Pagi masih terlalu gelap. Namun, suara isak tangis itu sudah mendayu di kesunyian pemakaman. Ia tergugu di atas gundukan tanah merah yang masih basah.
Neira, meraung seperti orang gila pada pusara. Ia mendekap erat nisan putih itu dengan perasaan hancur.
"Maaf ...,"
"Maaf ...,"
"Maaf ...."
Hanya kata itu yang terus berulang dari bibirnya.
"Sudah, Nei. Sabar, ikhlas ..." Bude Sulastri mencoba menenangkan, mengelus punggung gadis itu dengan lembut.
Sulastri mencoba merengkuh Neira dalam pelukannya. Membelai lembut rambut lurus gadis yang tengah dirundung duka itu.
"Sudah, Nduk ... Sudah. Kasian bapak nanti malah engga tenang."
Neira, masih tergugu dalam pelukan bude Sulastri.
Nasib macam apa ini yang menimpanya? Disaat ia kehilangan keperawanan dan butuh topangan untuk menyemangati hidup. Justru, satu-satunya orang yang ia butuhkan pun meninggalkan dirinya sendiri di dunia ini.
"Neira mau ikut bapak, Bude."
"Husss ... Engga boleh begitu, Nduk. Bude tahu kamu sedih, tapi kasian bapakmu kalau kamu kayak gini," bude Sulastri mendekap erat tubuh mungil itu.
"Yang sabar ... Yang ikhlas. Ini cobaan, Nduk. Tuhan engga akan kasih cobaan kalau hambanya tidak mampu."
Ia tidak pernah menyangka semua akan berakhir seperti ini, akan kehilangan satu-satunya keluarga yang ia punya secepat ini. Setelah ini, ke mana ia harus pergi? Bagaimana ia harus menjalani hidup seorang diri?
Ia hanyalah anak panti asuhan, tidak jelas asal-usul orang tuanya. Ayahnya, mengadopsi Neira saat gadis itu masih berusia lima tahun. Pernikahan yang tidak direstui oleh keluarga besar di tanah Sumatra, membuat ayah Neira mengasingkan diri ke Jakarta. Kala itu semua baik-baik saja, Neira dikasihi ayah dan ibu dengan ekonomi yang berkecukupan. Sampai satu tahun setelahnya, ibunya sakit lalu meninggal. Ayah Neira depresi dan usaha mereka bangkrut. Yang tersisa hanyalah Neira dan ayahnya, dalam keterpurukan.
Kini, saat ayahnya telah menyusul ibunya. Gadis itu tinggallah seorang diri, tanpa kerabat dan sanak saudara.
***
Semalam."Bude, tahu bapak sekarang ada di mana?"
Sulastri meremas ujung bajunya gelisah. Menatap mata polos di hadapannya ini dengan gusar. Ia, tidak tega menyampaikan berita duka pada gadis muda di hadapannya.
"Nei ... " Sulastri menggenggam tangan kanan gadis itu.
"Iya, Bude?"
"Bapakmu semalaman nyariin kamu, katanya sampai ke rumah pacar kamu itu, tapi kamu engga ada." Sulastri membelai rambut setengah basah Neira. Gadis itu hanya tersenyum tipis.
"Terus .... " Kalimat Sulastri menggantung, ia menggigit bibir bawahnya, ragu untuk memberitahu.
"Terus? Apa, Bude?" Neira memiringkan kepala, menunggu jawaban Sulastri dengan cemas.
"Mmm ... Bapak kamu ...."
"Bapak kenapa?" tanya Neira mulai panik dan tidak sabar. "Bude! Bapak kenapa?"
"Mmm ...." Sulastri bergerak-gerak, duduk dengan gelisah. "Bapak pingsan di depan toko Ayu, Nei."
"Astagfirullah!" gadis itu membekap mulutnya. Bahunya merosot seketika.
"Sama bapak-bapak lain langsung dibawa ke klinik depan."
Neira langsung meraih jaketnya, gadis itu bergegas untuk keluar. Namun, dicegah oleh Sulastri. Wanita paruh baya itu memegang kedua bahu Neira.
"Kamu mau ke mana?"
"Ya ke klinik, Bude. Lihat bapak."
Sulastri menggeleng, dan langsung memeluk erat gadis itu. Sulastri, tidak mampu menahan air matanya.
"Bapakmu udah enggak di sana. Bapakmu udah engga ada, Nduk, waktu dibawa ke sana."
Gadis itu melepas pelukan Sulastri. Wajahnya pasi memandang Sulastri dengan tatapan berkaca-kaca. Jantungnya berdebar berkali-kali lipat lebih cepat. Semoga, tidak ada hal yang tidak ingin dia dengar terucap dari bibir tetangganya itu.
"Ma ... Mak ... Maksudnya?"
Sulastri menangkup lembut pipi Neira.
"Bapak sudah engga ada, Nduk. Tadi pagi terpaksa dimakamkan tanpa menunggu kamu, soalnya kami ndak tahu kapan kamu bakal pulang."
Tubuh Neira membeku. Apa dia tidak salah dengar? Pasti dia hanya salah dengar. Mata cantik itu nanar memandang bude Sulastri yang tersedu di hadapannya.
Gadis itu menggeleng perlahan, sebelum akhirnya tumbang dalam pingsan.
***
Dua hari berlalu sejak Neira kehilangan ayahnya. Gadis itu hanya mengurung diri di kamar. Ia tidak mandi, tidak berdandan, bahkan makanan yang dikirim sehari tiga kali oleh Sulastri pun tidak disentuhnya sama sekali. Ia tidak punya semangat hidup.Beberapa jam sekali Sulastri menjenguknya, takut jika gadis itu tiba-tiba nekat mengakhiri hidup. Seperti tadi pagi, tanpa sengaja Sulastri melihat ada bekas sayatan di pergelangan tangan gadis itu walau tidak dalam.
Seperti saat ini, Neira hanya terbaring lemas di atas kasurnya. Menatap kosong langit-langit kamarnya yang telah kusam.
Menit berlalu, berganti dengan jam. Ia tetap pada posisinya. Gadis itu seperti kehilangan jiwa. Baginya, hidup telah usai. Selama ini, apapun yang ia lakukan hanya demi ayahnya, tapi kini?
Bulir itu mengalir kembali di sela-sela mata cantiknya. Hingga satu ketukan pintu memaksanya untuk bangun dan mengusap air mata.
"Assalamualaikum."
_________________________________________
FUNFACT : Aku suka Gajah. Tapi aku punya banyak kucing dan anjing di rumah :)
Satu suara salam memaksa tubuh lemahnya untuk bangkit dan menggapai pintu. Suara itu, milik seseorang yang dijadikan Neira sebagai alasan membatalkan aksi bunuh dirinya.Tergesa, gadis itu membuka pintu dan langsung menghambur dalam pelukan."Hai ... Kamu kenapa?"Gadis itu tidak menjawab, justru mempererat pelukannya pada pemuda yang berdiri kaku di depan pintu. Suara tangisnya teredam di dada itu.Agak ragu, pemuda itu melihat ke sekitar. Setelah memastikan tidak ada yang melihat mereka berdua, pemuda itu membalas pelukan Neira dan membelai kepala gadis itu agar tenang."Aku engga bisa hubungi kamu beberapa hari ini, jadi aku hubungi Dera._____teman sebangku Neira_____ Kata Dera, kamu udah engga sekolah empat hari. Makanya aku datang ke sini." Kata pemuda itu dengan lembut. Gadis
Hujan deras mengguyur Jakarta sejak subuh tadi. Hingga saat sore menjelang, hujan itu tak kunjung reda.Prayoga duduk gelisah di ruang keluarga, ada rasa tidak nyaman di hatinya. Pikirannya tertuju pada Neira, entah firasat buruk atau hanya khawatir karena pertengkaran mereka kemarin malam."Kamu kenapa?" tanya Amanda, ibunya. Wanita itu sedang menonton televisi di sebelah Yoga."Kenapa memangnya, Mah?""Gelisah begitu." Ucap Amanda cuek, sembari memasukkan keripik kentang ke mulutnya."Enggak, Yoga biasa aja." Elaknya, tapi yang terlihat justru sebaliknya. Jari tangan kirinya sedari tadi mengetuk acak gagang sofa, sedangkan tangan kanannya sibuk memutar-mutar handphone. Matanya memang mengarah ke televisi, tapi Amanda tahu persis bahwa pikiran anaknya sedang tidak di sini.
Tangan Yoga bergetar hebat saat mengangkat tubuh kekasihnya. Dia linglung,melihat wajah Neira yang sudah memucat seperti mayat, bibir gadis itu sudah membiru.Terseok Prayoga membopong Neira ke mobil, meletakkan gadis itu di kursi belakang bersama Sulastri."Saya ... Saya, tidak sanggup menyetir." Ucapnya terbata, matanya nanar melihat tangannya yang bergetar hebat. Berkali-kali ia mengusap air mata. Ini pertama kali dalam hidupnya melihat langsung korban bunuh diri, apalagi orang tersebut adalah orang yang ia cintai."Biar saya aja yang menyetir, Mas. Saya supir taksi kok." Ucap salah seorang lelaki yang merupakan tetangga Neira. Prayoga hanya mengangguk pasrah, bergegas duduk di kursi depan.Awalnya, mereka membawa Neira ke klinik terdekat, tapi karena kondisi Neira yang kritis membuat Prayoga harus membawanya ke rumah
Tidak semua orang bersenang hati menerima kebaikan orang lain. Entah karena ego, malu, tersinggung, gengsi dan berbagai macam alasan lain. Termasuk Neira yang enggan menerima bantuan Prayoga.Butuh tenaga ekstra bagi Amanda meyakinkan Neira untuk bersedia tinggal bersamanya. Ini salah satu bentuk tukar guling dirinya dan Prayoga. Dan untungnya, setelah diskusi yang alot, gadis itu menyetujuinya. Dan Amanda sangat bersyukur akan hal itu.Tak dapat dipungkiri. Amanda, selalu gagal membujuk Prayoga untuk melanjutkan kuliahnya di Inggris, kelak saat ia lulus. Yoga selalu beralasan tidak ingin meninggalkan ibunya sendirian, tapi Amanda yakin bukan itu alasan sesungguhnya. Dan semua tebakan Amanda itu terjawab, saat malam tragedi bunuh diri Neira.Amanda masih sangat jelas mengingat peristiwa malam itu, saat Prayoga sendiri yang menawarkan diri untuk berangkat ke Inggri
Perlahan mata cantik itu mengerjap-ngerjap,menyesuaikan dengan cahaya yang masuk ke retina. Meski masih sedikit buram dan berbayang, tapi Neira mampu melihat ke sekitarnya. Hanya ada tirai-tirai putih yang mengelilingi tempat tidurnya, serta bau obat yang menyeruak masuk ke penciuman gadis itu.Kepalanya masih terasa sangat berat, tapi ia mencoba untuk bangun. Ranjang itu berderit karena tubuh Neira bergerak. Tak lama berselang, seorang perempuan berjas putih datang menyibak tirai di hadapannya."Sudah sadar?" tanya wanita itu lembut. Lalu mendekat ke arah Neira. "Masih pusing? Rebahan dulu ya, biar saya periksa lagi."Neira hanya menuruti apa yang dikatakan dokter perempuan itu."Saya di mana ya, Dok?""Di unit kesehatan kampus. Tadi kamu pingsan, jadi mahasiswa bawa kamu ke sini," ja
[Flashback sudah selesai. Part ini kembali di masa Neira sekarang *lihat kembali part 03*]Panas terik menyinari Jakarta siang ini, berkombinasi dengan macet dan polusi, membuat orang-orang menjadi cepat emosi dan tidak sabaran.Neira mengusap dahinya yang berkeringat dingin. Sebenarnya, tubuhnya sudah agak limbung, tapi wanita itu masih berusaha untuk bisa mengerjakan tugasnya."Lagi ramai, Nei. Tolong kerjanya lebih cepat ya!" seru salah satu rekan kerjanya yang lebih senior."Iya, Mbak." Hanya dua patah kata itu yang sanggup terlontar dari bibir tipisnya.Warung padang ini adalah tempat kerjanya yang ke sepuluh. Mulai dari menjadi jaga toko sepatu, penjaga warteg, dan bermacam-macam jenis pekerjaan yang lain, tak ada yang bertahan lebih dari satu hari. Kondisinya yang morning
Seseorang yang hidup sebatang kara seperti Neira, tidak punya tempat untuk tinggal, tidak punya keluarga untuk berbagi beban, bukanlah suatu yang mudah dijalani oleh semua orang. Jadi, jika saat ini ada satu keluarga yang bersedia menampung dirinya dengan penuh kehangatan, bolehkah Neira sebut mereka sebagai 'Rumah'?Dua bulan berada di rumah ini, membuat Neira merasa menemukan kembali hidupnya. Dia seolah bisa melihat harapan di depan sana, bahwa dia masih pantas untuk menikmati bahagia.Di saung belakang rumah inilah biasanya Neira menghabiskan waktunya bercengkrama dengan mak Oni. Wanita berusia lebih dari setengah abad, yang sudah mengabdi selama dua puluh tahun kepada keluarga Bagaskara. Dari mak Oni juga lah Neira tahu, bahwa Ratih adalah istri kedua Bagaskara, setelah istri pertamanya____Paramita____meninggal dunia."Siang-siang lagi ng
Malam telah larut, tapi Neira masih asik menikmati setumpuk buku tentang teori kesehatan. Duduk berdiam, fokus membaca lembar demi lembar buku-buku itu di meja makan keluarga.Mungkin cita-citanya untuk menjadi Dokter tidak bisa ia wujudkan saat ini, tapi bukan berarti dia menyerah menggali ilmu kesehatan. Bagi dirinya bertemu dengan Ratih adalah anugerah terbesar dalam kondisinya saat ini. Mendapat keluarga, tempat tinggal, dan segudang buku kesehatan milik Ratih yang notabene adalah seorang perawat."Sudah pukul sebelas, kamu enggak istirahat aja?" Ratih datang tiba-tiba dari ruang tamu, menepuk pundak Neira agar wanita hamil itu sadar akan kehadirannya."Dikit lagi selesai babnya, tanggung."Ratih menarik kursi di samping Neira. Duduk dan meraih buku di hadapannya. Melakukan hal yang sama seperti yang Neira l