Semenjak pulang dari rumah Mas Zaidan, bibir ini tidak bisa berhenti tersenyum. Aku selalu teringat perlakuan manisnya dan perubahan yang begitu signifikan. Dia sudah tidak lagi mengungkit-ungkit kepergian Ibu, bahkan dia ingin sekali memperbaiki hubungan pernikahan kami. Aku duduk di depan cermin rias sembari menyisir rambut yang masih basah. Kejadian tadi siang membuatku menginginkan sesuatu. Semoga benih Mas Zaidan segera tumbuh di rahimku lagi agar masalah kami terselesaikan segera. Tangan kanan ini meraba perut. Ini, adalah salah satu cara untuk kembali meluluhkan hati Ayah. Meskipun bayangan keguguran dulu masih terekam jelas di ingatan dan meninggalkan bekas trauma yang cukup mendalam, tapi aku tidak punya pilihan lain. Selagi Mas Zaidan kembali di sisiku, semua pasti berjalan baik-baik saja. Namun, jantung ini tiba-tiba berdetak makin cepat. Peristiwa kecelakaan yang merenggut Ibu terlintas begitu saja. Aku berdiri di depan Ibu dan Zaki yang bersimbah darah, di saat bersama
"Di mana Mas Zaidan, Bu? Kenapa kalian pergi tanpa kabar? Apa Mas Zaidan nggak mau bersatu lagi denganku? Apa dia tidak ingin kembali denganku dan anak-anak? Apa penyesalannya itu hanya pura-pura? Tolong jawab, Bu!"Aku benar-benar tidak habis pikir. Namun, Bu Padma hanya diam tanpa sepatah kata pun mengatakan keberadaan Mas Zaidan. Perempuan yang wajahnya mulai keriput itu memandangku dengan mata berkaca-kaca. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Bu Padma enggan menceritakan tentang Mas Zaidan, tapi wajahnya tampak begitu sedih? Aku tidak lagi memaksa perempuan yang sudah menjadi pengganti Ibu itu untuk bicara. Perlahan, aku bangkit dan menurunkan kedua kaki dari ranjang. Kemudian, mencoba melepas jarum infus yang menancap di punggung tangan kiri. Aku tidak perlu transfusi darah. "Mbak Zainab mau ke mana? Dokter menyarankan untuk Mbak dirawat. Mbak mengalami anemia akut dan tekanan darah rendah." Suara Bu Padma terdengar begitu khawatir. "Aku gak sakit, Bu. Aku sehat dan gak perlu
Dua hari Zainab hanya terbaring di tempat tidur kamarnya. Wajahnya bertambah pucat karena porsi makan yang sangat sedikit dengan pikiran tidak di tempat. Dia terus-menerus mengingat Zaidan yang sama sekali tidak ada kabar. Segala upaya dilakukan oleh Ayah Hasyim untuk bisa membuat putrinya itu makan dan minum, tapi Zainab sangat keras kepala. Bahkan, permintaan putra-putrinya pun diabaikan. "Makanlah dulu, Nak. Sedikit-sedikit saja. Kasihan yang di perut."Zainab tidak mengindahkan ucapan ayahnya. Dia kembali menarik selimut hingga menutup kepala. Hal itu membuat Ayah Hasyim tidak mampu lagi menahan amarah. Laki-laki yang sudah berusia setengah abad itu menarik paksa selimut sang putri. "Apa dengan sikapmu seperti ini, Zaidan akan kembali? Kamu sudah zalim pada Zahira dan Zaki. Kamu gak peduli dengan semua anak-anakmu. Cukup bersikap kekanak-kanakan seperti itu! Bangun dan jalani hidup seperti biasa!"Zainab bangkit, mata yang biasanya menatap dengan hangat, kini terlihat tajam men
Zainab terus melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua. Setibanya di rumah, dia langsung meninggalkan Zaidan yang sudah dihadang putra-putri mereka. Zahira dan Zaki menghambur kenpelukan sang papa begitu laki-laki itu menapakkan kaki di rumah megah peninggalan Herman Aditama. Meskipun Zaidan menanggapi dan memeluk putra-putrinya, tapi pandangannya mengikuti sosok Zaianab. Masih tidak ada kata yang perempuan itu ucapkan untuk menjawab pertanyaan dari sang suami. "Papa dari mana saja? Kenapa kerjanya lama dan jauh? Kakak sama Adek kangen." Zahira sudah cemberut sambil berucap manja. Zaidan pun bingung ingin menjawab bagaimana. "Iya, Sayang. Maafkan papa, ya. Papa kerjanya kejauhan, ya. Mulai sekarang, papa kerjanya di dekat sini lagi saja, ya. Biar bisa selalu sama-sama dengan Zahira dan Adek Zaki."Dua bocah berusia lima tahun dan empat tahun itu tampak girang sambil melompat-lompat. Kemudian, mencium pipi Zaidan bersamaan. "Kakak sama Adek sudah mandi belum? Bau asem!" Zaida
Memaafkan memang bukan hal mudah, tapi itu bisa diusahakan sejalan dengan hati yang ikhlas. Aku tahu jika kemarahannya padaku masih jauh lebih kecil daripada cintanya. Hingga pastinya, perempuan di hadapan ini akan memberikan kehangatan lagi secepatnya. Begitu banyak yang kurindukan darinya. Tawanya dengan lesung pipit yang manis, mata indahnya yang sering berkedip lucu, bibirnya yang mengerucut jika marah, bahkan sikap kekanak-kanakan dan manjanya sangat ingin kulihat lagi sekarang. Akan tetapi, baru saja aku sudah melihat salah satu dari itu. Begitu antusiasnya Zainab memakan manisan buah yang kubawa hingga habis dan dia mengucapkan terima kasih dengan senyuman berlesung pipitnya. Setelah diletakkannya mangkuk ke nakas, aku langsung memeluknya. Menghidu aroma tubuhnya dengan mata terpejam bisa membuat hati ini tenang. Sambil mengusap lembut kepalanya, aku berbisik, "Terima kasih, Sayang. Dengan melihat kamu makan selahap itu, mas sangat bahagia."Alhamdulillah, Zainab sudah tidak
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan tumben sekali aku tidak mendapati satu pun rumah makan atau restoran masakan Padang yang masih buka. Sementara Zainab sudah tampak gelisah. Sepertinya, dia sedang mengidam dan kecewa karena keinginannya belum terpenuhi. "Tadi sebelum aku mau ikut, Mas mau pergi ke mana?" tanya Zainab tiba-tiba. "Enggak ke mana-mana, cuma jalan kaki aja di sekitar rumah," jawabku sambil tetap fokus ke depan. "Kalau begitu, kita pulang saja sekarang." Zainab berkata pelan. Aku menoleh sekilas, tapi Zainab sudah membuang muka ke kiri. Aku tidak tega kalau seperti ini. Perempuan hamil yang tidak kesampaian keinginannya saat mengidam sepertinya sangat tersiksa meskipun mitos tentang anak yang ileran itu sudah banyak terbantahkan. "Katanya pengen makan nasi Padang? Ini, Mas masih cari, Sayang." Aku mencoba untuk tetap berkata dengan tenang. "Udah satu jam kita muter-muter aja, Mas. Udah pada tutup. Aku juga udah capek, mau tidur. Pinggang juga pegel kalau
Di kehamilan yang memasuki bulan keempat ini, Zainab tampak mulai berisi. Memang kebahagiaan berpengaruh besar pada fisik seseorang dan itu sudah terbukti. Sepasang suami-istri itu sudah berdamai dengan keadaan dan saling memaafkan hingga tidak ada lagi beban di hati. Sore ini, Zainab akan memeriksakan kandungannya untuk kali pertama setelah kedatangan Zaidan. Zahira dan Zaki pun turut serta karena mereka begitu antusias dengan kehadiran sang calon adik. Rasa penasaran juga begitu besar di benak dua bocah itu tentang bagaimana cara adik mereka bisa ada dalam perut sang mama. Zahira dan Zaki begitu girangnya melihat layar USG empat dimensi di samping Zainab berbaring. Bahkan, suara detak jantung adik mereka yang terdengar begitu cepat membuat keduanya terkagum-kagum. "Itu, Dedek deg-degan, ya, Bu Dokter?" tanya Zahira dan ditanggapi dengan lembut oleh sang dokter yang masih memutar probe di perut Zainab. "Iya, Sayang. Itu, suara detak jantung adiknya Kakak Cantik." Dokter itu mengu
Zainab sedang berkutat di dapur bersama Suci untuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Dia sudah tampak lebih sehat sekarang dan mulai bisa beraktivitas normal. "Mbak Zainab istirahat saja, biar saya yang lanjutkan memasak. Sudah hampir selesai, kok. Saya nggak tega lihat Mbak terlalu lama berdiri. Sudah lebih dari satu jam, loh." Suci berucap saat melihat Zainab mulai memijit-mijit pinggang. "Iya, Mbak Suci, pinggang sama perut tiba-tiba nggak enak banget rasanya. Aku tinggal, ya," pamit Zainab dan dijawab dengan anggukan oleh Suci. Zaidan yang baru saja masuk ke rumah, melihat sang istri yang duduk sendirian di sofa ruang tengah. Keningnya mengerut cukup dalam seraya mendekat kepada Zainab yang sedang mengelus perut. "Kenapa, Sayang? Sakit? Hei, wajahmu juga agak pucat." Zaidan mengangkat dagu Zainab, lalu menatap dengan seksama. Zainab menggeleng seraya berkata, "Enggak apa-apa, Mas. Cuma rasanya mual, tapi nggak bisa dikeluarin.""Jangan bilang kalau kamu puasa lagi hari ini,"