Share

Part 08 - Pria Kejam

Malam terasa begitu hening dan dingin, Aletta menarik selimut tebal hingga sebatas leher untuk menghangatkan tubuhnya. Tangannya bergerak meraba tempat di sebelahnya, namun ia tidak menemukan keberadaan Aaron membuat matanya sontak terbuka.

Aletta mengedarkan pandangannya, ia merubah posisinya menjadi duduk dengan rasa kantuk yang masih menyerangnya. Wanita itu segera turun dari atas tempat tidur dan menuju ke arah kamar mandi.

"Aaron?" Aletta langsung membuka pintu kamar mandi, dan dia tidak melihat adanya sosok Aaron membuatnya merasa kebingungan.

Aletta kembali duduk di tepi ranjangnya kemudian meraih ponselnya yang berada di atas nakas.

"Ke mana dia?" gumam Aletta sembari melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 1 malam.

Aletta segera menghubungi Aaron karena merasa penasaran sekaligus khawatir mengingat kondisi kesehatan pria itu. Aletta mencoba menelpon Aaron beberapa kali, tetapi Aaron tidak kunjung mengangkat telponnya membuat ia merasa was-was. Aletta menghela nafas panjang, ia berdiri dari duduknya dan berjalan keluar kamar.

Aletta membawa langkah kakinya menyusuri lorong panjang yang ia tahu akan membawanya menuju ke ruang kerja Aaron.

Tok. Tok. Tok.

"Aaron! Apa kamu di dalam?" tanyanya sembari mengetuk pintu, dan lagi-lagi ia tidak mendapatkan jawaban.

Aletta mencoba membuka pintu ruang kerja tersebut, namun ternyata dikunci membuat ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya.

Tidak ingin disalahkan jika sesuatu terjadi kepada Aaron, Aletta segera menelepon Anggi yang ternyata langsung menjawab panggilan telponnya. Aletta cukup terkejut karena sekarang sudah larut malam dan Anggi sepertinya belum tidur.

"Ada apa, Aletta?" suara Anggi terdengar dari seberang sana.

"Eumm....... sebelumnya aku mau minta maaf karena udah ganggu Mama malam-malam begini, aku bangunin Mama ya?"

"Mama belum tidur, kenapa Al?"

Tepat seperti dugaan Aletta, ternyata Anggi memang belum tidur.

"Aku mau tanya, apa Aaron ada di mansion Mama? Atau Aaron ada hubungi Mama? Soalnya aku tadi kebangun, tapi Aaron udah nggak ada. Aku cari di kamar mandi sama di ruang kerjanya juga nggak ada, aku udah coba hubungi tapi nggak diangkat, Mah."

Hening, Aletta tidak mendengar suara Anggi sama sekali membuatnya kebingungan.

"Mama?"

"Tadi Aaron sudah izin ke Mama, dia ada kerjaan sama Papanya. Jadi dia nggak bilang dulu ke kamu?"

"Enggak bilang, Mah. Tiba-tiba dia udah nggak ada pas aku bangun. Emm.....maaf Mah, bukannya Aaron sakit? Harusnya dia kan nggak boleh keluar malam dan nggak boleh terlalu capek, apa......nggak sebaiknya Aaron istirahat total? Aku cuma takut keadaannya memburuk."

"Mama juga maunya kayak gitu, Aletta. Tapi Aaron keras kepala, dia kekeuh nggak mau ninggalin dunia bisnis. Aaron emang gila kerja, tapi dia di sana gimana? Keadaannya baik-baik aja kan?"

Aletta tertegun untuk sejenak, ia mengingat-ingat sifat Aaron dan bagaimana keadaan pria itu, benar-benar tidak menunjukkannya seperti seseorang yang sedang mengidap penyakit.

"Aaron......dia seperti orang yang sangat sehat, Mah. Aaron bahkan nggak pernah ngeluh sakit sama sekali."

"Mama seneng dengernya, semoga vonis dokter salah dan Aaron bisa sembuh dengan terapi atau obat-obatan. Yaudah Mama tutup dulu ya telponnya? Mama ada kerjaan."

"Iya Mah, makasih dan sekali lagi aku minta maaf karena udah ganggu Mama."

"Nggak perlu minta maaf, nggak ganggu kok," ucap Anggi kemudian sambungan telpon mereka terputus membuat Aletta kembali menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Aletta menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran yang berkecamuk.

"Pekerjaan apa yang membuat Aaron sampai harus keluar malam seperti ini?"

Sedangkan di tempat yang berbeda, saat ini Aaron dan Ernest tengah duduk di kursi mereka sembari menatap sepuluh orang pria bercelana pendek tanpa baju yang dirantai dengan tubuh penuh lebam.

Aaron memasang sarung tangan kulit berwarna hitam miliknya kemudian berdiri sembari memegang belati yang terlihat begitu tajam. Tubuh sepuluh pria itu bergetar hebat, mereka merasa ketakutan karena tahu bahwa tidak akan ada pengampunan untuk perbuatan yang telah mereka lakukan.

"Papa ingin aku menyisakan berapa?" tanya Aaron sembari menahan kepala salah satu dari pria yang sudah begitu berani merampok barang jualan mereka.

"Satu, Papa ingin pemimpin mereka. Otak yang mendalangi perampokan itu," jawab Ernest sembari menegak red wine dari gelasnya.

"Yang itu punyaku," ucap Aaron membuat Ernest langsung terkekeh

"Apa belati ini tajam, Edgar?" Aaron mengusap ujung belatinya yang mengkilap dengan satu tangan yang terus menjambak rambut target pertamanya hingga kepala pria itu mendongak ke atas.

"Sangat tajam, Tuan."

"Jangan yang tajam, berikan padaku belatimu," Aaron menadahkan tangannya.

"Ini Tuan," Edgar segera memberikan belati miliknya kepada Aaron.

"Masih tajam."

"Pakai milik Papa Aaron," Ernest mengeluarkan pisaunya yang sedikit berkarat dan meletakkannya di atas meja.

Edgar buru-buru mengambilnya untuk diserahkan kepada Aaron.

"Pisau yang sempurna," Aaron menatap pisau itu dengan senyuman miring di wajahnya.

"Akhhh!"

Aaron menarik kuat lakban yang sedari tadi menempel di mulut pria itu.

Ernest geleng-geleng kepala sembari memijit pelipisnya melihat apa yang dilakukan oleh Aaron, ia tahu betul dengan jalan pikiran putranya.

"Suara mereka tidak semerdu itu, Aaron. Harusnya kamu membunuh mereka dalam diam."

"Papa bisa melakukannya, aku mau mendengar suara dari tikus-tikus yang akan ku habisi. Ada permintaan terakhir?"

Pria yang ditanya geleng-geleng kepala, lidah pria itu tentunya terasa kelu, bibirnya bahkan terlihat membiru karena merasa sangat ketakutan.

"To-tolong ampuni saya, Tuan. Ja-jangan membunuh saya," suara pria itu terdengar bergetar membuat Aaron langsung menatap Ernest.

"Inilah bagian favoritku, Papa. Permohonan, belas kasihan, itu yang selalu ku lihat dari para penjahat kecil seperti mereka," ucap Aaron kemudian membungkukkan sedikit tubuhnya membuat wajahnya sejajar dengan pria itu.

"Permohonan maafmu ditolak," bisik Aaron dengan tatapan yang teramat dingin.

Aaron kembali menegakkan tubuhnya dan langsung menggoreskan ujung pisaunya ke leher pria itu secara perlahan dan berulang-ulang karena pisau yang ia gunakan memang tidak terlalu tajam bahkan cenderung tumpul.

"Akkhh......."

"Harusnya kalian berpikir seribu kali sebelum mencuri dariku, sekarang aku harus mengambil nyawa kalian sebagai gantinya."

****

Aletta duduk bersandar di ayunan yang berada di dekat kolam renang, wanita itu tampak sedang membaca novel sembari menikmati hembusan angin yang cukup kencang. Sekarang sudah pukul 8 pagi, Aletta masih belum mendapatkan kabar dari Aaron, pria itu tidak kunjung menghubunginya untuk sekedar memberitahu kebersamaannya.

Aletta menghela nafas panjang sembari meletakkan novel kesukaannya ke atas pangkuannya. Tiba-tiba saja Aaron terlihat sedang menaiki undakan tangga membuat Aletta segera berdiri dan berlari kecil menghampiri pria itu.

"Aaron!" panggilnya membuat langkah kaki Aaron terhenti.

"Kamu......tadi malam ke mana?"

Aaron hanya menatapnya sekilas kemudian kembali melanjutkan langkah kakinya membuat Aletta mengernyit heran.

"Aaron, kamu sakit? Kenapa kamu diam? Aku......sedang bertanya," cicit Aletta di akhir kalimat.

"Apa kamu memiliki hak untuk bertanya mengenai urusanku dan tentang apa yang ku lakukan di luar sana?" Aaron berhenti dan menatap Aletta yang tampak terkejut.

"Ma-maaf?"

"Aku nggak perlu minta izin ke kamu untuk semua urusan yang aku lakuin, aku keluar rumah itu artinya aku ada kesibukan. Kamu nggak harus bertanya karena itu sama sekali nggak penting, Aletta."

Wanita itu sontak memalingkan wajahnya, entah mengapa perkataan Aaron berhasil melukai perasaannya.

"Maaf, Aaron. Aku kadang lupa bahwa pernikahan kita ini hanya berdasarkan selembar kertas."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status