“Mau aku temani, mas?” tawar Syifa. Yusuf menggeleng cepat, “Tidak, tidak perlu. Kamu istirahat saja. Tidur terlalu malam tidak baik untuk kesehatanmu.”Syifa mengigit bibir bawahnya. Lagi dan lagi Yusuf menolaknya. Dengan air mata tergenang Syifa pergi meninggalkan Yusuf yang memaksakan makanan agar masuk kedalam rongga mulutnya.Syifa masuk kedalam kamarnya. Tubuhnya merosot lemas di balik pintu kamar yang sudah tertutup. Dia kembali terisak karena selalu mendapatkan penolakan dari Yusuf.“Kenapa, mas? Kamu terus saja menolakku. Bahkan saat ini aku sedang mengandung anakmu,tapi yang kamu ingat hanya mbak Zara saja!” batin Syifa memberontak merasa ketidakadilan semakin menjadi dalam hidupnya.Dia menyentuh perutnya yang masih rata. Lalu berbisik pelan, dengan air mata yang masih mengalir. “Nak, bantu mama! Kamu tahu mama sangat mencintai papamu. Mama juga ingin kamu mendapatkan kasih sayang yang utuh dari papamu!”“Aku harus melakukannya! Ya, melakukan seperti yang sudah di rencanakan
“Lepas, lepaskan aku! Atau aku akan berteriak!” Zara terus meronta berusaha melepaskan cekalan Syifa.Sayang, tetap saja dia kalah. “Dengar Syifa! Mas Yusuf masih ada di rumah ini! tidakkah kamu takut jika dia mengetahui perilaku laknatmu ini padaku?!” teriak Zara.Syifa tetap diam, berjalan menarik Zara hingga ke lantai atas. Dia menarik Zara kuat hingga Zara berdiiri tepat di lantai atas sebelum tangga. Sedang Syifa berdiri di bawahnya di tangga pertama.“Lepaskan tangganku, jalang?!” Pertama kalinya Zara melontarkan kata kasar itu pada seorang wanita. Yang dia rasa pantas mendapatkan gelar itu. “Apa yang kau rencanakan kali ini! jika mas Yusuf tahu, dia akan men_”“Tahu? Haahahaha... Kenapa jika mas Yusuf tahu?! Dia sedang keluar membeli bubur ayam untuk bayiku!" sinis Syifa tersenyum remeh. “Dari pada mengancamku dengan nama Mas Yusuf lebih baik kau pikirkan saja nasibmu selanjutnya...”“Ap-apa maskudmu?!” cecar Zara terbata oleh rasa takut. Syifa menatap pintu kamar kedua di belak
Bram berada tepat di depan Ayu. Wanita malang itu mendunduk dan tak bisa mengatakan apapun. “Apa kamu juga tahu kalau ibuku sedang sakit? Dia sangat ingin memiliki cucu dari kita. Tapi sampai sekarang kamu juga belum hamil. Lalu dimana salahku?! Aku juga lebih tertekan karena mulut ibumu yang brengsek itu!”sambung Bram menahan marah.Dia mengangkat kedua bahu Ayu. Lalu menguncang tubuhnya kuat, Ayu meringis merasakan sakit pada kedua bahunya akibat cengkraman Bram. Air matanya mengalir begitu deras, namun dia tidak bisa mengatakan apapun. Karena dia sadar, kesalahan mutlak berasal dari keluarganya.“Dengar aku Ayu! Apa aku salah jika aku menikah lagi?! Apa itu salahku karena aku sudah muak dengan permainan ibumu?! APA ITU SALAHKU, HUH?!”teriak Bram di hadapan Ayu.“CUKUP!”Ayu mendorng Bram keras hingga dia terjatuh lagi kelantai dan kali ini kepalanya terhantuk pinggiran sofa.Ayu sudah tak peduli... dengan air mata yang mengalir deras dia berlair menaiki tangga. Memasuki kamar, Ayu m
***“Dokter... Dok, to-tolong istri saya!” Dengan berat kalimat itu Yusuf lontarkan dalam keadaan panik. Melihat Syifa yang tak sadarkan diri. Langkahnya yang terburu-buru di susul oleh Erna yang berlari sambil mengandeng Alya yang menangis sesegukan.Perawat datang membawa brankar dan meminta Yusuf membaringkan Syifa di sana. Seorang dokter pria dengan jas putihnya itu sekilas melirik Erna. Kemudian dia membawa Syifa kedalam ruang pemeriksaan.“Anda tunggu sebentar...”“Lakukan apapun untuk menyelamatkan dia dan bayinya!” lirih Yusuf. Kali ini sedikit rasa sesal menyeruak ke dalam hatinya. Merasa sangat bersalah karena melupakan bahwa Syifa dan bayi di kandungannya adalah tanggung jawabnya.Dokter mengangguk dan berlalu masuk kedalam ruangan itu setelah beberapa suster terlebih dahulu. Setelahnya Yusuf merasa lemas, hingga dia harus bersandar di tembok. Hatinya jujur merasa sangat gelisah. Ntah karena Syifa ataupun hal lainnya. Yang jelas, dia merasa sangat sakit dan nyeri pada hatiny
Saat ini bukan hanya satu orang pria saja yang telah kehilangan milik mereka yang berharga. Bukan hanya satu pria yang meratapi nasib karena kehilangan wanita yang sangat istimewa. Bukan hanya Yusuf, tapi juga Bram telah melakukan kesalahan hingga membuat Ayu juga memilih pergi dari sisinya.Betapa kaget saat dia terbagun di lantai, dengan beberapa orang pelayan yang memang hanya bekerja di pagi hari. Mereka yang menemukan tuannya terrgeletak tentu langsung membangunkannya.Denyutan di kepala jelas dia rasa. Rasa nyeri itu menghantam kepalanya. “Kenapa aku di sini?” pikirnya bingung.“Tuan, apa Anda mabuk lagi?” tanya seorang bibi.Aku? Mabuk?Bram memegang kepalanya yang masih terasa pusing. “Dimana nyonya kalian?”Bram berusaha berdiri. Walau sedikit sempoyongan, dia berusaha berdiri sambil perpegangan pada pinggiran sofa.“Dimana Nyonya kalian?” tanya Bram sekali lagi karena tak kunjung mendapat jawaban. Beberapa pelayan hanya saling menatap dan menunduk takut. “Tidak tahu, Tuan. Se
Singgapura...Di sebuah ruangan dengan nuansa coklat, serta beberapa tumpukan berkas yang berserakan di meja. Seorang lelaki paruh baya dengan kacamata yang melekat di wajahnya. Lelaki itu duduk bersandar di kursi kerjanya. Memejamkan mata dan memikirkan segala hal yang saat ini menganggu hatinya.Suara ketukan pintu membuatnya bersuara."Masuk!" ucapnya dengan suara berat. Seseorang pria dengan jas hitam yang formal sebagai asistenya datang menghadapnya."Ada apa Jhon? Ada berita apa dari sana?"tanya lelaki tua itu."Ma-maaf tuan. Saya baru mendengar kabar kalau ada sebuah insiden kecil di rumah itu.""Insiden apa? Katakan saja dengan jelas!" lelaki tua itu menegakakan duduknya. Menatap dengan serius Jhon asistenya."Hmmm, kabarnya Nona Syifa saat ini sedang mengandung. Lalu, pagi ini juga terdengar kabar bahwa dia jatuh dari tangga. Dengan tuduhan bahwa Nyona muda Zara yang mendorongnya. Lalu..."Jhon mengantung ucapnya. Melihat reaksi tuannya yang sudah mengepalkan tangan."Lalu ap
Author PoVJakarta ***Pagi ini menjadi kedua kalinya Yusuf harus bekerja tanpa memakai dasi kantornya. Selain Zara, dia tak bisa membiarkan siapapun memakaikan dasi padanya.Yusuf berjalan dengan lesu sambil mengancing ujung lengan bajunya. Melihat pantulan diri di cermin. Jelas terasa bahwa saat ini dia tidak selengkap dulu.Hufftt...Lagi dan lagi pria itu menghembuskan nafas kasar melihat wajahnya sendiri kini terasa menjengkelkan. Pintu kamarnya di ketuk dari luar. Kemudian terdengar suara Syifa memanggilnya. "Mas, sarapannya sudah siap."Yusuf dia tak menjawab. Bibirnya ingin menjawab namun tertahan oleh rasa ragu dalam hatinya."Mass...! Baiklah, jika sudah selesai langsung turun kebawah, ya!"ujar Syifa setengah berteriak. Kemudian terdengar langkah kaki wanita itu yang kian menjauh.Dia sudah pergi...! Yusuf sungguh sangat enggan untuk pergi bekerja. Menghadapi persoalan rumah tangganya sudah sangat memusingkan kepala. Apalagi di tambah dengan pekerjaannya di kantor. Dia han
"Dari dulu kamu tahu kalau aku tidak bisa membenci siapapun. Aku bisa marah juga kesal. Tapi aku lebih memilih menjauh dari pada perlahan tumbuh rasa benci di hati. Sungguh penyakit hati seperti itu, aku tidak ingin memilikinya."Zara tersenyum masam. "Aku mengabarinya karena status kami masih terikat dengan suci. Pernikahan bukanlah sebuah permainan. Jika dia yang menghianati pernikahan ini. Itu bukan salahku, dan bukan hakku untuk membencinya.""Artinya kamu masih mencintainya?"desak Amar tak sabbar dengan jawaban dari Zara.Zara menatap Amar dengan pandangan yang sulit di tebak. Amar tergugu di pandang begitu oleh Zara."Aku rasa kamu masih mencitainya. Mungkin, ntahlah!" Amar menggaruk tengguknya. Merasa bingung sendiri."Aku rasa cintaku sudah hilang untuknya. Waktu itu masih tersisa sedikit saat dia menikahi Syifa. Tapi ketika dia membentaku pagi itu karena kesalahan yang tidak aku buat. Saat itu cintaku sudah hilang untuknya."Amar mengernyit merasa tak yakin dengan yang dia den