Sebuah kafe yang terletak di pinggiran London kedatangan tamu, sebuah mobil SUV baru saja berhenti di sana. Pengemudinya adalah seorang wanita berparas manis yang mengenakan setelan kemeja dan celana kain, tidak lupa sepasang sepatu hak tinggi hitam beserta tas tangan bermerek Gucci melingkari lengannya.
Wanita itu tampak celingukan sesaat setelah melewati pintu kafe. Seorang wanita berambut senada seperti milikku akhirnya tiba. Melihatnya tidak dapat menemukan keberadaanku membuatku melambaikan tangan pelan⸻memberikan tanda. Ia tidak segera melangkah untuk menyusulku yang duduk di sudut kafe dekat lorong menuju toilet. Ia justru menuju konter di mana seorang pegawai kafe telah mengulum senyum sopan menanti kedatangannya, agar dapat mulai mencatat pesanan pelanggan cantik jelita ini.
“Satu gelas Frappucino, tolong tambahkan krim lebih banyak,” ujar si pelanggan wanita cantik sebelum
Halo, Ivy di sini! Maaf karena untuk beberapa waktu yang sa~ngat lama tidak terlihat. Jangan khawatir novel ini masih berlanjut hehe dan mulai hari ini hingga seterusnya. Ivy akan berusaha keras agar selalu melakukan update setiap hari! (Jika bisa hehe) Saya kira tidak akan banyak orang yang akan menyukai novel ini, ternyata saya salah. Terimakasih kepada para pembaca, selalu dukung novel ini dengan memberikan rating, komen dan masukan novel ini ke reading list kalian. Adios!!! Amigos!! >.<
Ada beberapa hal yang membuat wanita bersurai senada denganku tiba-tiba menawarkan sebuah bisnis. Itu semua karena isi amplop yang kusodorkan⸻sebuah foto yang terdapat seorang wanita dan pria sedang bercumbu mesra. Robert Hammington, suami dari Maggie dan seorang manager di perusahaan Oswald. Salah satu kaki tangan Emilia yang selalu melakukan setiap perintahnya, layaknya seorang butler pada tuan yang mereka layani. Tidak ada yang tidak murka ketika menemukan suami dan kakak kandungnya sendiri sedang saling memagut dan bertukar saliva. Bahkan, aku saja yang telah mengetahui rencana yang kami siapkan sendiri⸻aku dan Sebastian⸻ masih menangis histeris karena merasakan sesak teramat sangat ketika melihat adegan romantis itu. “Penawaran apa yang ingin kau lakukan?” tanyaku sambil menyeka sisa butiran air mata. “Aku akan membantumu untuk menghentikan Emilia. Jangan biarkan dia merayu Sebastian lebih jauh. Kita harus tangka
“Sebastian!!”Ternyata saat aku membuka mata, sosok si pria iblis yang akhir-akhir ini hinggap dibenakku telah berdiri tepat di sampingku sembari mengulas senyum menawan.Sebastian masih sibuk mengusap puncak kepalaku, sementara aku hanya mendongan dan menikmati pemandangan makhluk terkutuk milik Tuhan yang paling seksi menurutku. Aku memahami alasan Emilia yang sangat terobsesi untuk mencicipi suamiku ini.Wajah, tubuh bahkan tindak tanduknya bagi seorang manusia merupakan sebuah hal yang sangat sempurna. Lalu wanita mana yang tidak akan tergila-gila, jika menemukan seorang pria dengan perangai tampan nan rupawan. Jangan lupakan Sebastian ku ini adalah seorang jenius muda yang memiliki gelar profesor, sekaligus pemilik salah satu rumah sakit terbesar dan terkenal di London.
Suara derit pintu tertutup cukup keras. Bahkan karena terlalu keras seorang bocah lelaki terbangun dari tidur sorenya yang cukup singkat. Ia berjalan terhuyung-huyung. Iris safirnya kemudian mendapati sosok wanita bersurai mahoni tampak cukup berantakan sedang bersandar di pintu.“Ibu … ?” Panggilan pelan si bocah lelaki membuat Maggie tersadar dari lamunannya untuk sesaat. Rautnya yang semula memerah akibat menahan tangis tiba-tiba saja lenyap ketika menemukan sosok salah satu malaikat kecilnya.“Rezef, kenapa kau di sini? Ibu dengar dari Jessie kau sudah tidur,” kata Maggie sembari meraih tubuh mungil balita berusia 3 tahun itu dan menggendongnya. Bukannya menjawab sang buah hati justru tertawa senang dan mengecup pipi Margaret.Langkahnya yang hampir mencapai ruang keluarga ti
London hari itu sedang membeku. Ramalan cuaca mengatakan suhu akan mencapai -5°C. Itulah alasan mengapa aku mengenakan pakaian yang tebal. Sebuah kaos berlengan panjang, sweater, kemudian mantel tebal dan sepasang bots, aku justru merasa akan berkuda di tengah salju bukannya pergi untuk bekerja.Namun meski suhu dingin seakan membekukan aliran darah, sepertinya itu semua tidak berlaku bagi pria di sampingku. Sebastian hanya mengenakan sweater rajut berwarna abu, dipasangkan jeans dan mantel senada denganku. Ia bahkan tidak melilitkan syal di leher, kulit pucatnya tampak serasi dengan salju.“Apa kau tidak kedinginan?” tanyaku saat kami tiba di persimpangan lampu merah. Sebastian tidak menjawab ia justru menaikan sebelah alisnya dan mengambil sesuatu di belakang.‘Ah! Sebuah selimut tambah
BrakkkSuara pintu yang baru saja ditutup keras hampir membuat sosok wanita bersurai mahoni yang semula sibuk dengan beberapa tumpukan kertas terjatuh dari kursi. Untung saja ia masih dapat menahan tubuhnya, jika tidak rencananya untuk membuat pria berwajah tampan di hadapannya menderita akan gagal.“Maggie, apa maksudmu dengan isi blangko ini? Kau bercanda?” tanya pria itu sambil menyodorkan sebuah amplop coklat di atas meja.Maggie hanya melirik sekilas sebelum akhirnya ia memilih untuk melanjutkan kegiatannya mengurus beberapa berkas yang menumpuk. Ia bahkan tampak tidak tertarik pada sepucuk amplop coklat yang masih tergeletak di hadapannya.Sikap wanita yang tak lain istrinya itu berhasil membuat Robert menggeram kesal. Sebuah gebrakan pada meja kerjanya membuat M
“Hiks⸺” Isak tangis terdengar di sepanjang lorong sebuah gedung. Tidak terlalu jelas karena wanita pemilik suara sendu itu membekap mulutnya rapat berusaha agar isaknya tidak terdengar oleh siapa pun. Maggie menghentakan hak sepatu tahu miliknya keras. Wanita itu berjalan secepat yang ia bisa untuk mencapai toilet yang memang terletak jauh dari ruangannya. Karena Robert masih belum meninggalkan ruangan membuatnya mau tidak mau memilih toilet umum. Tepat sebelum memasuki bilik ia berusaha menyeka air mata yang masih saja mengguyur deras pipinya. Beberapa kali wanita itu juga berdehem untuk menghilangkan suara serak akibat tangis. “Morning ..,” sapa Maggie kepada para karyawati yang sedang sibuk di depan kaca⸺membenahi riasannya yang mulai memudar karena hari mul
“Kau membuatku berlumut, Rael.” “Alicia, sorry … kau tahu sekarang aku sedang sangat … sibuk.” Dengan nafas terengah aku yang baru saja memasuki sebuah kafe di daerah dekat rumah sakit Sebastian langsung mengambil tempat di salah satu bangku kayu. Di saat hari sedang cukup bersalju aku harus berlari sekitar beberapa blok demi wanita berlipstik merah merona ini. Itulah yang menjadi alasan mengapa peluh membasahi dahiku. “Kau baru saja habis dikejar rentenir atau apa? Bagaimana bisa kau berkeringat di saat jalanan London membeku,” kata Alicia begitu ia memperhatikan sosokku dengan jelas, setelah sempat berkutat pada ponsel di tangannya membuatku berdecak kesal. ‘Astaga, Tuhan lihatlah! Pelaku yang menjadi alasan
BrukkAku melempar tubuhku ke atas ranjang dan bergoyang beberapa kali. Dengan masih mengenakan mantel hitam lengkap sepasang sepatu aku langsung saja berbaring, tidak peduli apakah sisa-sisa salju di bots akan mengotori lantai kamar.Hari ini tenagaku benar-benar terkuras habis. Bukan karena berlari dari rumah sakit milik Sebastian, tetapi saat menerima sebuah kabar yang membuat jantungku terjun bebas selama beberapa detik.‘Kepala Brown pagi ini menghubungiku karena kita menerima banyak sekali komentar buruk di website tentangmu, ternyata asal muasalnya dari beberapa artikel omong kosong ini.’Ucapan Alicia kembali terngiang di benakku. Berkat kabar buruk yang dibawanya seluruh tubuhku melemas, bahkan aku merasa seperti tidak memiliki tulang saat berjalan.