Dave menghela napas panjang mendengar pertanyaan bernada sindiran yang keluar dari mulut Rachel.
"Saya sama Fabio ketemuan buat membahas Dewi. Masa iya orang yang di bahas kita ajak juga. Kamu ini ada-ada saja pertanyaannya," timpal Dave sambil mengeleng heran.
Dave yang sudah selesai mengeringkan rambutnya, perlahan naik ke atas ranjang. Ia merebahkan tubuhnya di sebelah Rachel.
"Baca majalahnya di lanjutkan besok lagi saja. Sudah, ayo! Kita tidur," tegas Dave seraya meminggirkan majalah yang ada di atas ranjang ke nakas di sebelahnya.
Rachel yang tadinya bersandar pada kepala ranjang, kini sudah berbaring di sebelah Dave. Ia melirik Dave yang hendak memejamkan mata.
"Kamu beneran nggak mau jelaskan apapun ke aku soal Dewi ya?" tanya Rachel tiba-tiba.
"Jangan sekarang ya, Hel. Saat ini saya belum bisa kasih kamu penjelasan apa-apa."
Kate menghela napas pelan setelah mendengar pengakuan jujur Rachel. "Anak mamah yang satu itu memang garing, Sayang. Mungkin karena kurang suka bercanda juga. Tapi dia sebenarnya orangnya apa adanya, Hel. Bahkan cenderung tidak bisa berpura-pura." Kate mendadak mengulas senyum lembut. "Kamu takut suamimu itu tidak menyayangimu?" Rachel mengangguk pelan. "Tenanglah, Rachel. Sebagai wanita yang melahirkan dan membesarkan Dave, mamah tahu anak itu sangat sayang sama kamu. Buktinya dia sampai rela gantiin pak Jiman jadi supir papah." "Maksud mamah?" "Dave tadi minta pak Jiman buat antar kamu pergi. Bahkan dia sampai kirim pesan ke mamah segala buat memastikan kamu berangkat kerjanya nggak sendirian," sambung Kate seraya memperlihatkan pesan singkat Dave di ponselnya. Rachel seketika menundukkan kepal
Melihat istrinya diam saja, Dave jadi ikut terdiam. Mata keduanya saling berpandangan untuk beberapa saat."Rachel sudah makan siang?" tanya Dave tiba-tiba."Ini baru mau makan siang."Dave mengangguk paham."Saya tutup teleponnya dulu ya.""Kenapa buru-buru pengen tutup teleponnya sih? Kamu males ngobrol sama aku ya."Mendengar nada merajuk sang istri, membuat Dave terkekeh pelan."Bukan begitu. Saya juga belum makan siang, Hel. Nanti kita sambung lagi kalau sudah selesai makan saja ya.""Oh kirain.""Kirain apa?" sela Dave dengan cepat."Enggak apa-apa," elak Rachel sembari mengeleng."Jangan lupa makan siang ya."Rachel terlihat mengangguk patuh sebelum panggilan telepon itu terputus. Ia lalu mengambil napas panjang dan membua
"Gua heran sama lo. Apa yang sebenarnya lo lihat dari seorang Alex untuk mengurusi perusahaan cabang lo itu?" tanya Dave tanpa basa-basi.Emilio seketika tersenyum simpul."Lo sendiri, kenapa tertarik sekali dengan tameng gua yang satu itu? Apa Alex mengusik kehidupan pernikahan lo lagi?" tebak Emilio.Dave tidak terkejut saat Emilio mengetahui permasalahan rumah tangganya. Walau ia tidak cerita pun, Emilio yang terkenal lihai dan cerdik pasti telah mencari tahu tentang dirinya sebelum mereka bertemu hari ini. Terlebih pertemuan mereka beberapa hari yang lalu juga membahas tentang Alex."Sejauh mana lo mencari tahu tentang masalah gua? Mau berniat ikut campur?"Emilio kembali terkekeh pelan."Lo tenang saja. Gua bukan tipe orang semacam itu. Terlibat dalam urusan rumah tangga orang bukan style gua banget.""Baguslah kalau begitu," ucap Da
Dave terkekeh pelan menanggapi pertanyaan Rachel."Dia tidak punya pilihan lain selain menikahi wanita itu. Rumor tentang kehamilan Dewi mulai tersebar luas di kantormu."Rachel hanya mengangguk. Matanya nampak tertuju ke sebuah kartu undangan berwarna pink di tangannya. Entah apa yang tengah di pikirkan wanita itu hingga tak menyadari gerakan Dave yang semakin menempel padanya.Dave menyadarkan dagunya di atas salah satu bahu Rachel. Menghirup aroma lavender yang memberi ketenangan baginya. Hembusan napasnya yang mendadak menganggu Rachel yang tengah melamun."Geli, Dave. Kamu lagi ngapain sih?"Rachel merasakan ujung hidung Dave yang menyentuh permukaan kulitnya. Saat ia mencoba melepaskan tangan Dave, lelaki itu malah semakin mengeratkan pelukannya."Satu-satunya tikus liar yang menganggu hubungan kita sudah pergi. Apa kita harus merayakannya sekarang?"
"Dave... Tunggu... Kakiku sakit kalau berlarian begini," teriak Rachel yang masih berusaha mengejar Dave. Dave mendadak menghentikan langkah kakinya. Kemudian berbalik badan, sedikit meringis menatap Rachel yang berlari kecil untuk mendekatinya. "Jangan lari-larian begitu, Hel. Kamu tidak ingat kalau lagi hamil," protes Dave sambil mengeleng. "Habis kamu jalannya cepat sekali. Aku 'kan takut kamu tinggal. Nanti bisa-bisa aku malah nggak jadi pergi ke pesta," ucap Rachel sambil mengerucutkan bibirnya. "Ya, tuhan... Pikiran darimana lagi itu? Kalau saya berniat pergi sendiri, sudah dari tadi saya jalan." Dave memijat tengkuk kepalanya yang mendadak terasa tegang. "Mungkin saja kamu punya pikiran begitu karena kesal nunggu aku dandan dari tadi," ucap Rachel asal bicara. "Untuk apa saya repot tunggu kamu berjam-jam dandan
Dave mendongak. Melihat wajah sang istri yang seperti menahan sakit sambil mengelus perutnya, membuatnya bingung. "Perutmu kenapa, Hel?" tanya Dave terdengar cemas. Rachel mengeleng pelan sembari memaksakan senyumnya. "Enggak apa-apa, Dave. Hanya sedikit tegang saja tadi." "Benar enggak apa-apa? Perlu kita ke dokter sekarang?" "Enggak usah, Dave. Sekarang sudah nggak apa-apa kok," tolak Rachel seraya mengeleng pelan. Dada Rachel mendadak bergemuruh saat melihat wajah suaminya yang tengah menatap matanya lekat. Tatapan mata teduh bercampur rasa khawatir makin membuat kadar ketampanannya bertambah di mata Rachel. Dan ketika Dave duduk di sofa sebelahnya, Rachel malah bangkit berdiri. "Aku mau istirahat dulu di kamar sekalian ganti baju," ucap Rachel seraya ngacir ke kamarnya. Dave hanya memandang tanpa ekspresi kala melihat Rachel yang terlihat salah tingkah di depannya. Tidak berselang l
Dave terdiam, mencerna pertanyaan Rachel yang tidak biasa baginya. Ia sadar mereka berdua belum pernah berhubungan intim lagi semenjak hari itu. Terlebih kondisi Rachel yang pernah hampir keguguran, membuat Dave terlalu takut untuk menyentuhnya."Sudah sana ganti bajumu. Habis itu buatkan makanan. Saya lapar," ujar Dave sembari bangkit dari tempat duduknya.Dave melengang pergi masuk ke kamar dengan cepat. Tidak menghiraukan tatapan mata Rachel yang memandanginya dengan penuh tanda tanya. Wanita hazel itu menyadari suaminya sedang menghindarinya.Selesai memasak, Rachel memanggil Dave bermaksud mengajaknya makan bersama. Merasa tidak ada sahutan dari lelaki itu, ia pun berjalan menghampirinya yang sejak pulang dari pesta tadi belum keluar kamar."Dave..."Lelaki yang di panggil berulang kali itu nampak duduk terdiam di dalam kamar. Tatapan matanya seperti menyiratkan banyak hal.Rachel mengangkat sebelah alisnya kala melihat suaminya d
Dave malah bertanya balik seakan lupa dengan ucapannya sendiri. Tangan Dave perlahan menyentuh rambut Rachel yang menutupi wajahnya, menarik ke belakang telinga. Rachel menghela napas pelan. "Sampai curiga. Kamu bilang tadi mencurigai sesuatu." "Curiga kenapa?" Dave malah balik bertanya dengan memasang tampang polos. "Mana ku tahu. Kamu 'kan belum bilang apa-apa tadi," ketus Rachel terdengar kesal. "Masa sih?" Entah mengapa Rachel malah tambah kesal melihat tingkah Dave yang terus mengodanya. "Kalau nggak mau cerita, ya sudah nggak usah cerita." Melihat Rachel kembali mengerucutkan bibirnya, sontak Dave tertawa terbahak-bahak. "Oke. Saya akan ceritakan semuanya, tapi senyum dulu. Jangan cemberut begitu," pinta Dave seraya menghentikan tawanya. Pada akhirnya Dave mengalah. Ia tidak ingin memaksa dan malah jadi bertengkar dengan Rachel. "Saya sangat mengenal Emilio. Dia bukanlah orang y