Zayyad sudah pulang ke vila sejak tadi sore. Menjelang malam, ia sama sekali tidak menemukan batang hidung Alina. Irsyad dan Erina tidak ada vila. Mereka masih luar. Hanya dia seorang yang ada di rumah besar ini.
Zayyad melihat kertas post it yang ada di tangannya. Post it yang ditempel Alina di komputer kerjanya. Entah berapa kali ia sudah membaca kata-kata yang tertulis di sana dengan perasaan cemas dan khawatir.
'Zayyad..aku pergi ketemu Chana ya!'
Alina sudah pergi sejak pukul dua belas siang dan belum kembali sampai sekarang. Padahal hari sudah gelap.
Zayyad melirik kearah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam lewat. Ia ingin menghubungi Alina, tapi nihil— ia tidak punya kontak wanita itu.
Perasaannya tidak enak sama sekali. Fakta Chana adalah istri dari Cavell, bagaimana mungkin ia dapat tenang mengetahui Alina berjalan bersamanya?
Zayyad bangun dari sofa, mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Ia ya
Alina diam, tidak tau harus menjawab apa. Hatinya merasa kelu mendengar gelak tawa Chana yang cukup miris. Mengangkat gelas minumannya, ia menyesapnya sedikit. Rasanya yang sangat tidak familiar di Indra pengecap nya, membuat keningnya berkerut dalam."Ahh.." Ada rasa pekat yang masih tersisa di lidahnya, setelah ia meminumnya.Alina mengangkat gelas bening itu dan memperhatikan warna minumannya yang coklat persis seperti teh, 'Kenapa teh ini rasanya aneh sekali?'"Kau tau kenapa hari ini aku mengajak mu bertemu?" Chana lagi-lagi meneguk gelas kecil ditangannya."Kenapa?" Tanya Alina, penasaran."Itu karena Cavell yang meminta ku" Jawab Chana, menoleh kearah Alina dengan secarik senyuman samar di bibirnya.Alina terkesiap. Cavell?Chana mengangkat botolnya, tapi ketika hendak menuangka
"Sejak kapan kau datang?" Alina menoleh ke belakang, matanya terkejut menemukan Cavell yang entah kapan sudah berada dibelakangnya. Cavell tidak menghiraukan Alina. Mengangkat kakinya, Cavell menendang keras kursi yang diduduki pria paruh baya itu sampai terjungkal jatuh. "Arghh.." Pria paruh baya itu terlempar mengenaskan ke lantai dan mengerang. Sontak Chana dan Alina terkejut. "Sayang, kapan kau datang?" Chana bangun dari duduknya, mendatangi Cavell dengan langkah sempoyongan. "Berapa botol kau minum?" Cavell menahan Chana yang tiba-tiba saja jatuh kearahnya. Suaranya terdengar dingin dan tak senang. "Tidak banyak.. tidak banyak koq..he..he.." Wanita cantik itu tersenyum konyol menatap suaminya. Cavell terus memalingkan wajahnya kearah Alina, "Kenapa tidak melarangnya?" "Aku sudah, tapi istri mu itu tidak mau mendengar ku" Ketus Alina sembari menggelengkan kepalanya yang terasa semakin berat. Cavell men
Setelah menemukan ponselnya, Alina mengambil Jempol kanan Zayyad untuk mengaktifkan kunci pengaman agar ia dapat mengakses ponsel pria itu. Setelahnya, ia langsung mencari kontak Bakri dan segera menghubunginya. "Assalamu'alaikum pak Zayyad..." Terdengar suara sopan Bakri menjawab panggilan. "Bakri aku akan segera mengirimkan lokasinya pada mu, segera datang kemari. Tolong cepat ya.. Zayyad pingsan" Alina terus berbicara dengan panik. Tanpa menunggu jawaban dari Bakri, ia terus memutuskan panggilan dan meng-share lokasinya pada asisten pribadi Zayyad itu. "Zayyad.. Zayyad" Alina menepuk-nepuk pelan pipi Zayyad, berusaha menyadarkannya. Tapi matanya tetap terpejam tidak merespon panggilannya. Tidak tau kenapa, di samping kepalanya yang terasa berat, tiba-tiba Alina merasa sekujur tubuhnya mulai terasa gerah dan panas. "Ah, kenapa panas sekali!" Alina mengibas-ngibaskan tangannya ke wajahnya, rasa panas itu membuatnya seakan ingin segera melepas
Sepanjang perjalanan, Alina yang duduk di bangku depan tepat di samping Cavell yang mengemudi, kepalanya terus terkulai ke kepala kursi dalam keadaan mata terpejam. Cavell yang fokus menyetir, sesekali menoleh pada Alina. Cavell melihat kedua belah pipi Alina yang tirus, sudah memerah seperti buah persik. Cavell tau kalau Alina mabuk. Alina yang berhijab, pasti tidak pernah menyentuh atau bahkan mengkonsumsi alkohol sebelumnya. Cavell menghentikan laju mobilnya ketika melihat lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Bersamaan dengan itu Cavell mendengar suara lirih Alina yang merintih kepanasan. "Panas.." "Ahh..hah..panas.." "Hah..hah..kenapa panas sekali?" Alina tidak membuka matanya. Hanya bibirnya yang bernoda darah itu terus merintih dan mendesah kepanasan. Cavell melirik kearah Alina yang sudah bersiap untuk menanggalkan pashmina yang membalut leher dan kepalanya. Cavell dengan sigap mencegahnya, "Tidak di sini.." Cavell menahan tangan Al
Detik itu, mata elang Cavell menyala-nyala. Sekujur tubuhnya menegang. Perasaan yang menggelitik dari jari-jemari kecil Alina yang mempermainkan permukaan bibirnya, menghasilkan rasa panas yang mulai menjalar ke seluruh sel saraf dalam otaknya, membuatnya merasa begitu bergairah. "Kau ingin aku puaskan seperti apa, hem?" Mata elang Cavell tersenyum dingin, jari-jemarinya mulai menari pelan di atas permukaan wajah Alina yang halus. Alina yang masih dalam keadaan mabuk, retinanya menangkap seseorang yang sedang menatap wajahnya saat ini adalah Zayyad. Tapi Alina melihat itu bukanlah tatapan menggoda Zayyad yang seperti biasanya. Tatapan itu dingin dan penuh hasrat, "Zayyad..kenapa kau terlihat berbeda sekali malam ini?" Cavell mencengkram seprai ranjangnya, mendengus kesal. Lagi-lagi Zayyad. Apakah Alina begitu mencintai pria lemah yang sangat tak tertolong itu? Lagipula wanita yang agresif seperti Alina sangat tidak cocok dengan pria gynophobic seperti
Zayyad melangkah terburu-buru keluar dari vila. Tapi setiba di depan halaman kediamannya yang luas, langkahnya terhenti melihat mobil roll Royce hitam miliknya tidak terparkir didepan. Mendengar langkah cepat yang datang dari belakangnya. Zayyad berbalik, melihat Bakri yang membungkuk dengan nafas tersengal-sengal."Pak..hah..hah.." Langkah Zayyad cukup cepat, Bakri bahkan harus berlari untuk mengejarnya."Mobil anda masih di sana. Nanti saya akan menyuruh seseorang untuk membawanya pulang. Bagaimana jika saya yang—""Berikan kunci mobil mu!" Potong Zayyad.Tatapannya yang terlihat suram, membuat Bakri menyadari satu hal— dia sudah melakukan kesalahan malam ini, karena meninggalkan Alina di bar begitu saja."Baik pak!" Bakri merogoh saku celananya, menyerahkan kunci mobilnya pada Zayyad."Hadi tolong buka pintu pagarnya.." Seru Zayyad. Kaki panjangnya dengan cepat menggapai sedan putih milik Bakri."Siap pak!" Hadi ber
Alina yang menggeliat tak sabaran sejak tadi, terdiam. Mata hitamnya menatap mata coklat Zayyad."Jika pun aku mau, aku ingin melakukannya atas persetujuan darimu..."Menarik kerah baju Zayyad, Alina dengan gigih berkata, "Aku menyetujuinya""..." Zayyad menghela nafas panjang."Ayo cepat! Kita lakukan sekarang ya, aku sudah tak tahan.." Rengek Alina mendesak Zayyad untuk segera memuaskannya. Tangannya dengan terburu-buru melepaskan kancing baju Zayyad. Rasa panas yang menjalar hingga ke pembuluh otaknya, membuat Alina merasa tak tahan untuk segera mendapatkan apa yang dibutuhkan tubuhnya.Zayyad tidak punya pilihan lain. Mengangkat tubuh kurus Alina, Zayyad membawanya pergi ke kamar mandi. Lalu ia meletakkan wanita itu kedalam bathtub."Zayyad, kenapa kau membawa ku kemari?" Keluh Alina, kesadarannya yang masih separuh linglung itu pergi memukul-mukul kesal lengan Zayyad.Zayyad tidak menggubris perlakuan Alina, terus menyalakan air
"K-kau tidak ke perusahaan?" Kali ini Alina dengan cepat menarik jari telunjuknya dan Zayyad tidak menahannya lagi. Meremas selimut tebal yang menutupi separuh tubuhnya, Alina berusaha menetralisir rasa gugupnya."Sepertinya tidak.." Zayyad separuh bangun, pergi meletakkan bantal di kepala ranjang. Lalu Zayyad menyandarkan punggungnya.Alina tidak bertanya kenapa. Begitu banyak memar biru yang memenuhi leher Zayyad. Bibirnya pun terkoyak mengenaskan. Dengan penampilan yang menyedihkan seperti itu, bagaimana Zayyad bisa tampil percaya diri di hadapan para karyawan?"Semalam kau minum alkohol?"Zayyad teringat dengan nafas Alina yang bau alkohol dan sikapnya yang kegerahan tak wajar, pasti tidak hanya minuman biasa. Minuman itu pasti sudah dicampuri sesuatu."Tidak!" Alina mengambil guling, meletakkan di atas badannya, ia memeluknya senyaman mungkin."Tapi kenapa sikap mu..."Alina membelalakkan matanya, menyadari sesuatu. Seketika Alin