Laras pun terkejut dengan kedatangan kakak ipar yang juga teramat dikasihinya."Sejak kapan , kau berdiri di situ, Ardi?" tanya Kartika merasa akan terjadi sesuatu setelah ini."Sejak tadi, dan siapa Ridho?" Sebuah pertanyaan ditujukan pada Laras, yang membuat Laras jadi tak bisa menjelaskan."Di-a ....""Siapa? Lelaki yang akan dijodohkan denganmu? Seperti apa orangnya? Sudah mapan kah? Apa pekerjaannya? Apa kau suka?" Berbagai pertanyaan dari Ardi, membuat Kartika mati kutu."Aku juga kakak iparnya Laras, bukan. Dan berhak mengetahui hal tersebut, Mah.""Iya, Ardi. Maafkan, Mama. Tak menceritakan pada kamu ataupun Puspa.""Puspa tak tahu hal ini?"Kartika dan Laras saling berpandangan, Laras langsung menundukkan kepalanya. Tak tahu harus bagaimana. Tak lama, datang Puspa setengah berlari."Mas Ardi, kau ternyata di sini, aku mencarimu ke mana-mana. Mama? Mengapa ada di sini?" tanya Puspa heran, lalu pandangannya beralih ke Laras."Dan, kau! Mengapa masih ada di sini!" bentakan Puspa
Mobil itu, berputar 360 derajat, entah bagaimana para penumpang dalam mobil tersebut, keadaan jalan tol yang sepi itu tak memancing banyak warga yang datang. Salah satu sniper mendekati mobil tersebut. Memeriksa dan mulai menarik tangan seseorang, yaitu Baskoro.Pintu tengah mobil itu di bukanya dengan paksa dan menarik tubuh besar bos tersebut.Bos besar itu masih tersadar, tapi sengaja tak melawannya, dengan tubuh lemas, dan tak berdaya, dirinya menurut saja tangannya di tarik sedemikian rupa.Heri dan pengawal yang lain, mulai tersadar pada keadaan. Melihat tuannya, dalam bahaya. Heri langsung bergerak, melawan orang tersebut. Ke empat pengawal itu sudah siap siaga atas segala sesuatu yang akan terjadi.Baskoro sudah keluar dari mobil tersebut, Heri mengetahui situasi terjadi. Tas ransel warna hitam tak lepas dari gendongannya.Kini semua penumpang sudah keluar dari mobil tersebut.Saat sang sniper tersebut lengah karena tampak kelelahan, saat menarik tubuh Baskoro yang besar. Deng
Tommy masih mengawasi dari jauh, sepak terjang Baskoro dan pengawalnya betul-betul tak luput dari pengawasannya. Baskoro tak tahu backing dibalik duo devil ini, dan Baskoro pun tak tahu siapa sebenarnya Tommy ini.Tommy membiarkan mereka beraksi, memang itu yang harus dilakukan, bila Baskoro tak melakukan hal tersebut, malah nanti duo devil yang menjadi sasaran mereka.Sejak diketahui asal pelacak pada tas berisi uang tersebut, Tommy tahu siapa pemesan paket terlarang itu. Dirinya sampai terhenyak, ternyata hal ini melibatkan orang pejabat dalam negerinya sendiri.Pemasok terbesar, sudah ada ditangannya, bukti-bukti pun sudah ada dan nampak jelas.Tommy bukanlah orang bodoh, ilmu yang di dapatnya pun bukan hanya ilmu otodidak, berselancar dalam dunia hackers sudah dijalaninya sejak sekolah menengah pertama. Ayahnya sang pemilik perusahan otomotif terbesar, memberikan properti cukup memadai. Keluarga Tommy ada di luar negeri.Satu-satu etape mereka lalui sukses tanpa di kejar petugas,
Laras terus saja melangkah menyusuri koridor rumah sakit, tadi arah kemana mereka membawa Om Baskoro ya? Laras sempat tertinggal jauh."Cari siapa dek?" Seorang petugas rumah sakit bertanya pada Laras yang memang sedang kebingungan."Anu, e .... tadi aku seperti lihat orang yang aku kenal, terbaring sakit dan di bawa sama petugas, apa korban kecelakaan ya?""Oh, coba ke UGD, mungkin berada di sana? lewat sini, lurus saja, terus belok kiri.""Wah, terima kasih, Pak.""Iya, sama-sama."Laras segera menuju ke arah yang tadi di sebutan. Benar saja, unit gawat darurat ini, terlihat sepi, Laras melangkah ke bagian resepsionis"Selamat siang, boleh tanya, Mbak? apa.ada korban kecelakaan hari ini?""Nama pasien?""Maaf belum pasti sih, Mba. Tadi saya cuma lihat sekilas saja.""Wah, Mbaknya gimana? memang tadi ada pasien baru, tapi belum memberikan keterangan.""Oh ya, sudah maaf ya , Mbak."Laras langsung pergi dari tempat tersebut karena, merasa pasti bukan Om Baskoro yang baru saja dikenaln
Ardi menatap senjata di depannya, lewat matanya, pistol itu tak berisi penuh, baru saja peluru itu di keluarkan dengan cepat, terlihat penutup peluru itu tak begitu rapat.Tapi Ardi curiga, justru ada sebuah senjata lagi di balik tubuh komandan Intel ini."Apa yang harus aku jawab." Akhirnya Ardi membuka suara."Aku suka dengan caramu? pertama yang aku tanyakan, apa tujuan kalian melakukan hal ini?""Uang." Ardi langsung menjawabnya, "kami bukan pecandu, aku masih punya otak, dunia ini gersang bukan? tak mudah orang sepertiku, mendapatkan uang banyak sekali gayung."Tito tersenyum. Dirinya paham siapa Ardi, jagoan dalam trek, dan menjadi DPO karena trek liar ini, tapi itu sudah berlalu cukup lama."Kau tahu bukan? siapa yang sedang aku incar? Baskoro. dan kalian terus melindunginya."Tommy terdiam, kejadian semalam sebelum Baskoro tertembak memang dirinya malah melindungi Baskoro dari para sniper.Tito melirik pada Tommy."Kali ini, kau tak bisa bohong lagi padaku , Tommy."Perbincang
Laras terus sibuk dengan dirinya sendiri, mencari info pada lobbi depan, dan tiga hari lagi sudah di minta untuk hadir bekerja. Laras pun pergi meninggalkan Rumah sakit, dia menuju taman kota, sambil membawa sebungkus es kirim, Laras ingin menikmati es krim sambil duduk di taman.Teringat dirinya dengan masa lalunya, masa kecil yang sama sekali tak mengenal sosok seorang Ayah, bila dirinya bertanya pada mamanya, selalu menjawab, ayah Laras sudah meninggal, bahkan Laras tak tahu nama ayahnya sendiri. Laras kecil, selalu mengikuti kemanapun mamanya pergi, bekerja ataupun ke rumah teman-teman mamanya, dirinya tak akrab dengan Puspa, karena kakaknya sama sekali tak mau bermain dengan Laras."Mah, Laras kangen, telepon ah," gumam Laras dan segera menghubungi mamanya. Tapi suara dering ponsel mamanya terdengar sangat dekat."Kau ini! Mama cari-cari, aku pikir kau ke cafe." celutuk Kartika dari belakang Laras "Mama!"Kartika segera duduk dekat anaknya. Laras langsung memeluk Kartika."Ngga
"Sialan!!"Lelaki yang kena tendang Laras, masih meringkuk di jok belakang mobil. "Apa perlu ke rumah sakit?""Nggak usah!!! Kurang ajar gadis itu!!" Sumpah serapah dari lelaki tersebut, masih merasakan sakit yang teramat sangat pada alat vitalnya.Kedua temannya malah tertawa ngakak, semakin panjang lah sumpah serapah dari lelaki yang malu karena kalah oleh tendangan gadis itu.Sementara itu, Kartika sudah berada di rumah judi lagi, kali ini dirinya tidak ikut bermain, Kartika sedang menangis!Ci Amoy, sedang memeluk pundak sahabatnya itu, dirinya pun paham atas kesedihan dan duka lara Kartika. Bagaimana hidupnya harus membawa Laras yang sangat memukul kehidupannya. "Sabar, Tika. Lu baru segitu hidup lu, lah gue, sampai tuek, anak semua pergi, laki gue juga pergi, aku tak punya siapa-siapa, hanya lu yang gue punya, tahu?" Ci Amoy, berkata sambil berlinang air mata."Katanya hanya aku yang kau punya, tapi kenapa aku selalu jadi sainganmu." Dalam isaknya Kartika bicara seraya mengusa
Matahari telah menyinari alam, terlihat embun sisa semalam di rerumputan. Terlihat Tommy, sedang berolah raga, celana trening dan kaus tanpa lengan, menjadi outfit favoritnya. Keringatnya sudah membasahi tubuhnya yang terlihat kekar, kulit putih dan mulus membuat siapa saja pasti akan melirik lelaki tampan blasteran Belanda - Indo ini.Napasnya terdengar semakin memburu, ini sudah ke empat kalinya, Tommy sudah memutari komplek perumahan.Tak jauh dari dirinya, tiba-tiba ekor mata Tommy, melihat sekelebat tubuh ramping sedang menggenjot sepedanya dengan santai. Tubuhnya yang langsing ditambah kaki yang jenjang bercelana pendek itu mencuri perhatian Tommy."Nice ..." gumamnya, melihat penampakan yang menarik hatinya.Saat wanita itu menengok Tommy, dan tersenyum. "Hai! kita jumpa lagi di sini.""Jumpa? kita pernah ketemu? di mana?" jawab Tommy bingung. Gadis cantik itu berhenti, dan menatap Tommy lekat-lekat."Aku yang menangkapmu, waktu kau duduk menikmati mie dalam sebuah cup.""What!