Suara petir yang menyambar langit terdengar di sekitar Hillary. Hawa dingin yang mencekam ditambah langit yang menggelap di siang hari. Alam seperti ikut bersedih, kehilangan sosok malaikat dari Hillary. Seluruh penjuru Hillary berbondong-bondong menggunakan pakaian berwarna hitam yang menandakan Hillary dalam masa berkabung. Edmund sang Raja bagaikan porselin yang di kasih nyawa, ia berdiri di samping peti mati orang yang dicintainya. "Yang Mulia, sudah saatnya untuk mengucapkan salam perpisahan," bisik Jack tepat di telinga Edmund.Edmund menatap peti yang menyimpan tubuh wanita yang ia sayangi. Ia berjalan pelan menuju peti yang berwarna putih dengan pahat mahkota di penutupnya. "Maaf," cicitnya seraya menutup peti tersebut.Jack dan pengawal kerajaan lain mengerubungi peti tersebut. Mereka menunduk hormat ke arah Edmund dan mengangkat peti tersebut keluar istana. "Yang Mulia apa anda tidak apa-apa?" tanya Jack saat melihat keadaan Rajanya yang pucat dan kantung mata yang berwar
Matahari pagi yang menyelinap masuk melewati celah seakan membangunkan dua sejoli yang tengah tertidur. Earwen terbangun saat merasakan sesak dan panas, ia membuka matanya perlahan. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah Edmund yang tertidur sambil memeluk tubuhnya, wajahnya yang sejajar dengan lehernya hingga nafasnya terasa menggelitik. Kaki kiri Edmund yang menindihi tubuhnya, seakan mengunci Earwen agar tidak kemana. Earwen mencengkeram selimut yang menutupi tubuhnya dan tubuh Edmund yang polos. Ingatannya berputar kembali ke kejadian tadi malam. Ia ingin marah kepada Edmund, dia bilang dia tidak sudi untuk melakukan hal itu kepadanya, lalu kenapa tadi malam dia melakukannya? Earwen tidak percaya Edmund terpengaruh dengan minuman alkohol itu. Walaupun Edmund mabuk berat dia tidak akan melakukan hal itu, dia akan mandi untuk meredamnya. Bukan malah– menidurinya.Nafas Earwen naik turun tidak teratur, ia mencoba menerima kenyataan bahwa dirinya sudah tidak gadis lagi. Earwen men
Di sinilah Earwen berada, menatap gundukan tanah yang belum datar itu. Netranya menilisir satu persatu nisan di pemakamanan ini. Hingga, pandangannya terkunci ke sebuah nisan yang bertulisan Disini terbaring Miranda Goeltom Sky. She's Edmund's mother, Earwen berjalan menghampiri makam tersebut. Tatapannya jatuh kepada sebuah foto kecil yang mungkin sengaja ditinggalkan di atas batu nisan tersebut. Ia mengambil pelan bingkai foto tersebut yang menampakkan Raja dan Ratu terdahulu. "This is King Arthur?" gumamnya perlahan. Earwen menghela nafasnya berat, ia melirik perlahan ke arah gundukan tanah milik Belinda. Ia ingat ucapan Grandma yang sangat merindukan King Arthur. Namun, hingga ia meninggal pun King Arthur masih belum di temukan. "Ada apa Earwen?" tanya Steve saat melihat raut sedih gadis itu."Steve, menurutmu kemana perginya King Arthur ya?" Steve berpikir sejenak, King Arthur menghilang setelah tujuh tahun usia Earwen. Hilang tanpa jejak, dia hilang saat Edmund berusia sepul
Earwen telah sampai di istana, dengan bantuan Steve ia turun dari kudanya. Ah bukan kudanya, karena Ruby tidak memiliki postur tubuh yang tinggi seperti kuda milik Steve."Terimakasih Steve," ucap Earwen seraya melemparkan senyuman ke arah Steve. "Lady!" seru Briana dari arah belakang."Briana, bagaimana urusanmu. Apa sudah selesai?" Earwen sengaja tidak mengajak Briana untuk berziarah ke makam Belinda. Briana beralasan dia ada rapat dengan para pelayan lain dan itu pertama kalinya Earwen tahu antar pelayan juga di adakan rapat. "Sudah Lady, maaf saya tidak bisa menemani anda," ucap Briana dengan nada murung. "Hei! Tidak apa-apa, saya tidak pernah menekan kamu untuk terus mengikuti saya. Lagi pula ada Steve yang menjaga saya," tutur Earwen. Briana mengangguk kemudian ia berterimakasih kepada Steve yang sudah menjaga Earwen hari ini. "Briana apa itu yang kau bawa?" tanya Earwen saat melihat nampan yang berisikan cangkir dan teko tersebut. "Ah ini. Ini teh papermint Lady, Jack mem
Ceklek.Pintu terbuka dan menampakkan sosok Jack dengan membawa tumpukan kertas. Matanya membulat melihat posisi intim dari Edmund dan Earwen. Jack berdehem lirih untuk menyadarkan Edmund yang tengah sibuk dengan berkasnya.Edmund meletakkan telunjuknya, menyuruh Jack tidak banyak bersuara."Ada apa?" tanya Edmund dengan lirih, takut membangunkan gadis yang tengah tertidur di pangkuannya. "Ini ada beberapa berkas yang perlu anda tanda tangani." Jack mengangkat berkas yang baru ia tulis.Edmund mengangguk. "Letekkan disitu, sepertinya saya tidak dapat menyelesaikannya hari ini. Mungkin besok lagi." "Kalau begitu saya undur diri.""Jack jangan lupa obat yang saya minta," ucap Edmund yang dibalas anggukan kecil dari Jack. Ruangannya kembali tenang, hanya terdengar dengkuran halus dari Earwen. Edmund membelai lembut pipi Earwen yang kemerahan. Tangan kekar miliknya jatuh pada bibir plum milik Earwen. "My favorit," bisik Edmund pelan. Earwen merengkuh, merasa tidurnya terganggu. Ia kemu
Tok..tok..tok Pintu terbuka dan menampakkan sosok di belakang pintu tersebut. "Kak Anne?" "Daisy, bolehkah saya masuk?" Gadis berumur belasan tahun itu mengangguk dan membuka lebih lebar pintu kamarnya. Dia berjalan masuk dan diikuti oleh Anne dari belakang. "Ada apa? Tumben sekali kakak datang malam-malam seperti ini?" tanya Daisy. Anne mengulum bibirnya, ia menarik tangan Daisy dan menggenggamnya erat."Saya ingin bekerjasama denganmu Daisy," ucap Anne dengan kilat mata menggebu-gebu.Daisy menyerngit heran. "Bekerjasama?" "Iya! Kau membenci kakak iparmu bukan?" "Sangat." "Saya juga membencinya, saya ingin kita bekerjasama untuk menyingkirkannya keluar dari Hillary," ucap Anne.Kedua bola mata Daisy membulat mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Anne. Sebenci-bencinya Daisy terhadap Earwen ia tidak mempunyai pemikiran untuk mengusir Earwen. Karena menurutnya, apapun yang berurusan dengan Earwen itu adalah tugas kakaknya. Walaupun ia pernah memberontak agar Earwen keluar
Earwen memilin-milin jemarinya, ia menatap punggung lebar milik Edmund. Dirinya sudah anggun menggunakan gaun dan tinggal menunggu Edmund yang tengah memasangkan dasinya. "Yang Mulia." Panggil Earwen dengan suara lirih. Edmund berbalik menatap Earwen yang tengah memainkan jari-jarinya. "Ada apa?" "Saya ingin izin keluar bersama Steve."Lagi-lagi dengan pria itu, kenapa tidak dengan pengawal lainnya? Apasih hebatnya pria itu, cih. Wanitanya ini tidak capekkah setelah kegiatan panasnya tadi? Benar-benar tangguh. Oh, apakah Edmund harus melakukannya lagi? Agar Earwen tidak dapat menjalankan aktivitasnya seperti biasa dan memilih untuk bergumul dengan selimutnya? "Okey, your promise," ucap Edmund dengan suara serak. Earwen menjijitkan tubuhnya dan menempelkan bibirnya dengan bibir penuh milik Edmund. Namun, baru ingin melepaskan pangutannya. Tangan besar Edmund justru menahan tengkuknya dan memperdalamnya. Earwen panik seketika, bagaimana tidak? Sekarang Edmund tengah mengendus-endus
Mata bulat milik Earwen bersinar terang melihat sebuah pertunjukan di tengah hiruk-pikuk. Ayolah, bagi Earwen yang seorang kurang tahu-menahu mengenai dunia luar pasti akan merasakan sensasi sendiri saat melihat pertunjukan kecil tersebut. Berbanding terbalik dengan orang-orang yang sudah melihatnya, mungkin akan melintasi begitu saja dan enggan melihatnya. "Apakah sebegitu bagusnya, hingga air liurmu menetes Earwen?" tanya Steve sembari mengunyah marshmellow. Earwen mengatup mulutnya, ia menatap tajam ke arah Steve. "Hei! Ak--aku hanya sedang mengagumi atraksi tersebut." "Lihat pria itu, dia sudah menyembunyikan mawar di balik lengan bajunya. Itu semua tipuan. Kenapa kau harus mengagumi tipuan bodoh seperti itu? Kita punya sihir yang kuat dan bisa membuat pertunjukan lebih dari itu." "Diamlah Steve! Apakah kau tidak bisa menghargai usaha orang lain?" desis Earwen menatap tajam ke arah Steve.Steve berdecak kesal, ia kembali melihat aksi tersebut walaupun otaknya memerintahkan aga