Share

Dikhianati

Kana hanya menatap pria angkuh di hadapannya dengan sorot mata yang tajam. Wanita 21 tahun itu pun menyingkirkan telunjuk Ivander dari dagunya.

"Jangan sentuh aku!" sarkas Kana yang langsung memalingkan wajahnya. Ivander pun menyunggingkan senyumnya.

"Yah, sampai akhirnya kamu mengakui ucapanku barusan, 'kan?" tutur Ivander yang langsung menohok Kana.

"Pantas saja, Pamanmu membuangmu—"

"Paman tidak mungkin melakukan itu!" potong Kana sambil menatap Ivander dengan bola mata bergetar.

"Bibi ... Bibi mungkin membuangku, tetapi kalau itu Paman ...." Suara Kana tercekat.

"Paman tidak mungkin membuangku, apalagi menjualku ... tidak, itu tidak mungkin." Bulir-bulir bening mulai membasahi pipi Kana. Dia menutup wajahnya. Ia tidak mau ada orang yang melihat dirinya yang tak berdaya, sekalipun Kana memang tidak memiliki daya apapun.

"Itu kenyataannya, Sayang," ucap Ivander lagi yang memalingkan wajahnya dari Kana. Pria itu lebih memilih menatap keluar jendela dibanding menyaksikan isakan tangis wanita di sampingnya.

"Jangan bohong lagi ... Kau pasti berbohong," lirih Kana dengan suara yang begetar.

Ivander hanya menghela napas.

"Kau benar-benar keras kepala!" keluhnya yang atensinya beralih pada supir yang sejak tadi menunggu perintahnya.

"Jalankan mobilnya, Pak! Kita sama sekali tidak punya waktu lagi," titahnya. Pria paruh baya yang duduk di bangku supir pun menyalakan mobil dan menjalankannya.

Selama di perjalanan, diam-diam pria berambut klimis itu sesekali melirik ke arah Kana yang masih menutupi wajahnya. Ia kembali menghela napas panjang.

"Sebenarnya, aku menginginkan putri pamanmu," jujurnya yang seketika menghentikan tangisan Kana. Ia pun membuka tangan yang sejak tadi menutupi wajahnya.

"A-apa?"

"Yah, tetapi Pamanmu yang menolaknya dan mengusulkan dirimu untuk dijadikan sebagai penjamin hutangnya," cerita Ivander lagi seraya melirik ke arah Kana yang kini menatapnya.

"Tidak mungkin!" sahut Kana yang malah membuat pria berambut klimis itu geram.

"Dasar wanita keras kepala!" umpat Ivander yang langsung mengeluarkan ponselnya dari saku jaketnya. Ia mulai mengotak-atik layar ponselnya.

"Ini dia!" serunya yang menunjukkan layar ponselnya ke arah Kana. Itu adalah sebuah rekaman suara.

"Dengarkan ini baik-baik!" tekan pria itu yang menekan tombol putar.

[Baiklah, aku akan membayarkan seluruh hutangmu, tetapi aku menginginkan putrimu sebagai gantinya!] Terdengar suara dingin yang mirip dengan suara Ivander di audio rekaman tersebut.

[Ja-jangan, Tuan! Saya mohon jangan ambil putri saya!] Sontak mata Kana melotot, suara berat yang bergetar itu jelas adalah suara Pamannya.

[Lalu? Bukankah aku sudah bilang, aku butuh wanita berusia dua puluh tahun. Jika bukan putrimu, lantas siapa? Kau pikir, aku akan bersedekah denganmu? Asal kau tahu, aku tidak punya kemurahan hati seperti itu!] Suara Ivander kini terdengar sarkas. Kana pun meliriknya sambil diam-diam geleng-geleng kepala. Saat melihatnya pertama kali, Kana juga tahu kalau pria ini sama sekali tidak memiliki kemurahan hati.

[Ma-maka dari itu, Tuan. Jangan putri saya. Putri saya masih berusia delapan belas tahun. Dia juga masih SMA ...] Kini terdengar lagi suara sang Paman di audio rekaman itu.

[Lantas siapa? Jangan bilang, kamu mau menyerahkan istrimu!] tukas Ivander di remakan audio.

[Ti-tidak, Tuan! Mana mungkin!]

[Lalu, siapa? Memangnya kamu masih memiliki anak perempuan?] Seketika Kana menelan salivanya mendengar pertanyaan Ivander tersebut di audio rekaman.

[Y-ya ... Uhm, maksud saya, dia bukan putri kandung saya, tetapi keponakan saya. Namannya Kana. Kana Kemala. Usianya dua puluh satu tahun. Orang tuanya sudah meninggal. Dia sebatang kara. Orangnya baik, cantik dan pekerja keras ... dia juga—]

[Ya,ya,ya!] Di rekaman tersebut Ivander memotong ucapan sang Paman.

[Aku tidak butuh info tentang kepribadiannya. Kau hanya perlu—] Tiba-tiba Ivander menghentikan putaran audio rekaman itu. Sontak Kana menoleh ke arahnya.

"Kenapa dihentikan?" tanya Kana.

"Itu adalah transaksiku dengan Pamanmu. Kau hanya perlu mendengar bukti bahwa Pamanmu sendiri yang menyerahkanmu padaku!" tekan Ivander lagi sembari kembali menyimpan ponselnya di saku jaketnya.

Kana diam-diam menggigit bibir bawahnya. Ia sangat ingin memungkiri bahwa itu bukan suara Pamannya, tetapi logat bicaranya, suaranya, itu semua mirip dengan Pamannya.

"Kau pasti ingin menyangkalnya, toh Pamanmu sudah meninggal, bisa saja ini rekaman palsu," imbuh Ivander yang menarik atensi Kana. Reflek, Kana memegang lengan pria tersebut seraya menatapnya lekat-lekat.

"Apa ini rekaman palsu?" tanya Kana dengan pupil mata yang membesar. Namun Ivander menggeleng.

"Bukan. Pembicaraan ini aku rekam saat bertemu dengan Pamanmu pagi ini," jelas Ivander.

"Aku sengaja merekamnya untuk jaga-jaga jika sulit untuk membawamu dari keluargamu. Setidaknya ini adalah bukti, bahwa kau telah diserahkan padaku," lanjutnya lagi.

Kana hanya terdiam sambil mencengkram lututnya. Padahal ia baru saja mendengar ucapan terakhir sang Paman sebelum nyawanya dipanggil Tuhan. Namun ucapan yang keluar dari mulut pria yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri malah merupakan ucapan yang paling tidak ingin ia dengar.

Tanpa sadar, matanya mulai menggenang. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan segala emosi yang bergejolak dalam hatinya. Kata "Tidak Mungkin" masih menjadi senjata paling ampuh untuk menahan rasa sakit dalam dadanya untuk menerima kenyataan ini.

"Aku turut berduka cita atas kematian Pamanmu ..." ucap Ivander lagi dengan nada penuh empati. Kana dengan wajah penuh derai air mata kini menoleh ke arah pria itu.

"Aku tidak menyangka bahwa pertemuan hari ini adalah pertemuan terakhirku dengannya ..." tutur pria itu yang kini menatap ke arah Kana.

"Kau tenang saja, aku juga akan mengurus pemakamannya. Setidaknya, Pamanmu akan beristirahat dengan tenang," ucap Ivander lagi dengan lembut seolah berubah 180 derajat dari pria kasar yang tadi menyeret serta mencekiknya.

Namun Kana sama sekali tidak bisa bicara. Lidahnya kelu. Otaknya kosong. Ia sendiri bingung, banyak emosi yang kini berkecamuk dalam hatinya. Sedih, marah, kecewa, sakit hati. Padahal, seharusnya ia tenang. Setidaknya sang Paman akan mendapatkan tempat peristirahatan yang layak. Namun di sisi lain ada hal yang ia sadari, bahwa dulu atau pun sekarang, ia selalu sendirian tanpa ada tempat pulang atau pun sekedar bahu yang bisa jadi sandaran baginya.

"Jika kau patah hati sekarang, itu sudah terlambat ..." cetus Ivander yang membuyarkan lamunan Kana.

"Pa-patah hati? Apa maksudmu?" tanya Kana yang masih sesenggukan.

Pria itu melirik Kana.

"Yah. Aku tahu, kamu pasti merasa dikhianati oleh Pamanmu. Namun, itu sudah terlambat. Siapa saja akan merasa patah hati jika diperlakukan sepertimu, tetapi ..." Ivander menggantung kalimatnya.

"Daripada patah hati, sebaiknya kamu fokus pada apa yang harus kau lakukan setelah ini!" ucapnya sambil melirik Kana dengan sorot matanya yang dingin.

Sontak mata Kana membulat. Ia reflek memeluk dirinya sendiri.

"A-apa yang harus aku lakukan setelah ini?" panik Kana, tetapi ia langsung tertegun.

"A-apa ... Apa jangan-jangan kamu mau menjadikanku pemuas hasratmu setiap malam?"

Sontak hidung Pria itu berkerut.

"Pemuas— Ugh! Dasar! Orang rendahan, memang pemikirannya rendah!" hardik Ivander.

"Tentu saja bukan!" tekanya hingga Kana terkejap.

"La-lalu ... Apa yang harus aku lakukan setelah ini?"

Ivander menghela napas kasar seraya menoleh ke arah Kana yang masih menantikan jawabannya.

"Kau dengar sendiri di rekaman itu, 'kan bahwa aku butuh wanita berusia dua puluh tahun?" tanya Ivander yang langsung dijawab oleh anggukan kepala Kana.

"Itu karena aku butuh seorang istri!" ungkap Ivander yang membuat Kana mengerjapkan matanya sekali lagi.

"I-istri?" ulang Kana.

Ivander mengangguk.

"Ya dan itulah yang harus kau lakukan setelah ini! Menjadi istriku!" tekan Ivander yang langsung membuat Kana tercengang.

"A-apa? I-istri? Apa aku tidak salah dengar?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status