Aku menyipitkan mata."Kenapa harus kakak saya yang bawa?Emang gak ada Pak RT atau siapa gitu, Bu?"Bu Lastri diam sebentar."Enggak tahu juga kenapa harus si Tuti yang bawa, padahal para tetangga laki-laki juga ada kok pada menawarkan diri tapi keluargamu malah menolak."Aku berpikir sebentar, aneh juga, kenapa keluargaku maksa membawa jenazah Yassir sendiri? Maksudnya kalau ada laki-laki kan lebih baik dibawa sama laki-laki saja."Kamu jadi kurus banget Lus, baru aja ditinggal seminggu lebih sama Yassir," ucap Bu Lastri lagi seraya duduk di dekat Lusi."Tapi istrimu ini kok jarang kelihatannya udah lama ya San?" imbuh beliau terheran-heran.Tepat dugaanku, Bu Lastri bilang beliau juga tak melihat Lusi sudah sejak lama, jelasnya dari sebelum Yassir meninggal itu artinya Lusi sudah dipasung sejak lama oleh keluargaku.Tapi kenapa ibuku bilang Lusi gila saat Yassir udah meninggal? Berarti mereka bohong dan aku yakin mereka sedang menutupi sesuatu."Ya udah Bu, kami pamit ya, mau sarapa
"Ambil aja istri gila mu itu bawa dia pergi dari rumah ini, itu akan jauh lebih baik," ucap Kak Tuti sama tegasnya denganku.Wanita yang usianya tak jauh beda dari aku dan Lusi itu lalu pergi dari hadapan kami."Kamu lihat 'kan Sandi? Karena ulahmu sodaramu itu jadi marah." Ibu menyahut lagi seraya meluruskan jari telunjuknya."Dasar anak gak tahu diuntung," dengus beliau kemudian seraya berpaling muka dariku.Tapi tak kupedulikan, kubiarkan saja walau ibu marah bahkan tak lagi menganggapku anak, aku sudah tak peduli."Hari ini Sandi dan Lusi mau pindah ke rumah sodara Bu Lastri, kami mau ngontrak di sana sampai kami punya rumah baru." Aku memecah hening yang menjeda beberapa detik.Ibu kembali menoleh dengan mulut menganga. "Kok kamu jadi seenaknya gini Sandi? Mau pindah rumah gak bilang-bilang dulu, terus nanti Ibu sama siapa?""Di sini kan ada Kak Tuti dan Kak Yogi, Lula juga udah dewasa, mereka bisa kok jagain Ibu," jawabku tanpa ragu.Ibu terkatup-katup sementara Kak Noni sama ke
"Di luar di mana?" Aku bangkit dan menengok kaca jendela, tak ada siapa-siapa kecuali kak Yogi yang sejak tadi memang sedang duduk di teras."Ya udah ya udah kita pindah sekarang ya Lus, kita bawa baju kita keluar."Lusi mengangguk lalu menempel di punggungku. Segera kubawa dia keluar.Bruk. Kakinya menabrak ujung kursi hingga Lusi jatuh di dekat kaki Kak Yogi."Awas hati-hati." Kak Yogi hendak meraih istriku tapi cepat ditepisnya oleh Lusi."Pergi! Pergi kamu!" Lusi berteriak sambil melotot ke arah Kak Yogi.Cepat kutenangkan dia. "Lusi Lusi tenang, tenang dulu."Lusi malah semakin ketakutan hingga keluar keringat dingin, napasnya juga mendadak tersengal-sengal sepeti habis lari maraton."Lusi kenapa? Dia Kak Yogi suaminya Kak Tuti," ucapku panik.Tetapi Lusi malah membuka pagar rumah dan berlari menjauhi kami. "Lusi mau kemana?" Aku setengah berteriak dari teras."Kenapa istrimu itu San?"Aku menggeleng kepala, tanpa sempat menjawab ucapan Kak Yogi aku segera mengejar Lusi."Lusi
"Memangnya kenapa, Pak?""Lula belum membayar SPP selama 6 bulan, Mas."Aku terperangah. "Enam bulan?""Iya, Mas."Kurang ajar, selama ini ibu dan Kak Tuti rutin meminta uang padaku katanya untuk bayaran sekolah Lula, mana jumlahnya pun tak sedikit tapi sekarang apa? Lula belum bayaran sekolah selama 6 bulan?"Berapa biaya perbulannya, Pak?" Aku bertanya lagi."350 ribu hanya SPP, Pak."Aku kembali diam.Selama ini ibu bilang uang SPP Lula 500 ribu per bulan, belum lagi uang buat beli buku paket dan lain-lain makanya setiap bulan kukirim mereka uang 4 juta rupiah, kuniatkan untuk biaya sekolah Lula dan untuk makan anak istri serta ibuku.Tapi kenapa ibu gak bayar SPP Lula selama 6 bulan? Lalu mereka kemanakan uangnya? Apakah cuma habis dimakan begitu saja? Gak beres, mereka semua emang gak beres."Ya sudah saya nanti biar saya bicarakan dulu sama keluarga yang lain ya, Pak.""Baik Mas, oh ya dan untuk Dara semua laporannya bagus hanya dia sekarang lebih sering izin tidak masuk," tutur
Blak. Kak Noni menginjak kaki Dara hingga sontak mulut anak itu tertutup rapat. Dari sanalah baru kusadari mungkin Dara sudah keceplosan omongan."Apa tadi katamu? Ayo ulangi lagi," tanyaku kemudian.Dara dan Kak Noni pias di tempatnya. Sementara ibu cepat mengalihkan isu."Udah jangan bertengkar terus kasihan Lusi."Aku melirik sebentar ke arah beliau. Wah hebat sekali, ibuku ini memang sangat hebat bersandiwara pantas saja anak-anaknya gak bener semua."Biarin Bu, si Sandi ini emang udah tergila-gila sama perempuan gila ini, jadi wajar kalau sekarang dia buta!" sembur Kak Noni kemudian.Aku menyeringai, "istriku gak gila, apa kalian denger? Istriku enggak gila! Perlu kutegaskan berapa kali lagi hah?""Dan kalian," lanjutku dengan tatapan tajam pada Dara."Siapapun kalian yang sudah menyiksa Lusi hingga begini, pasti akan kuseret kalian ke penjara!" tegasku.Wajah ibu dan Kak Noni kembali pias. Aku segera melangkah membawa Lusi pergi tapi suara ibu kembali menghentikanku."Sandi."Ak
"Apa?" Lusi ikut bangkit dan ketakutan mendengar suaraku yang menggelegar.Meski Lusi sedang sakit dan bahkan mereka bilang dia gila tetapi aku sangat percaya pada semua ucapannya, aku sangat percaya itu.Lusi tak mungkin berbohong apalagi mengarang cerita."Abang jangan marah." Lusi memelukku.Aku cepat mengusap wajah dan mengatur napas, ya Tuhan entah kenapa sekeras apapun aku mencoba bersikap tenang tetapi saat mendengar hal-hal yang membuatku syok aku tetap saja terpancing emosi, atau semua ini memang wajar? Mungkin karena aku sangat menyayangi anak dan istriku."Abang bukan marah sama Lusi, Abang marah sama mereka yang sudah memukul Lusi dan Yassir." Aku kembali memelankan nada bicaraku seraya mengelus rambutnya.Lusi lalu terisak-isak di dadaku. Akhirnya malam itu aku pun kembali terlelap dengan pertanyaan yang masih menggantung di kepala.Siapa yang sudah berani pukul Yassir? Apakah ucapan Lusi benar? Yassir dipukul hingga ia tak bernyawa? Tapi kenapa semua orang bilang Yassi
Akhirnya kuredam emosiku lagi. Kutarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan-lahan.Lagi pula aku tidak boleh membuat onar atau kegaduhan di dalam rumah karena Lusi bisa bangun dan kembali ketakutan lagi."Oke, sekarang katakan! Katakan semua yang kalian tahu tanpa kalian tutupi sedikitpun," ujarku ketika aku sudah merasa lebih baik.Lula menarik napas pelan sebelum akhirnya ia bicara. "Kak Sandi, sebetulnya Yassir tidak mati tenggelam, tapi karena dibunuh sama Kak Tuti," bisik Lula di dekat telingaku.Refleks tanganku mengepal hebat hingga kulihat dengan jelas buku-buku jari tanganku memutih pucat."Dibunuh? Jadi benar anakku dibunuh?" Mataku membulat ke arah Lula.Lula mengangguk ragu-ragu sambil sesekali menatap mataku yang sedang menyemburkan bara api."Dengan cara apa anakku dibunuh? Apa Yassir dipukul?" tanyaku lagi, masih dengan tatapan menyilet ke arah Lula."Iya bener Kak Sandi," jawabnya disertai anggukan kepala yang kesekian kalinya.Biadab! Kakakku yang selama ini k
Dara dan Lula saling menatap."Apa itu artinya Lula harus mengkhianati Ibu?" tanya adikku kemudian.Aku mengibaskan tangan sambil menggeleng kepala, kubuat suasana lebih santai agar anak-anak remaja ini tak terlalu ketakutan berada dalam masalah besar seperti ini.Aku lalu mengajak kembali mereka duduk."Duduklah kalian!"Ragu-ragu tapi akhirnya mereka mau duduk kembali."Begini, akan ada dua keuntungan yang kalian dapatkan saat kalian berada di pihak kami dan membantu Kakak mengungkap kejahatan ini."Mereka menatapku dengan raut tak paham."Kenapa? Apa kalian masih bingung?"Mereka mengangguk kepala tanpa bicara apa-apa."Oke, jadi kalau kalian mau membantu Kakak mengungkap masalah ini, keuntungan pertamanya adalah kalian akan Kakak jamin tetap lanjut sekolah sampai lulus, baik Lula maupun Dara, semuanya sama, surat DO itu Kakak pastikan gak akan berlaku lagi untuk kalian."Mereka berdua menarik napas berat seraya tetap menyimak."Kedua, kalian gak akan Kaka seret ke dalam penjara me