#Lima#
“Silakan, selamat menikmati,” ujar pelayan yang membawakan cheesecake berbentuk bundar berdiameter enam belas sentimeter. Terdapat dua lilin yang berbentuk angka satu dan tujuh di atasnya.
“Walau hanya seadanya, Ibu harap kamu suka.”
“Rey sangat suka. Suka sekali,” jawab Rey dengan mata berkaca-kaca. Ada haru dan luka yang menyeruak dalam dada sekaligus.
“Anak cantik jangan nangis, nanti cantiknya luntur,” Tiara menyapu lembut pipi Reyka yang basah. “Sekarang kita nyalakan lilinnya, jangan lupa make a wish!”
Reyka menutup mata. Berdoa dengan khusyu akan permintaannya. Dia hanya meminta semoga ibunya bisa selalu bahagia walau kini mereka tak lagi tinggal bersama.
“Sudah?” tanya Tiara saat melihat Reyka membuka mata. Reyka mengangguk lalu meniup lilin yang menyala.
Tiara memotong cheesecake menjadi empat bagian dan memindahkan salah satunya pada piring kecil yang sudah disediakan untuk Reyka. Dan satu bagian untuk dia nikmati.
“Apa yang kamu minta, Rey?”
“Rey minta pada Allah agar Ibu selalu diberikan kebahagiaan.” Tiara terenyuh. Reyka yang berulang tahun tapi dia membumbungkan doa untuknya.
“Apa ada yang mau kamu minta dari Ibu?”
“Pasti!”
“Apa?”
“Rey minta Ibu jujur dan menjawab semua pertanyaan yang akan Rey ajukan.”
“Wah, Ibu merasa sebagai tersangka yang akan diinterogasi polisi,” Tiara mencoba mencairkan suasana.
Reyka mulai menanyakan satu demi satu pertanyaan yang mengganjal dalam hatinya selama ini. Ke mana perginya ibu saat berhari-hari meninggalkan rumah? Apa yang ibunya lakukan selama itu, mengapa sulit sekali dihubungi dan pertanyaan lainnya.
Dengan sabar Tiara menjawab setiap pertanyaan dari putrinya itu. Otaknya yang cerdas membuat Tiara harus menjawab dengan penuh pertimbangan. Jangan sampai ada salah kata yang akan berakibat semakin panjangnya pertanyaan Reyka.
“Selama ini, Ibu tinggal di Puncak, Bogor. Ibu sudah membeli rumah sederhana disana. Ibu memilih tempat itu karena udaranya yang sejuk bisa memberikan ketenangan tersendiri bagi ibu.”
“Ibu tinggal dengan siapa di sana?” tanya Reyka khawatir karena ibunya hanya memiliki Om Rudi sebagai kerabat. Nenek dan kakek dari pihak ibunya sudah meninggal, jauh sebelum ibunya menikah dengan Irawan.
“Tetangga disana baik-baik orangnya, Rey. Jangan bayangkan rumah ayahmu, rumah itu terlalu megah hingga kita tak bisa saling bertegur sapa walau dengan tetangga yang rumahnya di samping kita. Rumah yang Ibu beli ini sangat sederhana. Yang saat kita membuka pintu, kita bisa saling bertegur sapa dengan yang lain. Saat ada yang memasak, aromanya bisa tercium ke beberapa rumah di sekitarnya. Ibu nyaman di sana.”
“Rencananya, Ibu akan menggunakan sebagian uang yang pernah diberikan oleh kakekmu untuk membuka usaha. Memberdayakan ibu-ibu untuk memiliki penghasilan tambahan demi mencukupi kebutuhan keluarga.”
“Kalau Rey kangen, bolehkan Rey datang berkunjung?”
“Tentu saja, Sayang. Tapi harus dengan izin ayahmu,” Tiara memberikan syarat.
“Bu, Ibu sangat tahu jika Ayah tidak pernah peduli padaku. Lalu mengapa Ibu meminta hak asuh dipegang oleh Ayah?”
“Karena dalam pandangan Ibu, ayahmu berkewajiban memberikanmu nafkah sampai kamu menikah nanti. Jika kamu ikut dengan Ibu, ayahmu akan lalai akan kewajibannya. Bukan Ibu materialistis, tapi Ibu berusaha untuk realistis. Dengan kecerdasanmu, kamu bisa meraih cita-cita setinggi mungkin. Terlebih jika ditopang oleh materi.”
“Jika kamu ikut dengan Ibu, Ibu khawatir tak bisa membuatmu maksimal dalam meraih cita-cita. Masa depanmu masih panjang, Nak.”
“Tapi aku tak bahagia tinggal bersama Ayah walau berlimpah materi,” protes Reyka.
“Kamu mengatakan demikian karena kamu belum pernah merasakan seperti apa rasanya menjadi orang yang serba kekurangan dalam hal materi. Seringkali orang yang kekurangan materi dipandang sebelah mata malah terkadang dianggap sebagai orang hina.”
Lalu mengalirlah cerita yang selama ini Tiara simpan. Tiara belum pernah menceritakan hal ini sebelumnya kepada Reyka. Mungkin ini adalah saat yang tepat bagi Tiara untuk menceritakan semua.
Tiara adalah seorang anak yatim piatu. Dia bersama Rudi, adik laki-laki yang terpaut usia dua tahun lebih muda darinya tinggal di sebuah yayasan yatim dan duafa. Setiap bulan sebuah perusahaan rutin mendonasikan dana untuk keberlangsungan hidup penghuni yayasan. Hingga suatu hari donatur tersebut datang ke yayasan dan mereka bertemu.
Ibu Adelia dan Pak Triyoto Sasmita terpesona pada sosok Tiara yang cantik, baik, sopan dan juga pintar. Sepasang suami istri yang merupakan orang tua dari Irawan itu mengajukan diri untuk menjadi orang tua asuh yang akan membiayai pendidikan Tiara dan Rudi. Sebuah kesempatan emas yang tidak akan dilepaskan begitu saja oleh siapa pun. Baik Tiara maupun Rudi menyambut hal ini dengan bahagia.
Saat Tiara hampir menyelesaikan skripsi, terdengar kabar kurang baik yang datang dari orang tua asuhnya. Pak Triyoto dinyatakan gagal ginjal dan harus mencari pendonor yang bersedia mentransplantasikan ginjalnya. Dalam daftar antrian yang membutuhkan donor ginjal, menempatkan Pak Triyoto di urutan kelima. Sedangkan keadaannya semakin hari semakin memburuk.
Tiara yang entah memiliki keberanian dari mana mengajukan diri untuk mendonorkan ginjal. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, ginjal Tiara ternyata memang cocok untuk Pak Triyoto. Tak lama berselang, operasi transplantasi dilakukan dan berjalan lancar.
Bu Adelia dan Pak Triyoto tak henti-hentinya berterima kasih karena berkat Tiara, Pak Triyoto masih memiliki kesempatan untuk melanjutkan hidup. Tak cukup dengan berterima kasih, Pak Triyoto pun menjodohkan Tiara dengan anak semata wayangnya, Irawan Sasmita.
Irawan dengan tegas menolak perjodohan karena telah memiliki kekasih yang bernama Dinda. Namun hubungan mereka tak mendapat restu. Selain karena ingin membalas budi pada Tiara, Pak Triyoto mengetahui jika Dinda bukanlah gadis baik-baik. Merokok dan mabuk adalah hal yang biasa bagi Dinda. Jauh berbeda dengan Tiara.
Dengan terpaksa Irawan menerima pernikahan karena diancam akan dicoret sebagai ahli waris. Semua kekayaan milik Pak Triyoto akan jatuh ke tangan Tiara dan Rudi jika Irawan menolak perjodohan. Maka pernikahan tanpa cinta pun dijalani Tiara dan Irawan.
Irawan tak pernah memberikan nafkah batin pada Tiara. Hanya saja pada suatu malam Irawan yang pulang dalam keadaan mabuk memaksa Tiara melayani nafsunya yang bergejolak. Hingga lahirlah Reyka ke dunia setelah tiga tahun pernikahan kedua orang tuanya.
Irawan sangat marah mengetahui kehamilan Tiara. Seakan-akan anak yang dikandung Tiara adalah hasil hubungan gelap padahal nyata-nyata mereka adalah sepasang suami istri yang sah di mata negara juga agama.
Kelahiran Reyka tak juga menggoyahkan hati Irawan untuk sedikit saja menatap keberadaan Tiara. Hingga Reyka dewasa, rumah tangga yang mereka jalani tetaplah hampa. Hanya berupa cangkang pencitraan di depan Bu Adelia dan Pak Triyoto.
Kecelakaan yang menyebabkan kematian Bu Adelia dan Pak Triyoto menjadi titik dimana Irawan kembali mendekati Dinda dan bersambut. Tidak ada lagi yang mempertahankan keberadaan Tiara. Lelah menjalani semua, Tiara pun memilih mundur. Bercerai adalah jalan yang terbaik.
“Ibu tak pernah ada niat sedikit pun untuk menjadi menantu keluarga Sasmita. Ibu melakukan semua sebagai bakti selayaknya anak pada orang tua. Karena tanpa kakek dan nenekmu, Ibu dan Om Rudi tak akan pernah merasakan bangku kuliah. Sebuah cita-cita yang saat itu begitu jauh untuk digapai,” terang Tiara.
Reyka begitu sedih mendengar cerita masa lalu ibunya. Dia tak pernah mengira jika ibunya sanggup bertahan sekian lama dalam sebuah derita. Reyka paham, jika demikian keadaannya, maka dia sepenuh hati mendukung perceraian keduanya karena semakin lama hanya membuat ibunya menderita.
“Bu, aku ingin dipeluk!” pinta Reyka.
Sang ibu berpindah tempat duduk. Kini keduanya duduk bersisian. Tak lama mereka berpelukan. Reyka kembali menangis.
“Ssst, jangan keras-keras nangisnya. Malu, ini tempat umum,” canda Tiara berniat menghentikan tangis Reyka. “Ingat perkataan Ibu, anak cantik jangan menangis, nanti cantiknya luntur!”
Terdengar sesaat tawa Reyka. Paling tidak tangis Reyka terhenti. Sebetulnya Tiara pun sudah tak kuat menahan tangis tetapi dihadapan Reyka dia harus memiliki hati yang kuat setegar karang.
#Enam#Pak Rahmat sudah bersiap diri untuk mengantar Reyka sekolah seperti biasa. Sesampainya Reyka di depan mobil yang terparkir, Reyka tersenyum lebar yang membuat Pak Rahmat tak enak hati. Pasti Reyka akan mengeluarkan sesuatu yang di luar kebiasaan.“Kenapa ekspresi muka Pak Rahmat begitu?” tanya Reyka bingung melihat Pak Rahmat yang terlihat cemas.“Pasti, Non mau minta yang aneh-aneh kalau udah kayak gini,” cetus Pak Rahmat dengan jujurnya.“Tau aja nih, Pak Rahmat. Iya, Rey mau minta tolong. Hari ini Rey yang coba bawa mobil, ya. Bapak duduk di sebelahnya mengawasi,” pinta Reyka.“Duh, Non, jalanan ke sekolah itu ramai. Padat kendaraan. Kalau mau latihan di sekitaran kompleks aja, ya,” tawar Pak Rahmat.“Kan udah seminggu lebih latihan di sekitaran kompleks. Ibarat main game, ya harus naik level Pak, biar tambah lancar,” Reyka mengajukan protes.“Ja
#Tujuh# Reyka memeriksa buku catatan yang selalu dibawanya ke mana-mana. Buku catatan itu berisi targetan yang harus dikerjakan setelah disusun berdasaran minggu, bulan, tri wulan hingga satu semester ke depan. Reyka merasa harus mulai melakukannya. Karena dengan memetakan target, tujuan hidupnya akan lebih terarah. Reyka membolak balik kalender duduk di meja belajarnya. Ujian semester akan diadakan pekan depan sedangkan ujian nasional akan dilaksanakan bulan April, yang berarti akan dilaksanakan empat bulan lagi. “Lumayan nih, libur sekolah dua minggu,” gumam Reyka. Pikirannya kembali menyusun rencana untuk mengisi waktu liburan. Seminggu akan dia jadwalkan untuk mengunjungi ibunya. Dan seminggu lainnya, akan dia manfaatkan untuk belajar bisnis. Mungkin ini saatnya untuk mulai peduli terhadap urusan bisnis. “Non,” panggil Bi Siti sambil mengetuk pelan pintu kamar Reyka. “Ya, Bi?” Reyka menyimpan buku catatannya dan memb
#Delapan# Pagi hari, Reyka sudah berpakaian rapi. Dia mengenakan setelan blazer berwarna pastel serta kerudung pashmina warna senada. Sepatu tanpa hak turut melengkapi penampilannya. Orang asing akan mengira jika Reyka adalah seorang sosialita walau wajahnya hanya ditaburi bedak tipis serta sentuhan lip balm agar bibirnya tak kering. “Wah, Non, cantik,” puji Bi Siti saat melihat Reyka menghampiri meja makan untuk sarapan. “Emh, jadi hari-hari sebelumnya Rey gak cantik nih, Bi?” tanya Reyka. “Eh, Bi Siti salah ngomong, ya?! Maksud Bibi, Non selalu cantik. Tapi hari ini, bikin Bi Siti pangling.” “Mau ke kantor harus pakaian formal kan, Bi?” “Non, mau ke kantor Tuan Irawan?” tanya Bi Siti memastikan. Reyka mengangguk sambil mengunyah nasi goreng yang sudah disiapkan di atas meja. “Rey mau belajar bisnis, Bi. Mumpung lagi liburan sekolah. Dari pada liburan ga jelas, menghambur-hamburkan uang. Lebih
#Sembilan# Chika, salah satu pegawai yang bekerja di bagian keuangan dengan hati gelisah dan takut kini berjalan menuju ruangan atasannya. Sangat jarang Pak Irawan memanggilnya, kecuali jika ada kesalahan. Biasanya Bayu, rekan satu profesinya yang merupakan manajer keuangan yang akan berhadapan dengan bosnya jika ada yang harus dibicarakan. Chika mengetuk pintu. Pintu yang terbuka dari dalam membuat Chika kaget, karena mendapati seorang gadis cantik berkerudung berada dibalik pintu. “Bu Chika, ya?” tanya Reyka dengan senyum ramah membuat Chika terpesona dengan kecantikannya. “Mari, masuk!” Reyka mempersilakan. Chika melangkahkan kaki dengan ragu. Reyka kembali menutup pintu dan meminta Chika untuk duduk di sofa yang terletak di tengah ruang kerja ayahnya. Chika mengamati sekitar mencari keberadaan Irawan. “Bu Chika bingung, ya, bisa dipanggil ke sini?” tanya Reyka saat mendapati sikap canggung Chika. “Sejujurnya, iya. Sa
#Sepuluh#Reyka sedang bermalas-malasan di atas kasur sambil mendengarkan musik menggunakan earphone yang tersambung pada ponsel. Matanya dipejamkan demi menikmati musik dan menghayati lirik yang mengalun.Semalam, Reyka mendapat pesan dari Tante Dinda untuk datang ke sebuah butik untuk mencoba baju yang akan digunakan saat resepsi pernikahan ayahnya dan Tante Dinda. Entah tulus atau tidak ajakan tante Dinda tersebut, tetapi hal itu tak ditanggapi dengan serius oleh Reyka.Sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya. Reyka membuka mata dengan malas karena mengira panggilan yang masuk berasal dari Tante Dinda atau ayahnya, mengingat waktu untuk fitting telah tiba. Tetapi, saat Reyka melihat nama ibunya tertera pada layar, Reyka langsung mengangkat panggilan.“Assalamu alaikum, Bu,” sapa Reyka membuka percakapan yang langsung dibalas oleh ibunya.“Wa alaikum salam. Anak Ibu sedang sibuk?”&
#Sebelas#Reyka memfokuskan pandangan pada jalanan yang dilalui. Ingin sekali menikmati pemandangan, tetapi ini adalah salah satu kesempatan baginya untuk menyetir mobil ke luar kota. Pak Rahmat masih setia mengawasi dan memberikan arahan jika diperlukan.“Kalau capek, biar Bapak yang gantikan,” ujar Pak Rahmat menawarkan diri.“Ga usah, Pak. Sebentar lagi juga sampai,” jawab Reyka sambil melirik sebentar jalur peta yang terpampang pada layar ponsel.“Non, berapa lama nanti di sana?” tanya Pak Rahmat.“Mungkin tiga hari, Pak. Nanti Rey kabari kalau minta dijemput,” jawab Reyka.Mobil mulai memasuki jalanan kecil yang di sisi kanan kirinya berderet rumah penduduk. Dari petunjuk yang ada di layar ponsel, jarak rumah Tiara hanya berkisar 500 meter. Reyka benar-benar tak sabar untuk segera bertemu dengan ibunya.Reyka menghentikan kendaraan di depan rumah bercat hijau dan berpagar rendah, seperti ciri-ciri yang disebutkan Tiara. Rumah itu seperti kedatangan banyak tamu, terlihat dari bany
#Dua Belas#Kening Reyka berkerut melihat angka-angka yang dia tulis. Mengamati kembali kertas soal dan menemukan letak kesalahan pada catatannya. Reyka melanjutkan menghitung soal ujian matematika yang berisi 40 soal pilihan ganda.Hari ini merupakan hari terakhir ujian nasional setelah serangkaian ujian sekolah dengan berbagai mata pelajaran dilalui. Tinggal dua langkah menuju Korea yakni menunggu hasil ujian dan mendaftar di kampus yang sudah dipilihnya.Wajah Bianca dan teman-teman yang lain tak kalah kusut. Materi integral yang belum terlalu dipahami, keluar pada ujian kali ini.‘Kalau mentok, paling asal-asalan buletin huruf biar pola di kertas jawabannya bagus’ batin Reyka. Karena dalam kondisi seperti ini, sikap setia kawan tidak berlaku.Dua bulan sejak ujian nasional berakhir, teman-teman Reyka bergembira karena pengumuman masuk ke perguruan tinggi negeri sudah diumumkan. Keempat teman Reyka diterima di kampus yang menjadi dambaan mereka. Sedangkan Silmi, dia tidak lolos di
#Tiga Belas#Pandangan Reyka terfokus pada laptop di hadapannya. Jantungnya berdebar menanti pengumuman diterima atau tidaknya dia di universitas. Berbagai persyaratan seperti mengisi formulir, membayar biaya pendaftaran, melengkapi berbagai dokumen yang diperlukan dan wawancara secara online telah Reyka lakukan.Dalam hati, Reyka meyakini jika dia bisa lolos. Namun, kekhawatiran akan kegagalan masih membayanginya. Reyka berharap, apa yang diperjuangkannya membuahkan hasil yang manis.Jemari Reyka dengan lincah bergerak di atas papan tombol laptop, memasukkan nama dan sandi pada kolom yang terlihat di layar. Pengumuman itu akan dikirimkan melalui surat elektronik hari ini. Tidak ada pemberitahuan pukul berapa hasilnya keluar, tetapi Reyka yang penasaran mencoba mengeceknya terlebih dulu.Di antara beberapa pesan yang masuk, Reyka menelitinya satu per satu. Satu nama yang dia tunggu, terpampang di layar. Reyka tanpa ragu mengeklik pesan terse