Dave mengeliat pelan kala sinar matahari menerpa wajah tampannya. Tangannya bergerak ke segala arah. Kemudian mendadak berhenti saat merasakan benda kenyal menyentuh telapak tangannya.
Wajah Rachel yang terpejam jadi pemandangan pertama yang di lihat Dave kala ia membuka mata. Sedetik kemudian, sudut mulutnya terangkat, melengkung membentuk senyuman. Tangannya lantas beralih memeluk pinggang Rachel sembari bergerak lebih merapat ke arahnya.
Di banding dengan awal-awal pernikahannya dulu, Dave kini sudah bisa menerima kehadiran Rachel yang tidur satu ranjang di apartemennya.
Dave merasakan mata Rachel bergerak-gerak pelan. Perlahan kedua mata wanita itu terbuka.
"Selamat pagi," sapa Dave sembari tersenyum lembut.
Rachel ikut tersenyum membalas sapaan suaminya.
"Bagaimana tidurmu tadi malam? Nyenyak?"
Dave tertawa kecil mendengarnya. Lalu mengecup bibir Rachel dengan cepat. Semburat merah mendadak nampak di pipi istrinya.
Rachel terkikik pelan mendengar pertanyaan suaminya. Ia tidak menduga, Dave masih mengingat julukan yang pernah di berikan padanya. Julukan yang beberapa kali ia katakan di saat sedang kesal dengan tingkah menyebalkan lelaki itu. "Memang kamu si pirang rese. Rambutmu yang pirang di tambah kelakuanmu yang rese dan menyebalkan. Wajarlah kalau kamu ku panggil pirang rese," ledek Rachel menahan tawanya. "Mulai berani bertingkah kamu ya sekarang. Sudah tidak takut lagi rupanya. Mau tak jitak, hah?" Dave mendadak berkacah pinggang. Wajahnya sengaja ia buat segalak mungkin. Bukannya takut, Rachel malah tertawa melihat Dave yang terlihat berpura-pura marah. "Jangan di jitak, Dave. Nanti aku benjol. Kamu mau punya istri yang kepalanya benjol-benjol," kelit Rachel sembari nyengir polos. Dave menghela napas sebal sembari membuang muka. Malas menanggapi ucapan Rachel yang tidak masuk akal baginya. Menyadari wajah sang suami masih
"Mampir? Bukankah katamu tadi kita langsung pulang saja?" "Langsung pulang ya," ulang Dave mengikuti perkataan Rachel. Tubuh Rachel mendadak menegang saat Dave meraih pergelangan tangannya, menarik dan mendekatnya ke mulut lelaki itu. Tanpa diduga, Dave menciumi telapak tangan Rachel. Terlebih lelaki itu melakukannya tanpa melepas kontak mata, membuat pipi Rachel bersemu merah. "Apaan sih kamu, Dave? Aku malu tahu kalau banyak orang," tegur Rachel sembari mengalihkan pandangannya. "Oh. Jadi kamu nggak suka kalau ada banyak orang." Tangan Rachel masih di pegang oleh Dave. Lelaki itu seperti enggan melepasnya dan malah makin memperat genggamannya. "Kita cari tempat yang sepi, yuk." Rachel terbelalak. Matanya nampak terkejut mendengar ajakan lelaki itu. "Hah? Kamu bilang apa tadi? Ini masih sore, Dave. Nanti saja kalau sudah malam." "Kenapa harus tunggu malam? Saya tidak bisa menunggu lebih lama
Rachel memandang Dave dengan sorot mata yang kecewa. "Kenapa berhenti Dave?" lirihnya pelan. "Tidak... Tidak... Tidak boleh sekarang... Tidak boleh saat on banget begini," gumam Dave mendadak menjauhkan tubuhnya. Rachel menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi Dave. Mata keduanya yang saling bertatapan satu sama lain. Walau bibir tak berucap sepatah katapun namun pandangan mata wanita itu seakan berbicara. "Kamu tahu bukan kalau kita sudah lama tidak melakukannya. Saya mungkin akan kesulitan mengendalikan diri karena sudah lama menahannya. Saya akan berusaha tapi kalau dirasa...." Dave mendadak kesulitan mengutarakan kata yang tepat. Seakan memahami kegelisahan suaminya, Rachel mengulas senyum sembari mengangguk pelan. "Iya, Dave. Aku mengerti. Sama sepertimu, aku juga menginginkannya." Suara Rachel yang terdengar serak nan parau, menggoda hasrat Dave yang semakin meronta. "Saya ingin kamu bisa men
Tubuh Rachel serasa melayang di udara. Ia sudah tidak bisa merasakan tanah berpijak akibat tangan Dave yang mengendongnya. Refleks, ia mengalungkan tangannya di leher Dave agar tidak terjatuh."Hey, Turunkan aku. Kamu mau apa? Katanya mau main game. Ini masih pagi, Dave."Rachel mencoba mengantisipasi kemungkinan Dave mengerjainya dengan menanyai pertanyaan beruntut kepada lelaki itu."Gamenya di kamar, Sayang. Justru karena masih pagi, waktu bersenang-senang kita jadi bisa lebih lama."Setelah Dave membaringkan Rachel diatas ranjang, mereka berdua saling memandang satu sama lain tanpa berucap sepatah katapun. Dave menatap istrinya sambil senyum-senyum sendiri."Kenapa melihatku begitu?" tanya Rachel yang mulai risih dengan tatapan Dave.Dave hanya terkekeh pelan. Lelaki itu menyadari wajah Rachel yang nampak memerah saat ini."Biar tambah seru... Bagaimana kalau kita buat taruhan?" usul Dave nampak bersemangat."Ta
Dave menoleh sekilas ke Rachel. Kemudian beralih memandangi makanan yang ada di atas meja makan dengan mata berbinar-binar."Keliatannya enak nih," gumam Dave tidak menghiraukan sindiran Rachel.Rachel diam saja. Seolah tidak memperdulikan keberadaan suaminya, ia hanya mengambil makanan untuk dirinya sendiri.Dave menghela napas sembari melirik piring kosong di depannya. Lalu beralih menatap wajah Rachel yang cemberut."Kamu marah sama saya?" tanya Dave sembari menyendokkan nasi ke piringnya.Rachel menoleh sekilas. Dilihatnya Dave tengah memandangi wajahnya dengan dahi berkerut. Ia pun mengeleng pelan."Kalau enggak marah, kenapa mukamu ditekuk begitu?""Aku nggak marah kok. Cuma kesal saja.""Kesal kenapa? Kesal sama saya?" seloroh Dave menebak-nebak."Bukan. Aku kesal sama game yang kita mainin tadi."Dave mengeleng pelan. Ia jadi menyesal telah mengajak Rachel bermain game konsol. Jika tahu istrinya akan
"Cindy, kamu disini dulu ya. Kalau makannya kurang ambil saja sisanya di dapur. Mau bikin minum juga ada di dapur. Tinggal bikin saja—"Dave beralih menatap wajah Rachel."Hel, ikut saya sebentar ke dalam. Ayo!" ajak Dave seraya menarik tangan Rachel masuk ke kamar."Ada apa sih?" tanya Rachel begitu mereka berada di dalam kamar."Kamu gimana sih? Biarin Cindy gitu aja, menginap disini. Baju kamu masih di kamar sebelah semua bukan?" protes Dave menahan kesal.Rachel seketika menutup mulutnya karena tercengang."Oiya, aku lupa. Kita harus bagaimana ini, Dave? Enggak mungkin juga Cindy kita suruh tidur di sofa depan tv," celetuk Rachel terlihat panik."Mana saya tahu. Bantu saya mikir solusinya," ketus Dave terdengar sewot."Ini juga aku lagi mikir," timpal Rachel sembari mengigiti ujung kukunya.Dave menyeka wajahnya kasar. Ia melirik sekilas ke lemari pakaiannya."Begini saja. Pindahin baju-baju dan semua ba
"Dave..." Rachel menoleh ke samping, melihat kedua mata Dave telah tertutup rapat. "Sudah tidur ya?" "Hmm..." "Hebat ya. Katanya sudah tidur tapi masih bisa di ajak ngobrol," ledek Rachel sembari menahan tawanya. "Kalau tidak ada hal penting yang perlu di bahas, lebih baik tidur," tegur Dave. "Aku kepikiran soal yang tadi, Dave." "Yang mana?" tanya Dave yang masih memejamkan matanya. "Soal Cindy yang tidur di kamar sebelah." Seketika Dave menoleh saat mendengar nama adiknya disebut. Kedua matanya yang telah terbuka kini menatap tajam ke arah Rachel. "Kenapa? Kamu sekarang keberatan dia ada disini?" "Bukan begitu. Aku nggak keberatan adikmu disini, tapi apa harus sampai papah nggak boleh tahu begitu?" tanya Rachel hati-hati. "Ya, karena kalau papah tahu. Cindy pasti bakal dimarahi. Kamu tau sendiri bukan bagaimana kerasnya papah?" Rachel mengangguk. Sebenarnya ia tidak senang denga
Pertanyaan mendadak Dave membuat senyum cantik istrinya terlepas. Rachel memasang wajah datar, membuang muka saat Dave menatap lekat matanya."Bisa tidak kita tidak membahas itu dulu untuk saat ini?" Rachel nampak enggan menjawab pertanyaan suaminya."Sampai kapan kamu mau menghindar dan terus menunda-nunda?""Aku tidak menghindar, tapi menunggu waktu yang tepat.""Mau sampai kapan kamu mau terus menunggu? Sampai kau ikut terseret juga?" desak Dave terdengar kesal.Rachel sedikit kaget mendengar suara Dave yang agak meninggi. Lelaki itu tak sengaja melirik ke perut Rachel.Melihat keterkejutan di wajah istrinya, seketika itu juga Dave membuang muka. Lelaki itu mengambil napas panjang dan menghembuskan perlahan, sembari menetralkan emosinya."Apa lagi sih yang sedang kau tunggu? Kamu perlu uang tambahan? Apa uang bulanan yang selama ini saya kasih kurang? Jangan buat saya seakan tidak sanggup mencukupi semua kebutuhanmu."