"Grandma ingin menyerahkan ini kepada kalian, sebagai hadiah untuk pernikahan kalian," ucap Belinda seraya menyerahkan sepasang cincin kepada Edmund dan Earwen."Cincin ini merupakan cincin turun temurun dari leluhur kita yang dulu, grandma ingin kalian memasang cincin ini dijari kalian masing-masing," sambungnya.Edmund menatap dua cincin tersebut, ia kemudian mengambil satu cincin tersebut dan menyematkan di jempolnya karena, jari manisnya sudah terisi kan cincin pernikahannya.Earwen mengambil cincinnya dan menyematkannya di telunjuknya. "Terimakasih Grandma," ucap Earwen."Oh ada satu lagi, ini untukmu Earwen. Spesial!" ucap Belinda dan menepuk tangannya.Pengawal datang dengan seekor kuda poni dewasa berwarna putih. Mata hazel milik Earwen berbinar melihat kuda poni tersebut."Kuda poni untukmu Earwen," ucap Belinda.Earwen bangkit dari duduknya dan mendekati kuda tersebut, ia kemudian mengelus pelan surai putih milik kuda tersebut. "Dia sangat cantik, terimakasih Grandma," ucap
Earwen terbangun dari tidurnya ketika seseorang membelai pipinya, netranya membelak kaget ia lantas mundur kebelakang."Tidak kusangka keturunan darah biru tidak mempunyai sihir," kekehnya pelan.Nafas Earwen naik turun melihat sosok yang didepannya–Galadriel. Penyihir hitam yang lumayan ditakutkan oleh sebagian penduduk Esterlens."Kau tau siapa aku?" tanyanya."Apa yang kau lakukan disini?" tanya balik Earwen tanpa membalas pertanyaan Galadriel.Galadriel tersenyum misterius, matanya menatap ke arah ranjang yang berisikan Edmund yang masih terlelap. "Oh aku hanya menyapamu, apa itu tidak boleh? Saya juga masih bagian keluarga Hillary," ucapnya dan hendak menyentuh rambut coklat milik Earwen."Cih! Sejak kapan kau bagian dari Hillary? Kau hanya seorang penghianat."Galadriel menoleh dan tertawa melihat Edmund menarik Earwen dibelakangnya. "Oh ya ampun cucuku, kau sudah besar." Mata itu, mata yang dilihat Earwen saat penyerangan tiba-tiba Galadriel saat ia memanah bersama Belinda. Ma
Mata coklat milik Earwen menatap danau kecil di belakang istana, ia baru menemukan tempat ini setelah berputar-putar tiga kali di istana karena merasa bosan sedari pagi."Lady ini sangat indah," ucap Briana dengan terpana menatap tempat baru yang baru dijumpainya."Selama saya disini, saya tidak pernah melihat tempat ini," lanjutnya.Earwen tersenyum. "Bagaimana kalau kita jadikan sebagai tempat rahasia kita?" tanya Earwen.Briana mengangguk menyetujuinya. "Ide yang indah Lady, saya akan merahasiakan tempat ini." "Omong-omong Briana, dimana buku yang saya minta untuk kamu simpan saat sarapan?" "Buku yang bersampul polos Lady?" tanya Briana.Earwen mengangguk. "Iya, dimana itu?" "Saya meninggalkannya di kamar anda terdahulu, sebentar saya ambilkan dulu," ucap Briana dan meninggalkan Earwen.Earwen menghirup dalam udara disini, ia kemudian menyentuh pelan air berwarna jernih tersebut, bahkan batu didalamnya sangat terlihat jelas. Dingin, kata pertama yang mendeskripsikan air danau in
Wow, kata pertama yang bisa mendiskripsikan di depannya. Ini sangat berbeda dengan ekspektasi Earwen apa yang ia lihat sekarang sungguh berbeda. Pesta topeng yang selalu menjadi bayangannya ternyata seperti ini. "Apa kau menyesal datang kesini?" ucap Edmund yang tengah melihat lihat beberapa topeng untuk dipakainya."Sedikit," ucap Earwen dengan lemas"Kau terlalu berekspetasi tinggi mengenai pesta topeng." Earwen mengangguk lesu, yang dikatakan Edmund benar adanya dan ia sudah terlanjur datang kesini. "Benar yang mulia, oh menurut anda mana yang lebih bagus?" tanya Earwen sambil memperlihatkan topeng dengan warna silver semu biru dan silver sepenuhnya. "Ini, terlihat cocok dengan pakaianmu," ucap Edmund seraya menunjuk topeng berwarna silver semu biru. "Terimakasih Yang Mulia." "Astaga, suatu kehormatan bagi saya melihat anda datang ke pesta saya My Lord... Edmund," ucap pria paruh baya tersebut."Apakah ini Lady Earwen? Maaf saya tidak sempat datang di pernikahan anda," tambah w
Earwen menggeliat dalam tidurnya, ia membuka matanya dan berlari kedalam kamar mandi memuntahkan isi perutnya yang terasa seperti diaduk-aduk. Hanya cairan bening yang dikeluarkannya, Earwen bangkit dan mencuci mulutnya dengan air bersih. Namun, ia kembali berlari ke closet dan memutahkan kembali walaupun tidak yang keluar rasanya seperti ada yang mengganjal di perutnya. Earwen duduk lesu disamping closet sembari memijat kepalanya yang terasa pusing. "Kau berisik sekali," ucap Edmund yang tengah berdiri di depan pintu. "Maaf. Yang Mulia jangan kesini ini menjijikkan," lirih Earwen.Edmund memutar bola matanya malas, tentu saja ia tidak akan kesitu tetapi suara muntahan Earwen sangat menganggu tidurnya yang indah dan membuatnya harus berdiri disini."Bersihkan mulutmu dan cuci tangan, saya akan meminta pelayan membuat teh jahe," ucap Edmund dan pergi meninggalkan Earwen. Earwen bangkit dari duduknya dan mencuci mulut dan tangannya. "Apa yang kau lakukan?" ucap Edmund melihat Earwen
Earwen menggeram bosan, mata hazelnya menatap ke arah Briana yang tengah sibuk menata rambut coklat miliknya. Sudah dua jam Briana mengurusi tubuh Earwen, dari membantu menggunakan gaun dan sekarang menata rambutnya. "Selesai," ucap Briana."Sekarang aku ingin keluar." Briana mencegat lengan Earwen. "Tidak lady, saya harus memoleskan sedikit riasan ke wajah anda." Earwen kembali duduk, ia menatap pantulan dirinya di cermin sedangkan Briana mulai mengerjakan tugasnya. Earwen rasa ototnya terasa kaku karena harus berdiam diri sejak tadi ditambah gaun yang dipakainya sangat berat. Berbeda dari gaun simpel-simpel milik Earwen yang sangat ringan dan nyaman. Long dress berwarna light blue yang memiliki lengan rendah sehingga menampakkan kedua pundak Earwen yang seputih susu, ini pertama kalinya Earwen menggunakan gaun berlengan rendah. Ini adalah tepat 100 hari pernikahannya dengan Edmund dan sudah satu minggu pula Earwen menjaga jarak terhadap Edmund sejak ia memberikan chocolate souffl
Edmund menatap jengah gadis didepannya. "Apa kau ingin membuang waktu berhargaku?" Earwen menggigit bibirnya, matanya melirik ke arah Edmund yang tengah melayangkan tatapan tajam ke arahnya. "Saya ingin minta izin keluar istana Yang Mulia," "Untuk apa?" tanya Edmund dengan dingin. "Ada sesuatu yang perlu saya kunjungi." "Sesuatu apa?" Earwen tersenyum kecil. "Anda tidak berhak mencampuri urusan saya yang mulia, itu juga sudah tertulis di perjanjian kita. Bukan begitu Yang Mulia?" Sial, dirinya dibuat malu akibat perjanjian bodoh yang ia buat. Seharusnya Edmund menyingkirkan point kelima tersebut. "Saya hanya ingin tahu saja, bagaimana kalau ada skandal tentangmu yang keluar istanah?" "Tenang saja Yang Mulia, saya akan memakai jubah yang bertudung. Saya juga tidak akan membawa pengawal karena itu akan membuat curiga orang yang melihatnya." "Maksudmu akan pergi sendiri?" protes Edmund dan Earwen mengangguk mengiyakan. Edmund tidak habis pikir dengan gadis didepannya ini, dia be
Day 3 before Earwen's birthday.Edmund menatap langit-langit kamar miliknya, waktu menunjukkan pukul dua belas malam dan ia masih sibuk bergulat dengan pikirannya. Netranya melirik kearah sofa yang berisikan Earwen yang tengah dibawah alam sadarnya. Entah apa yang membuatnya seperti ini, Edmund sampai tidak tidur hanya memikirkan gadis itu yang baru beberapa bulan memasuki kehidupannya. Ia menghela nafas panjang, dan bangkit dari posisinya menghampiri gadis yang tengah tertidur di sofa itu. Edmund menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajahnya. Bulu mata lentik, hidung sedikit mancung dan bibir sedikit tebal berwarna plum.Sleeping beauty, yang menggambarkan gadis didepan Edmund saat ini. Ia menangkup pelan pipi Earwen yang sedikit berwarna merah, rasa hangat menjulur di telapak tangannya. Ia mulai sedikit memajukan kepalanya untuk sekedar menempelkan bibirnya, merasakan rasa dari bibir milik sang sleeping beauty itu. Manis, tidak berubah sama sekali, ini bukan kali pertamanya ia me