Beberapa minggu kemudian.
Di sebuah ruang rawat mewah pasien VVIP. Tepatnya di Rumah Sakit International Singapura, tampaklah sepasang suami istri yang sedang berdebat hebat dengan seorang pemuda tampan yang kini sedang terduduk di atas ranjang pasien.Baik pemuda ataupun pasangan suami istri itu tidak ada yang mau mengalah, mereka mempertahankan egonya masing-masing hingga seperti tidak ada jalan keluar."Pokoknya, Mama gak mau tau. Kamu harus menikah dengan Raysa, titik!" ucap Amanda. Wanita paruh baya itu memberi perintah yang tak bisa terbantahkan pada anak semata wayangnya."Ta-tapi, Mah--" Rafael nama si pemuda itu, ingin membatahnya dan tentu saja ia tidak setuju dengan rencana konyol dari kedua orang tuannya ini."Gila, kenapa aku harus menikah dengan anak seorang pelayan, apa kata orang nanti? Yang ada semua orang pasti akan mencemooh dan merutukiku. Karena tunanganku saja sedang mengalami koma gara-gara aku. Masa aku malah menikah dengan orang lain. Bukankah ini terlalu jahat dan sangatlah tidak adil bagi Lucyana," ujar batin Rafael tidak terima.Beberapa hari setelah melakukan operasi karena kecelakaan itu, Rafael dan tunanganya belum juga tersadar dari komanya. Setelah berkonsultasi dengan dokter, pada akhirnya kedua orang tua Rafael memutuskan untuk memindahkan keduanya ke rumah sakit yang lebih besar yang memiliki fasilitas lebih mumpuni lagi. Dan mereka memilih untuk pindah ke rumah sakit yang berada di luar negeri yaitu Singapura.Hingga saat ini Lucyana masih dalam keadaan koma. Sedangkan Rafael sudah tersadar. Namun, ia harus terpaksa duduk di atas kursi roda karena kedua kakinya mengalami kelumpuhan.Sungguh keadaan ini membuat lelaki itu cukup terpuruk. Belum lagi kedua orang tuanya yang tiba-tiba saja terus mendesaknya untuk mencari penganti pengganti sementara untuk mengangtikan Lucyana di hari pernikahan yang hanya tinggal menghitung hari."Ya, benar tuh kata Mamah. Lagi pula hari H tinggal berapa hari lagi, Raf. Dan Lucy juga masih dalam keadaan koma. Masa sih, kita harus membatalkan semuanya? Ya, gak mungkinlah, Rafa. Ya, jalan satu-satunya kamu harus cari pengantin pengganti," sahut Aditama Surya. Lelaki tua berumur 58 tahuanan itu menyetujui saran yang diberikan oleh sang istri tercintanya."Dan Mama telah memilih Raysa, putri dari Bik Laela sebagai pengantin penggntinya nanti," sambar Amanda."Ya ya ya, tapi ... apakah pernikahan itu tidak bisa ditunda dulu, Pah, Mah? Kita, 'kan masih bisa nunggu sampai Lucy sadar dari komanya dulu. Baru kemudian kita akan menikah." Pemuda yang beusia sudah cukup matang itu masih terus berusaha menolak keinginan kedua orang tuanya yang dengan tiba-tiba saja menyuruhnya untuk menikah dengan Raysa anak dari pelayan yang bekerja di rumahnya itu."Terus, mau sampai kapan kita menunggunya untuk bisa siuman, Rafa? Sedangkan dokter saja tidak bisa memastikan entah sampai kapan Lucy akan terus seperti ini," sela Amanda lagi."Kamu tenang dulu, Rafa!" Aditama menepuk pundaknya mencoba untuk menenangkan hati putra semata wayangnya itu. "Ini hanya untuk sementara saja, kok.""Maksudnya?" Dengan kedua alis yang mengerut, Rafael menatap ayahnya dengan raut wajah kebingungan."Ya, kamu hanya perlu menikahi Raysa untuk sementara waktu saja. Dan ... apabila nanti Lucy sudah sadar dari koma-nya, kamu boleh menceraikannya. Lalu, setelah itu kamu bisa menikah dengan lucyana," terang Aditama."Papah!" protes Amanda. Dengan mata yang mendelik tajam, ia tampak tidak setuju dengan rencana suaminya.Namun, Aditama malah mengerjapkan kedua mata memberikan kode agar istrinya tidak menyelanya. Dahi Amanda tampak mengerut, pertanda ia tidak tau apa maksud kode dari suaminya itu."Oh, jadi begitu." Pemuda yang akan genap berusia 32 tahun dalam berapa bulan lagi itu kini sedang terduduk di atas rajang pasien mengangguk-anggukan kepalanya pelan."Iya, bagaimana kamu setuju, 'kan?" sahut Aditama."Berarti aku hanya pura-pura saja menikah dengan gadis itu, Pah?" tanya Rafael."Ya ... kalau menikahnya sih beneran. Tapi ... e-e eh!" Belum sempat pria paru baya itu menyelesaikan ucapannya. Terlebih dahulu sang istri sudah menyeret tangannya untuk sedikit menjauhi dari pemuda tersebut."Ih ... Mama apa-apaan, sih?" protes Aditama seraya melepas cekalan tangan istrinya."Papah yang apa-apaan?" sahut Amanda kesal. "Kenapa Papah ngomong kek gitu sama Rafa, hah?""Ngomong apaan?""Ya, tadi Papah ngomong kalau Rafa hanya perlu menikahi Raysa untuk sementara waktu saja, itu maksudnya apa, hah? Emang Papah pikir pernikahan itu adalah sebuah permainan?" ucap Amanda yang terlihat sangat kesal."Ya, bukan begitu, Mah. Papah hanya sedang berusaha mebujuk Rafa agar mau menuruti rencana kita saja, Mah. Emang Mamah ada cara lain untuk bisa membujuknya, hah?"Wanita itu menggeleng."Ya udah, pokoknya Mama diem! Biar Papah yang akan membujuknya, ok?""Tapi, Pah!" Amanda masih tampak ragu."Udah, pokoknya Mamah percaya aja deh sama, Papah! Semua pasti akan baik-baik saja, ok?" Aditama mengusap kedua bahu istrinya. Berusaha untuk menyakinkannya."Huff ...." Sembari menghela nafas panjang, pada akhirnya Amanda hanya bisa mengangguk pasrah dan menyerahkan urusan ini padanya.Setelah selesai berdiskusi, kedua paruh baya itu kembali mendekati sang anak."Jadi, bagaimana? Apakah kamu setuju?" tanya Aditama memastikan."Em ... Rafa--" Pemuda bermata coklat itu masih tampak ragu menjawabnya. "Tetap tidak setuju, Pah. Jika aku menikah dengan gadis itu. Lalu bagaimana dengan Lucyana?""Ya, kita masih terus membiayai pengobatannya di sini sampai dia bisa sembuh nanti, Rafa," jawab Amanda."Bukan-bukan itu maksudku, Mah. Apa bila aku menikah dengan ... siapa tadi namanya?""Raysa," sahut Amanda."Nah, iya sama tuh cewek, apa nanti Tante Amara dan Lucyana tidak akan merasa sedih dan kecewa. Dan tentu saja mereka juga akan sangat marah kepadaku dong, Mamah.""Alah ... itu mah, gampang. Kita tinggal jelasin ke mereka kalau kamu melakukan pernikahan ini hanya untuk sementara saja. Ya ... sama yang seperti Papah bilang tadi dong, Rafa," sahut Aditama."Ya, lagi pula calon mertuamu itu kalau dikasih uang banyak juga akan diem dan langsung nurut sama kita, kok," celetuk Amanda tampak tidak begitu suka dengan sang calon besannya tersebut."Mamah!" seru Rafa dan Aditama secara bersamaan menoleh ke arahnya."Apa? Ya, memang seperti itulah calon ibu mertuamu itu memang mata duwetan, Rafa!""Tapi Lucy enggak, Mah," ucap Rafa membela kekasihnya."Ya ... semoga saja sih begitu, Raf. Tapi sebenarnya Mamah sih, ragu. Karena di mana-mana yang namanya buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya.""Sudah-sudah! Kenapa kalian ini seperti Tom and Jery saja sih? Dari tadi debat mulu. Mamah, udah ya! Please, Mah. Jangan diteruskan lagi perdebatan ini, ok?" Aditama berusaha melerai keduanya."Hem!" Dengan sangat malas Amanda pun mengangguk. Ia terpaksa harus mengalah pada anak semata wayangnya itu."Tunggu! Kenapa aku harus menikah dengan gadis itu, Mah? Atau jangan-jangan Mamah memang sengaja telah merencanakan ini semua?" tuduh Rafael, menatap curiga ke arah Mamahnya.Sehingga membuat hati Amanda mulai kembali memanas mendengarnya. "Apa maksud kamu, Rafa?""Udah stop, Rafa!" seru Aditama merasa kesal dengan sikap kurang ajar anaknya yang telah menuduh ibunya sendiri."Apa, Pah? Memang benarkan? Sedari dulu Mamah tidak pernah suka dan tidak menyetujui kalau aku akan menikah dengan Lucyana, bukan?""Atau ... Mamah malah senang melihat Lucyana yang sedang koma seperti yang sekarang ini? Dan berharap agar aku mau menikah dengan gadis kampungan itu.""Sudah cukup, Rafa! Kamu jangan keterlaluan! Mana mungkin Mamamu seperti itu!" teriak Aditama yang sudah mulai kesal.Dengan perasaan sedih, tanpa terasa bulir-bulir bening seperti kristal mulai menggenang di kedua pelupuk mata Amanda. Sungguh hatinya teramat sakit. Bagai terkoyak dan ditusuk-tusuk oleh perkataan anaknya sendiri."Tega kamu, Rafa. Berkata seperti itu sama Mamah! Apakah Lucyana itu jauh lebih penting dibanding Mamah?" ucap Amanda sedih. "Mama terpaksa melakukan ini semua juga karena kamu, Rafa," lanjutnya."Apa?! Karena aku?" Rafael mengernyitkan dahi merasa kebingungan."Apakah kamu tau, siapa satu orang lagi yang menjadi korban tabrakan mobil kamu pada malam itu?"Dengan raut wajah kebingungan Rafael menggeleng."Orang itu langsung meninggal dunia, Rafa!""Hah!" Rafael semakin dibuat syok mendengarnya."Dan ... dia adalah Bik Laela, ibunya Raysa!"JEDDER!"Apaa?! Bi-bik Laela meninggal? Ja-jadi--"Di sebuah rumah yang terlihat sangat mewah dan megah. Tampak dua orang gadis yang sedang terduduk di ruang tamu menunggu sang tuan rumah untuk datang menemuinya. Dua gadis beda usia itu adalah kakak beradik, anak dari Laela Sari mantan pelayan di rumah tersebut.Amanda dan Aditama memang sengaja mengundang dua gadis tersebut untuk datang ke rumah. Karena keduanya ingin membicarakan sesuatu hal yang sangat penting dengan kedua gadis cantik itu."Hay-hay, hallo ... cantik!" sapa Amanda. Dengan senyum sumringah menyambut hangat kedua tamunya."Ya, hallo, Tuan, Nyonya. Eh, Bu Manda," jawab Raysa balas tersenyum ramah sembari bersalaman dengan sepasang suami istri itu.Begitu juga dengan adiknya yang benama Anggia Sari pun melakukan hal yang sama dengannya."Ih, jangan panggil kami Tuan ataupun Nyonya dong! Panggil saya Bunda Manda dan Pak Tama saja, ok!" kata Amanda sembari menjatuhkan bokongnya di atas sofa yang berada tepat di depan kedua gadis tersebut.Sedangkan sang suaminya pun ikut
Di dalam sebuah kamar, seorang gadis duduk terdiam di depan cermin. Di depannya ada banyak peralatan make up yang tergeletak di atas meja. Dua orang perias sibuk memoleskan eye shadaow, blush on dan lipstik di wajah gadis itu. Sedangkan orang yang satunya lagi tampak sibuk membetulkan kebaya pengantin yang dikenakan oleh calon pengantin wanita tersebut.Gadis itu tampak begitu cantik dengan kebaya pengantin berwarna perak yang menjulur panjang di bagian belakang itu, kini melekat indah di tubuh rampingnya.Saking cantiknya, sang penata rias pun takjub memandangi hasil dari mahakaryanya yang paripurna itu terlihat begitu sempurna.Dengan kulitnya yang kuning langsat ciri khas orang Indonesia, bibirnya yang tipis, hidungnya yang mancung tapi mungil. Belum lagi gigi gingsul di sebelah kanan yang menambah kesan cantik wajah gadis tersebut.Hanya dengan polesan sederhana yang terkesan natural, pada dasarnya gadis itu memang sudah cantik. Sehingga sang penata rias pun tidak perlu melakukan b
"Tidak sah! Pernikahan ini tidak sah!" Suara teriakan seorang wanita dengan penuh emosi, terdengar begitu lantang menggema ke seluruh ruang. Membuat semua orang yang berada di sana merasa terkejut dan langsung menoleh ke arah sumber suara. Di mana mereka melihat ada seorang wanita paruh baya sedang berdiri di tengah ruangan."A-amara!" Pekik Aditama dan Amanda merasa syok ketika melihat sang calon besannya itu kini telah datang ke acara pernikahan putranya ini.Begitu juga dengan Rafael yang langsung menoleh dan terbelalak ke arahnya juga. "Ta-tante Amara!" serunya.Sedangkan Raysa dan Anggia yang duduk di belakang sang kakak dengan heran dan kebingungan ikut menoleh ke arah wanita itu juga.Keaadan kini menjadi kacau, kenapa saat ijab kobul sudah selesai. Mama dari tunangan Rafael yang sedang koma itu malah datang ke sana?"Rafael, apa-apaan ini?" Wanita itu melotot tajam ke arah pengantin pria. "Kenapa kamu malah menikah dengan dia?" Teriakan wanita itu begitu menggelegar, sehingga
Wanita yang masih mengenakan kebaya pengantin itu kini tampak berdiri mematung di depan sebuah kamar. Di mana di dalam kamar tersebut ada 4 orang yang sedang berdebat hebat. Karena saking hebatnya mereka terus berdebat hingga seakan tak ada yang mau saling mengalah.Dengan wajah yang menegang, kini ke empat orang itu tengah terduduk di sebuah sofa panjang yang ada di dalam sana."Sungguh aku benar-benar tidak menyangka, kalian sungguh tega! Di saat Lucyana masih terbaring lemah dan tidak berdaya di rumah sakit, Rafael malah memilih untuk menikah dengan wanita lain," ucap Amara merasa sangat marah dan tidak terima anaknya ditinggal nikah oleh kekasihnya ini."Dengarkan penjelasanku dulu, Tante! Aku terpaksa melakukan ini semua juga demi Lucyana," sanggah Rafael. "Apa! Demi Lucyana? Cih, demi Lucyana bagaimana? Jelas-jelas kau telah menghianatinya," cibir Amara merasa muak mendengarnya. "Argh ... bagaimana ini cara ngejelasinnya?" Dengan sedikit kesal, lelaki yang masih mengenakan baj
"Tu-uan Ra-rafael!" Raysa terpekik kaget, saat melihat lelaki yang kini berstatus sebagai suaminya itu sudah berada tepat di belakang Amara. Dengan aura yang terasa sangat dingin dan menyeramkan, pria berwajah kebule-bulean itu kini menatapnya tajam. Hingga membuat gadis muda yang baru saja dinikahinya itu menelan ludah kasar. Dalam seketika ia menjadi panik dan juga glagapan, bingung akan berkata apa."Eh, kebetulan kamu ada di sini, Raf. Ini loh, masa si gadis kampungan ini tiba-tiba saja marah-marah gak jelas gitu sama Tante," adu Amara, dengan penuh kebencian ia melirik sinis ke arah Raysa.Dengan cengohnya gadis berkebaya pengantin itu langsung melongo dibuatnya. Sungguh ia tidak mengira kalau wanita itu pintar sekali memutarbalikan fakta. Dan tentu saja ia ingin segera menyanggahnya. Namun, baru saja ia akan membuka mulut, terlebih dahulu wanita paruh baya itu kembali berkata. "Udah gitu dia tadi ngusir aku dan ngelarang aku buat datang lagi ke sini, Rafa." Dengan memasang wa
Sontak gadis itu langsung diam mematung tak bergeming di tempatnya. Niat hati ingin membantu malah perlakuan kasar yang ia dapatkan dari laki-laki tersebut. "Cih, galak banget sih dia. Ganteng sih ganteng. Tapi galaknya minta ampun. Mak-mak di komplek sebelah aja kalah galak sama nih orang." Dengan jengah, dalam hati Raysa ngedumel kesal."Aku tak butuh bantuanmu!" lanjut Rafael. Dengan pandangan merendahkan, ia pun tersenyum sinis. "Kau pikir dengan cara kau bersikap pura-pura sok baik dan sok perhatian kepadaku bisa membuatku luluh. Jangan mimpi kamu! Sampai kapanpun juga aku tidak akan pernah mau menerima pernikahan ini," tandasnya ketus. Sembari mendengus kesal, gadis bermata bulat itu memutar bola mata sangat malas menaggapinya. Lalu dengan lesu ia menjatuhkan bokongnya di pinggir ranjang. "Ya, aku tau, Tuan. Jika kau terpaksa melakukan pernikahan ini. Sama aku pun juga terpaksa harus menerima permintaan Bunda yang dengan sangat memohon kepadaku agar mau menjadi pengantin seman
Sembari memegangi baju bagian belakang, Raysa membalikan badan dan segera menjauhi lelaki itu. Sedangkan Rafael, dengan wajah yang memerah menahan malu, ia memalingkan wajahnya kikuk. Entah mengapa hatinya berdesir dan jantungnya pun berdetak dengan sangat cepat, tak kala ia sempat memandang punggung mulus milik gadis itu.Ya, walau sebenarnya ini bukanlah kali pertama ia melihat punggung seorang wanita. Karena jujur, ia sudah sering kali melihat pemandangan indah seperti itu dan bahkan lebih dari itu pun ia sudah pernah melihatnya. Karena bagi pria matang sepertinya pasti dia sudah sering melakukan hal lebih dengan tuangannya yaitu saat bersama Lucyana dulu. Akan tetapi kali ini berbeda, Ia sama sekali tidak menyukai gadis itu dan bahkan ia sangat membencinya. Tetapi, kenapa ia merasa ada desiran aneh di saat berada di dekatnya. Padahal baru beberapa jam mereka baru bersama hari ini. Apakah wanita ini sudah dengan cepat mempengaruhinya?"Oh, shitt! Ada apa denganmu, Rafa? Jangan sa
Langkah demi langkah, Raysa berjalan mengendap-endap seperti maling, mulai bergerak untuk mendekati ranjang. Walaupun ia sempat merasa ragu, pada akhirnya Ia memutuskan untuk tidur di sana. Namun, baru saja ia naik ke atas ranjang, tiba-tiba saja lelaki yang terbaring di sana membalikan badan dan langsung memberi tatapan tajam padanya. "Hey, apa yang kau lakukan?" bentak Rafael.Raysa sempat terjingkat kaget dibuatnya. Namun, dengan salah tingkah ia pun nyengir kuda. "Eh, ketauan, ya?" cengirnya.Lalu dengan mengeryitkan dahi, lelaki itu terus menatapnya curiga. "Kenapa kau ada di sini? Apa kau sengaja ingin tidur bersamaku?" cercarnya. "Ya ya, jelas aku akan tidur di sini? Kalau bukan tidur di sini, di mana lagi? Masa aku harus di sofa, ih ... engga banget kali. Yang ada nanti badanku pegel-pegel karena tidur di sofa itu," jawab Raysa sengit."Apa kau serius akan tidur di sini? Aku tidak akan menjamin jika sampai terjadi sesuatu padamu nanti!""Hahaha ...." Gadis berpiama pink ber