewat telepon. Tak lama mertuanya keluar menemui di teras.“Ada apa Ustaz mantu, malam-malam ke sini?” tanyanya sambil mengucek mata."Ziva … kabur, Pi.""Apa? Duh, kenapa nggak dirantai saja tuh anak." Baskara garuk-garuk kepala.Azkio menceritakan bahwa istrinya itu pasti ikut balap liar. Segera dicek motor di garasi, benar saja, milik Zivanka tidak ada.“Pasti Zivanka yang bawa kan, Pi?”“Iya, siapa lagi. Tuh, anak bener-bener, ya! Padahal baru kemarin ini gembok garasi diperbaiki, eh, udah dibobol lagi,” keluh Baskara.Sebelum akad digelar, malam sebelumnya, Zivanka juga sempat ikut balap liar.
Masih dengan Celana dalam di tangan, Azkio berusaha menetralkan kembali pikirannya.“Kenapa?” tanya Zivanka mendadak sudah ada di belakangnya juga.Seketika Azkio menoleh dan detik itu juga membeku dengan mulut menganga. Dengan santainya Zivanka yang berlilitkan handuk mengambil alih celana serta baju dari tangan suami.“Mau tahu dalamnya?” bisik Zivanka menggoda.Seolah terhipnotis, Azkio yang bergeming justru menganggukkan kepala. Mata Zivanka langsung berbinar-binar.Apa artinya misi tuing-tuing akan segera terlaksana? Batinnya bersorak senang.“Kak Ziva, kak Ziva!” Tiba-tiba suara Lily memanggil sambil mengetuk pintu."Aish, syalan!” umpat Zivanka.Azkio seolah baru saja tersadar. Dia hanya menelan saliva, kemudian meminta Zivanka gegas mengganti baju. Dia sendiri menyambar sarung serta peci yang menggantung di belakang pintu.“Eh, Kak Kio. Kak Ziva-nya lagi apa?” tanya Lily begitu daun pintu terbuk
MIB-10"Ehm ... pulang yuk!" ajak Azkio kepada Zivanka yang masih mematung sambil memegang bibirnya sendiri."Tunggu! Barusan kita ... anu bukan?" Zivanka tergagap."Oh, itu. Eh, iya." Azkio mengusap tengkuk.Keduanya cengar-cengir salah tingkah. Lalu mengayun langkah menuju rumah Fatimah.Karena jalanan masih sepi, jadi Azkio menggandeng tangan Zivanka.“Kok, dipegang?”“Siapa tahu kamu kabur lagi. Saya kan jadi repot.”“Kirain.”“Apa?”“Nggak,” ketus Zivanka sebal. Kirain gandeng tangan karena romantis saja.Saya juga tidak tahu alasannya apa, Ziv. Yang pasti saya takut kamu hilang dari pandangan. Azkio bermonolog dalam hati.Setiba di rumah, rupanya Lily sedang duduk santai di teras. Matanya mendadak terasa sangat panas ketika melihat sepasang suami istri bergandengan.Sadar kalau Lily memerhatikan gandengannya, Azkio refleks melepaskan. Namun, Zivanka meraih kembali. Sengaja dengan bangga memperlihatkannya kepada wanita yang tengah cemburu.“Kita masuk dulu, ya!” pamit Zivanka ria