Aku menangis tersedu di bahu Mbak Zahra, setelah menghubunginya tadi ia dengan cepat datang bersama ibu, menenangkanku yang lmasih terus menangis.“Udah, nanti biar Ibu yang ngomong sama Adnan,” bujuk ibu sambil membelai lembut kepalaku.“Tapi kan kita cuma nikah siri Bu, jatuh talak berarti kami udah cerai,” ucapku.“kalau Adnan bilang rujuk kan kalian udah rujuk,” jawab Mbak Zahra.Aku tak mengerti dengan hukum agama karena fakirnya ilmu keagamaan, semuanya kuserahkan kepada ibu dan Mbak Zahra.…..Beberapa hari setelah Bang Adnan menjatuhkan talak kepadaku tak ada hubungan komunikasi diantara kami, ia memblokir semua kontak. Mungkin ia terlalu kecewa kepadaku. Aku mendengus kesal dan kembali terduduk di pinggir ranjang. Mungkin akhirnya aku akan melepas Bang Andan, pikirku setelah tak ada lagi niat baiknya untuk memaafkanku meski berulang kukirim permintaan maaf kepadanya. Meminta bertemu untuk bicara.Lelah dengan usahaku yang mungkin hanya sebiji jagung, mungkin aku perlu libura
“Apa yang tidak kuberi untukmu? Semuanya kuberikan dan kamu justru mengkhianatiku dengan lelaki itu, lelaki yang selama ini menumpang hidup denganku?” tanya papa.“Dia lebih segalanya darimu Mas, kamu aja yang enggak tahu dia seperti apa. Dia memberikan kehangatan yang tidak pernah kamu berikan, dan sekarang dia lebih kaya dibanding kamu,” jawab mama lantang. Seharusnya mama diam dan meminta maaf saja kepada papa agar semuanya tak semakin runyam, rupanya ego dan kepentingannya tak mengingat apa yang telah papa lakukan untuknya.Sekali lagi kudengar benda jatuh dan suara tamparan. “Bunuh saja aku, bunuh!” seru mama di sela-sela suara benda terjatuh.Aku tidak ingin papa mendekam di penjara jika sesuatu terjadi kepada mama, pintu yang semula terbuka sedikit perlahan kudorong, gambaran keduanya beradu tangan semakin jelas di depan mataku.“Papa, sudah,” lirihku bersama isak tangis.Papa tak mendengar, ia kalap dengan emosinya. Ia semakin gencar memukul mama, saat papa lengah karena mung
Pagi-pagi papa membawaku ke rumah nenek, rumah yang tidak semegah rumah papa tetapi cukup asri. Nenek menyambut kami dengan air mata, mungkin ia tahu masalah yang menimpa papa. Sudah lama kami tak berkunjung ke rumah nenek, terakhir kami berkunjung saat aku lulus TK, sudah lama sekali. Semenjak papa sibuk memang jarang datang ke rumah nenek. Papa hanya mengirim uang, itu pun terkadang sering ribut dengan mama, meski begitu papa tetap mengirim jatah nenek setiap bulannya. Papa selalu memberitahuku agar aku tahu, uang mungkin tidak terlalu berarti tetapi jika kita sudah mampu jangan lupa dengan kehidupan orang tua.“Lulu udah makan, Nak?” tanya nenek, aku menggeleng memang sejak tadi aku belum makan. Perjalanan yang memakan waktu lima jam tak seikitpun papa membelikan makanan untukku. Papa mengganti roti dari ia menjual jam tangannya yang mahal tetapi hanya diganti dengan dua buah roti dan minuman. Meskipun aku masih kecil aku mencoba mengerti keadaan papa saat ini, dan aku tak ingin me
“Papa kenapa Mama jahat?” tanyaku, aku sudah berdiri diantara keduanya. Pertanyaan itu tak dapat lagi kusembunyikan.“Lulu….” Papa terkejut melihatku yang sudah berdiri tak jauh darinya. Papa meraih tubuhku dalam dekapannya. “Mama enggak jahat Sayang,” jawab papa mencoba mengukir senyum dan menghapus air matanya.“Terus kenapa Mama jahat sama Nenek?”Nenek mendekatiku. “Mama enggak jahat Sayang, bagaimanapun dia tetap mamanya Lulu, Nak,” jawab nenek.Aku tahu papa dan nenek hanya tidak mau aku membenci mama, tetapi penghianatan mama kepada papa dan nenek membuatku semakin membencinya. Mulai saat ini sudah kupastikan aku hanya mempunyai papa dan nenek, mama bukan lagi siapa-siapa bagiku.….Lima tahun kemudian, kehidupanku dan papa semakin membaik, meski kami tak bergelimang harta seperti dulu. Perlahan kami bangkit dari keterpurukan, disini tak ada yang tahu jika papa bangkrut karena tuduhan penggelapan dana yang sebenarnya hanya fitnah belaka. Mereka hanya tahu aku dan papa kembali k
Aku pikir setelah lama tak bertemu mama akan memeluk erat diriku, setidaknya menanyakan kabarku atau sebagaimana mestinya seorang ibu kepada anaknya yang tidak ia jenguk lebih dari tiga tahun lamanya. Nyatanya, ia justru tidak menganggap aku ini putri yang dulu ia dilahirkan dari rahimnya, putri kecil yang dulu ia timang dan manja, yang selalu ia kecup mesra dan nyanyikan lagu indah.Kukepalkan tangan. “Aku benci Mama, aku benci Mama, aku benci Mama.” Sepanjang perjalanan hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Meski air mata yang sudah menyeruak hendak jatuh berselancar di mataku tetapi aku enggan mengakui bahwa aku sangat mengharap ia memeluk dan menciumku.“Lulu,”panggil nenek lirih. Aku sampai lupa kalau tangan nenek tak lagi berada di genggaman tanganku.Kuhentikan langkah dan memutar badan, memasang senyum yang manis untuk wanita renta yang masih berdiri di belakangku. Aku tidak ingin ia semakin sedih jika melihatku menangis.“Jangan benci mamamu,” ucap nenek setelah bera
Acara kelulusan sekolah hanya papa dan nenek yang hadir untuk melihat prestasi yang kuberikan untuk sekolah. Banyak piala lomba kesenian yang telah kuberikan, aku mendapat gelar siswa berprestasi di bidang seni. Papa tersenyum bangga begitu juga nenek, aku berusaha keras untuk mereka. Papa semakin tua, terlihat dari wajahnya yang dulu tampan sekarang makin banyak kerutan dan wajah yang semakin menghitam karena teriknya matahari, semua demi aku, agar aku tetap bisa pergi sekolah seperti teman-temanku.Setelah hari kelulusan beberapa pekan kemudian papa mengantar untuk mendaftar ke sebuah sekolah menengah tinggi. Sekolah yang bisa dibilang cukup elit di kota, sebenarnya aku enggan sekolah di kota, di desa juga tidak mengapa, tetapi papa bersikeras karena ingin mengganti masa SMP yang hanya kuhabiskan di desa nenek. Kami pergi menaiki sepeda motor milik papa, sampai di halaman sekolah mobil mewah berjejer milik wali murid.“Maaf ya, Lu,” ucap papa setelah kami berdiri di depan gerbang.“
“Rais,” ucap lelaki itu memperkenalkan diri. Rupanya dia anak satu-satunya ibu mecca. Kami saling berkenalan, wajah tampan cocok sekali dengan namanya. Kupikir ia akan bersikap angkuh karena aku dan papa tak membawa apa-apa saat datang ke rumahnya. Namun, aku salah, ia dan Bu Mecca memperlakukanku dengan sangat baik. Selama tinggal dengan Bu Mecca dan Bang Rais mereka sangat menyayangiku dan papa. Papa ikut mengelola perusahaan milik Bu Mecca hingga berkembang pesat. Sejak saat itu kehidupanku berubah, aku kembali sebagai ratu yang dimanjakan banyak harta. Abang tiri yang sangat menyayangiku, begitu juga dengan Bu Mecca yang sangat memanjakanku. Meskipun ia lebih tua dari papa tetapi hubungan mereka sangat harmonis, kami saling berbagi cinta satu sama lain.Namun, yang tidak kuketahui adalah, dibalik sikap memanjakanku dan sayangnya Bang Rais, ada maksud yang tidak pernah kusangka. Puncaknya saat papa dan Bu Mecca pergi berlibur ke luar negri. Tinggalah aku dan Bang Rais berdua di r
“Clara.” Masih kupandang gadis yang sedang di gandeng mesra oleh Hans. Keduanya tampak bahagia di tengah pesta ulang tahun Hans. Aku pikir akulah yang akan memberikan kejutan kepada Hans, ternyata aku salah, justru aku yang di beri kejutan olehnya. Kulangkahkan kaki menuju keduanya yang sedang saling tersenyum satu sama lain.“hHns, apa-apaan ini?” tanyaku setelah berdiri di sampingnya.Hans memutar badan melihatku yang menatapnya dengan penuh banyak pertanyaan. Pasalnya sudah satu minggu ia tak menghubungiku, terakhir ia mengatakan akan keluar negeri dan kembali sebulan lagi. Nyatanya sekarang ia membuat pesta di apartemennya dan untunglah Anin tahu serta segera mengabariku, kupikir mungkin pesta kejutan untukku.“Ah, Lulu… kebetulan sekali kamu sudah datang tanpa diundang di pesta pertunanganku dengan Clara,” ucapnya dengan senyum manis. Kakiku gemetar mendengar jawabannya, aku tak pernah main-main dengannya, cintaku tulus padanya meskipun ia seringkali meminta banyak barang mewah