Share

LUPAKAN KEJADIAN SEMALAM

Aku membuka mata ini yang masih terasa berat karena rasa sakit dan tak nyaman masih jelas terasa di seluruh bagian tubuhku. Dan yang pertama yang kulihat adalah pria itu, mimpi terburukku. Daniel Noel, seorang presdir sekaligus CEO Noel Corporation yang merupakan atasanku sendiri.

Ia duduk setengah terbaring di sisi ranjang di sebelahku. Kepalanya menunduk dengan kedua tangan yang menutupi wajahnya.

Satu dalam pikiranku. Apakah ia menyesali perbuatannya padaku?

"Apakah aku menyakitimu semalam, Lucy?" tanyanya setelah menyadari aku sudah terbangun dan menatapnya penuh arti. Tatapan kami bertemu selama beberapa saat, entah kenapa bayangan semalam membuatku sesak dan merasa sakit di hatiku.

Hening.

Aku enggan menjawabnya, pertanyaan yang aneh dan lucu. Menyakiti? Tentu saja perbuatannya semalam sangat menyakitiku!

"Maafkan aku Lucy Watts, aku tahu kesalahanku. Maafkan aku karena telah melibatmu dalam situasi seperti ini. Semalam seseorang telah memberikanku obat perangsang di klub. Aku tak tahu apa motifnya yang jelas aku rasa dia ingin merusak nama baikku dan reputasiku dengan memberikanku obat sialan yang membuatku hilang akal dalam sesaat,” ucapnya dengan ekspresi wajah serius.

"Aku akan bertanggung jawab dengan perbuatanku, katakan apa yang kau inginkan agar kita bisa lepas dari situasi ini?" Daniel bertanya, kali ini ia menatap penuh arti padaku yang masih terbaring tak bergerak di bawah selimut yang menutupi polos tubuhku.

"Anda tenang saja, sir. Saya akan melupakan kejadian semalam dan menganggapnya tak pernah terjadi apa-apa pada kita,” ucapku dingin seraya mencoba bangkit dari ranjang, hendak melangkahkan kaki turun dari ranjang, namun saat aku menampakkan kakiku ke lantai, kakiku gemetar dan lemas hingga ambruk namun tanpa aku duga dengan cepat Daniel menangkapku kemudian membantuku berdiri.

"Kau masih lemah, jangan memaksakan diri. Aku harap kau jangan menghindariku, Lucy. Jangan membuatku semakin bersalah padamu,” ucap Daniel, ia membantuku untuk duduk di tepi ranjang.

Aku menunduk menghindar dari tatapan matanya. Tak mau lebih lama kontak fisik semakin membuatku mengingat kejadian semalam.

"Saya bukan jalang, sir. Yang akan meminta bayaran atau sebuah kompensasi untuk menutup mulut setelah apa yang Anda lakukan pada saya. Tenang saja Anda tak perlu khawatir, saya tidak akan menuntut apa-apa pada Anda, jadi Anda tak perlu cemas akan hal itu,” tuturku dengan tanpa ekspresi.

"Aku tahu kau wanita yang memiliki harga diri tinggi, Lucy. Tapi jangan menganggapku remeh, aku adalah Daniel Noel. Aku tak mau kejadian ini terulang lagi pada kita karena memang semua ini terjadi karena sebuah kesalahan, tidak ada cinta di antara kita. Kau dan aku memiliki kehidupan yang berbeda. Kau mengerti apa yang aku maksud kan?"

Mendengar ucapannya yang begitu menohok itu tentu saja membuatku semakin sakit hati, aku pun tersenyum kecut menanggapinya.

"Anda tenang saja Mr. Daniel Noel yang terhormat, sudah saya katakan tadi, Anda tak perlu khawatir tentang hal itu. Saya berani menjamin, kejadian ini akan saya tutup rapat-rapat dan saya anggap tak pernah terjadi apa-apa pada kita."

"Bagus, aku hormati keputusanmu. Kau juga tak mau bukan, kejadian semalam merusak hubunganmu dengan kekasihmu? Begitu juga denganku, aku tak mau Helen sampai tahu apa yang terjadi pada kita. Jadi mulai hari ini kita sepakat akan melupakan kejadian semalam dengan tanpa beban."

...

Seminggu berlalu setelah kejadian memilukan yang tak ingin kuingat lagi di malam itu. Aku bersikap seperti biasa, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Baik itu di kantor atau pun di luar kantor. Namun, entah mengapa hanya Willyam yang sepertinya merasakan sesuatu yang tidak beres padaku. Berkali–kali ia menanyakan keadaanku dan mengkhawatirkanku. Hal itulah yang membuatku semakin merasa bersalah padanya.

Bagaimana tidak? Mahkota yang kujaga baik-baik hanya untuk calon suamiku kelak, kini hilang begitu saja oleh pria yang sudah beristri. Sungguh ironis dan sangat menyakitkan.

"Honey, apa kau benar baik-baik saja? Katakan padaku, sayang," Willyam bertanya cemas, saat ia memergokiku melamun ketika aku tengah menyiapkan makan malam di dapur untuk kami berdua.

Karena memang seperti biasa, setelah Willyam menjemputku pulang dari kantor ia selalu mampir di apartemen milikku hingga waktu makan malam.

"Ah, aku tak apa-apa, Will. Kumohon berhentilah mencemaskanku, okay?" aku menyahut dengan senyuman dipaksakan.

Kini Will memeluk tubuhku dari belakang, mencium tengkuk leherku dengan lembut dan penuh sayang.

"Kuharap itu benar, honey. Karena sudah berulang kali aku melihatmu melamun akhir-akhir ini. Aku adalah kekasihmu, calon suamimu sayang..., jadi please aku mohon jujurlah padaku. Katakan padaku jika kau memiliki masalah, sekecil apa pun itu." ucapnya lirih.

"Iya, aku mengerti Will. Maafkan aku telah membuatmu cemas. Aku berjanji hal ini tidak terulang lagi,” jawabku sungguh-sungguh.

Will membalikkan tubuhku agar menghadapnya. Tatapan kami bertemu saat itu juga, kini ia menatapku dalam-dalam hingga membuatku tersenyum malu.

"Kenapa kau menatapku seperti itu, Will? Membuatku malu saja!" tegurku gugup.

"Aku merindukanmu, Lucy. Sangat merindukanmu. Sudah lama sekali kita tak bermesraan seperti ini, karena kesibukan kita akhir-akhir ini,” tuturnya lirih seraya mendekatkan bibirnya di bibirku.

"Aku belum selesai memasak, Will!" ucapku mengingatkan, mencoba menolak halus ciumannya padaku.

"Ah, aku tak peduli. Malam ini aku hanya ingin memakanmu, sayang,” ucapnya serak sebelum mendaratkan bibirnya di belah kenyal milikku.

Tak ada alasan lagi aku untuk menolaknya karena memang sudah lama sekali kami berdua tidak berciuman sedekat ini. Apa lagi sejak kejadian seminggu yang lalu saat Daniel Noel merenggut segalanya dariku, aku semakin tak bergairah jika berdekatan dengan laki-laki sekalipun dengan kekasihku sendiri. Karena bayangan kejadian malam memilukan itu masih terekam jelas di ingatanku hingga membuatku semakin merasa sesak jika mengingatnya.

"Uummhh...,” aku mendesah saat ciumannya semakin dalam masuk ke dalam bibirku, menyesapnya dan menggelitik menggoda dengan lidah nakalnya agar aku mengikuti permainannya.

Satu tangannya menyentuh dadaku dan meremasnya hingga membuatku memekik kaget.

"Sudah Will, sudah!" pintaku serak di antara gairah dan pikiran rasional yang masih ada dalam otakku sekarang.

"Kenapa, hmm...? Apa kau tidak menyukainya, sayang?" sahut Willyam seraya menciumi kulit dadaku yang tanpa kusadari sudah terbuka oleh tangan nakalnya yang cekatan.

"Tidak, bukan itu. Kita ada di dapur, Will,” bisikku mencoba mengingatkan.

"Lalu kenapa? Tidak ada masalah bukan? Hanya ada kau dan aku di sini. Ayolah, sayang. Aku sangat merindukanmu, apakah kau tak merindukanku juga, hmmm?" Willyam berbisik dengan suara parau seraya menyesap aroma di kulit dadaku yang kini sudah setengah terbuka.

"Ahh, Will jangan... di sini,” desahku memohon.

Drrrttt... Drrrttt... Drrrttt...

Suara ponsel bergetar di meja yang tak jauh di depanku. Ponsel milikku. Will yang tengah sibuk menyesap lembut pucuk dadaku yang berwarna pink pun terganggu dengan suara getaran ponsel yang tak berhenti sejak tadi.

"Will, sudah. Aku harus mengangkat telepon itu,” ucapku dengan suara sedikit tertahan.

"Kenapa selalu ada pengganggu di saat seperti ini,” keluhnya kesal dengan wajah masam.

"Maaf sayang,” hiburku seraya mengecup lembut pipi Will agar tak kesal. Kemudian kuraih ponsel dan kulihat siapa sang penelepon. Dan aku cukup terkejut karena ternyata Daniel Noel lah yang menelepon.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status