“Terus sampai di sana, kita mau ngapain, Mas. Mau mendengarkan hinaan ibumu lagi kah? Apa kamu nggak capek, Mas?” berondongku, dia hanya diam tak menyahut malah melajukan kendaraan menuju rumah ibunya. Aku pasrah.Begitu sampai, aku terheran-heran melihat senyum mengembang milik ibu mertuaku. Dia menyambut kami dengan baik. Bahkan Arthur yang ada di gendonganku langsung diambilnya begitu saja. Tumben, ada angin apa ini yang terjadi sama ibu mertua.“Ealahh, cucuku sing lanang. Apa kabar, nduk.” Ujarnya sembari menimang-nimang Arthur. Aku semakin dibuat heran, saat dia menggandengku masuk ke dalam rumah, tak lama kami duduk di ruang tamu. Di sana sudah ada bapak yang duduk santai sambil menikmati secangkir teh ditemani biskuit kelapa kesukaannya.“Gini loh, Mayang. Ibu sama Bapak ada rencana mau memperbaiki dapur, dapur kita di belakang dindingnya sudah roboh dan semalam Ibu ketakutan karena ada bayangan hitam menakutkan di sana pas Ibu lagi masak, makanya dindingnya mau dipasang batu
“Jadi benar kamu dapat bonus selain gaji, Mas? Berapa?” cecarku tak sabaran, aku memaksanya membuka mulutnya. Dengan lesu, bisa kudengar suamiku berkata.“Tiap hari bonus antara seratus lima puluh sampai dua ratus ribu.” Mataku melotot mendengar penjelasannya. “Itu bukan sedikit, Mas. Bukan uang receh. Bahkan uang bonus kamu lebih banyak dari uang gajimu, tapi mengapa setiap aku minta uang untuk membeli beras atau membeli popok Arthur, kamu selalu bilang uangmu habis karena sudah membayar DP motor, terus ke mana selama ini uang bonusmu?” aku benar-benar menyidangnya. Aku benar-benar shock dengan apa yang telah ia sampaikan.“Semuanya aku kasihkan ke Ibu, katanya dia masih butuh buat tambahan perbaiki dinding dapur, terus juga buat bayar uang arisan keluarga yang dia ikuti. Setiap aku dapat uang bonus maka semuanya langsung aku serahkan begitu aja ke Ibu.” Kepalaku mendadak berdenyut nyeri.“Tega kamu, Mas. Begitu tega kamu menghabiskan seluruh uang kamu ke Ibumu, aku memang tak perna
“Kak … ada ibu mertuamu tuh datang.” aku yang masih menimang Arthur, sontak menoleh. Mau apalagi ibu mertuaku datang ke sini? Begitu aku tiba di ruang tamu, kulihat ibu mertuaku sudah duduk manis di sana ditemani oleh Iwan. Saat melihatku menghampirinya terlihat wajah garangnya menatapku tak senang. Aku hanya diam saja menunggu apa yang akan ia katakan padaku. Farida bergerak cepat mengambil Arthur dari gendonganku lalu membawanya bermain di halaman. Tinggallah aku, ibu dan Iwan di ruang tamu.“Ibu … ada apa?” tanyaku seraya mencium punggung tangannya dengan takzim. “Kamu nggak usah pura-pura tanya, jelas-jelas kamu semalam mengusir anakku dari rumahmu yang reot ini, masih juga pura-pura nggak tahu kedatanganku ke sini untuk apa. Sekarang Ibu tanya… memangnya apa salah kalau Didik membantu adik-adiknya, mumpung sekarang ini dia sudah bekerja dan memiliki penghasilan yang lumayan. Kamu bukannya mendukung suami, tapi malah mengusirnya seakan-akan kamu maunya Didik itu nggak usah lag
“Dia ngomong apa aja, Mbak Kiki?” Farida yang langsung bertanya, sedangkan aku memilih diam sembari memijit pelipisku yang terasa nyeri. “Aku juga nggak dengar banyak, Dek. Soalnya aku keburu mau pulang dan balikin motor. Kalau aku sih sudah nggak percaya lagi omongan ibu mertua Mbak Mayang. Tapi para tetangga tadi kelihatan terpengaruh lagi omongannya, dia menangis sesungukan begitu gimana nggak orang-orang pada mengerumuni dia. Mungkin sekarang ini dia masih di sana, entah apalagi yang dia ceritakan, sabar aja ya Mbak Mayang.” Ujar Kiki dan tak lama dia pun pamit pulang. “Mau sampai kapan kakak mau difitnah dan dibuat hancur oleh ibu mertua kakak sendiri. Lagian kenapa bisa Mas Didik begitu, Kak. Bukannya sejak awal dia yang selalu membela Kakak tapi malah ke belakang-belakangnya dia malah pro sama keluarganya di sana.” Sungut Farida. Aku hanya diam membisu.Terus terang aku sendiri juga bingung dengan apa yang telah terjadi. Keputusanku ingin memberi pelajaran pada suamiku malah
Pov Didik Semakin hari aku semakin tak mengerti dengan sikap yang ditunjukkan oleh Mayang, istriku. Dia yang dulunya sabar, kini lebih banyak membantah dan bahkan dengan terang-terangan tak mau membantu ibuku, ibu yang melahirkan ku. Aku memang lama menganggu akibat PHK setahun yang lalu dan kami yang waktu itu masih tinggal di rumah ibu, tentu saja berharap seluruhnya pada ibu. Meski sikap ibuku agak keras terhadap kami, namun semua itu aku anggap sebagai cara dia agar kami mau belajar mandiri supaya mapan nantinya.Aku melihat begitu banyak perjuangan ibu yang menampung aku yang sudah nyata-nyata berkeluarga. Makanya aku berjanji saat aku sudah bekerja dan menghasilkan kembali, aku akan menyenangkan hati ibuku, akan tetapi sikap Mayang justru tak menyukai apa yang aku lakukan.Memangnya aku salah memberi ke pada kedua orang tuaku khususnya ibu, aku lakukan semata-mata ingin berbakti di sisa usia mereka nanti. Aku sangat berharap Mayang dapat memaklumiku, tapi aku harus kecewa saa
Hatiku hancur melihat kenyataan bahwa Mas Didik memilih pergi ke rumah orang tuanya dan setelah mengambil cincin kawin dari tanganku, dengan cincin itupula dia kenakan di tangan seorang perempuan yang aku sendiri tidak tahu siapa orangnya. Jika memang Mas Didik ingin meminang perempuan lain, mengapa urusannya denganku tidak dia selesaikan dulu.Terasa ada yang nyeri di hatiku bila mengingat story tersebut. Tangan wanita yang ia sematkan cincin di sana.Setelah seharian bermain di pantai, aku membersihkan tubuh setelah menidurkan Arthur yang benar-benar kecapekan. Lima belas menit menyelesaikan ritual mandiku, aku lanjut berbaring santai di samping anakku, anak semata wayangku.Tak terasa air mataku mengalir membuat jejak di pipiku, melihat anakku yang lagi tertidur pulas membuatku semakin membenamkan wajah di bantal, Jika memang benar Mas Didik akan berpisah dariku, bagaimana bisa anak sekecil Arthur sudah harus hidup tanpa kehadiran kedua orang tuanya secara lengkap.“Ya Allah, bant
Seminggu setelah Mas Didik meminta maaf karena telah berbohong padaku dengan memprioritaskan urusan ibu dan adiknya tersebut, hidupku berjalan tenang. Bahkan tidak ada tanda-tanda Mas Didik akan mengulangi perbuatannya lagi. Namun ketenangan itu hanya sesaat, semua bermula saat kedua orang tua suamiku untuk meminta kami untuk berkumpul dalam rangka membicarakan pernikahan Iwan, adik bungsu Mas Didik yang sebentar lagi akan menikah dengan Shinta, anak Bu Yuli teman ibu mertuaku.“Dek, nanti sepulang aku kerja, kita sama-sama ke rumah Ibu ya, katanya kita semua disuruh kumpul untuk rembukan membicarakan persiapan pernikahan Iwan.” Aku hanya mengangguk menurut.“Oya, Dek. Dalam beberapa hari kedepan tidak adalagi pemberian bonus bagi karyawan karena katanya untuk kenaikan gaji masih dilakukan pembahasan jadi kemungkinan bonus akan ditiadakan.” Aku yang sedang menyuap nasi goreng ke mulutku terhenti. Kupindai matanya, mencari kebenaran di sana. Ia nampak santai saat menyampaikannya.“In
“Meski kami mau rembukan sampai beberapa bulan juga, uang segitu banyak tidak akan bisa terkumpul begitu saja, Bu. Lagian Iwan sendiri yang mau menikah, kenapa kami semua yang direpotkan.” Selaku tiba-tiba. Pandangan mata ibu mertua langsung ke manik mataku.“Kamu itu bisakah setidaknya membantu pernikahan adik iparmu, ini pernikahan terakhir dikeluarga kita jadi haruslah mewah, lagipula Ibu tidak mau malu dengan para tetangga di sini karena Ibu sudah bilang sejak pulang dari memboking tempat di hotel tadi, Ibu sudah bilang ke tetangga kalau resepsi akan dilaksanakan di sana, hanya segitu saja kamu berat juga mau membantu?” Ibu menyahut tak mau kalah.“Bukannya begitu, Bu. Apa yang dikatakan Mayang itu benar, dengan biaya nikah yang cukup besar begitu memangnya kami dapat uang dari mana, apalagi tinggal seminggu lagi. Kalaupun ada uang hanya cukup untuk acara nikahan saja di rumah. Kamu juga, Iwan mau menikah uang simpananmu memangnya nggak ada, sampai-sampai kami semua yang diminta m