Revalina dan Felix sudah pergi meninggalkan kediamannya, sedangkan Vino malah kesiangan sehingga ia cepat-cepat keluar dari rumah itu membawa mobil. Di rumah lain, Santi juga kesiangan, ia takut akan telat masuk kampus. Vino membawa mobil tanpa memperhatikan sekitar sehingga tidak sengaja menabrak motor Santi. Santi terjatuh, kakinya tertimpa motor. Vino terkejut, ia tidak mungkin kabur karena jelas-jelas rumahnya dekat. Terpaksa pria itu turun dari mobil menolongnya. Kaki Santi keseleo sehingga kesulitan untuk berjalan. Vino menyimpan kendaraan tersebut di depan rumah Santi, sedangkan Santi bersandar di pagar. "Saya minta maaf, ini gak sengaja. Saya lagi buru-buru banget," ucap Vino pada Santi. Santi marah, buru-buru sih, tetapi jangan membuat orang lain celaka. Keselamatan itu nomor satu seharusnya Vino memikirkan hal itu, bukannya hanya memikirkan keterlambatan. "Ok, maaf. Saya ganti rugi untuk kerusakan motor kamu dan buat biaya kamu ke dokter," ucap Vino sambil memberikan be
Revalina berjalan menuju rumah Santi, langkahnya terhenti karena mendengar suara seseorang mengikuti. Ketika membalikkan badan benar saja, Felix berdiri tepat di belakang gadis tersebut. "Kok Bapak ada di sini?" "Memangnya kenapa? Kamu pikir jalan ini milikmu?" "Nggak gitu, Pak. Maksudnya, kan Bapak bilang gak perlu izin kalau saya mau ke rumah karena gak akan data orang yang menculik saya, tapi kenapa Bapak malah ikut sama saya?" "Saya bukan mengikutimu karena takut kamu diculik, tapi saya mau ketemu sama Santi dan keluarganya karena mau minta maaf atas nama Vino." Revalina bilang itu tidak perlu dilakukan oleh Felix karena Vini juga mau minta maaf ke keluarganya Santi. Siapa yang bilang? Felix tidak percaya, tetapi Vino berbicara dari belakang mengiyakan ucapan Revalina. Felix tidak berbicara, ia mau kembali ke rumahnya. Vino menarik tangan pria tersebut mengatakan untuk pergi bersamanya menjenguk Santi, Felix tidak mau karena tadinya juga ia mau pergi karena untuk mewakili Vi
Raisa menyandarkan kepalanya di bahu Felix, mereka duduk di bangku taman bercat putih pun Revalina duduk di bangku lain seorang diri. Raisa mengeluarkan ponselnya, menunjukkan beberapa foto mobil mewah model terbaru. Ia minta dibelikan mobil tersebut oleh Felix, tetapi Felix tidak setuju karena mobil itu sangat mahal. Raisa merajuk karena mana mungkin untuk calon istri Felix tidak memberikan apa yang diinginkannya. "Bukannya aku gak mau ngasih, tapi mobil ini mahal, kita bisa membangun rumah daripada beli mobil semahal ini." "Kamu itu punya banyak uang, kamu bisa beli mobil ini dan bisa bikin rumah juga. Lagian, nanti juga mobilnya bakalan dipake sama kamu juga." Felix menjelaskan kalau dirinya belum bisa membelikan mobil tersebut karena ia tidak bisa mengeluarkan sebanyak itu apalagi saat ini hak waris belum tentu menjadi miliknya, Felix takut jika hal waris itu tidak akan menjadi miliknya. Jadi, ia memilih menyimpan uang untuk masa depan. Raisa tidak mau mengerti karena ia yaki
Raisa minta pada Felix untuk membangun rumah atas namanya bukan atas nama Felix. Felix masih bingung akan hal itu karena semakin hari rasa yakinnya pada Raisa seperti perlahan-lahan memudar. Entah apa yang terjadi, tetapi Felix merasakan hal itu. "Aku pikir-pikir dulu, ya." "Kenapa harus dipikir-pikir dulu, sih? Aku, kan calon istri kamu ya gak apa-apa kalau rumah itu atas namaku." Felix tahu itu, tetapi ia belum memutuskannya untuk saat ini. Usai bertemu dengannya Felix pulang bersama Revalina. Tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulut pria tersebut, Revalina merasa kalau Felix sedang banyak pikiran. Namun, Revalina enggan untuk bertanya karena terlalu takut mengganggunya. Setibanya di rumah, Revalina minta Vino untuk menemani Felix mungkin pria itu ingin mencurahkan isi hatinya. Revalina pikir jika semua yang dirasakan terlalu lama dipendam sendiri itu akan berbahaya juga. Sesuai ucapan Revalina, Vino naik ke lantai atas di mana Felix sedang duduk melamun di bale-bale la
Felix mendekati Revalina yang sedang duduk di sofa tempatnya tidur. Pria itu berdiri tepat di hadapan gadis tersebut, Revalina menengadah melihat wajah pria, lalu menunduk. "Lihat wajah saja," titah Felix. Revalina kembali menengadah, Felix bertanya apakah benar Revalina yang mengirim Vino untuk menanyakan keadaannya? Revalina mengangguk pelan dengan raut wajahnya yang mulai ketakutan. "Kalau kamu tahu tentang keadaan saya, kenapa gak kamu sendiri aja yang nanya ke saya?" "Saya gak mau menganggu Bapak, kemungkinan Bapak juga gak akan cerita sama saya jadi lebih baik saya kasih tahu Vino karena dia lebih dekat dengan Bapak daripada saya." "Terus saya harus bilang makasih karena kamu mengirimkan Vino menjadi teman curhat saya?" Revalina menggelengkan kepalanya, ia semakin merasa selalu saja salah di mata Felix. Semua hal yang dilakukan Revalina untuknya seperti hanya sia-sia saja karena Felix jarang menghargai Revalina. Felix minta Revalina lain kali tidak perlu mengirimkan siapap
Di dalam rumah, Raisa sangat resah. Ia benar-benar bingung karena hari ulang tahunnya akan segera tiba. Ia ingin mengadakan pesta ulang tahun yang meriah, mana mungkin ulang tahunnya tidak ada pesta. Namun, bagi Raisa percuma saja jika pesta diadakan semeriah mungkin karena Felix tidak akan datang ke acara tersebut. Sebab, pria itu tidak mau ada banyak orang yang melihatnya bersama dengan Raisa, nanti bisa dianggap selingkuh dengannya jika sampai orang yang dikenal melihatnya. Akan tetapi, jika tidak ada pesta yang meriah apa kata teman-temannya nanti? Apa mungkin Raisa tidak punya uang untuk menggelar pesta ulang tahunnya? Mungkin gadis itu sudah jatuh miskin sehingga tidak mampu mengadakan pesta seperti tahun-tahun sebelumnya? Tentu saja Raisa tidak ingin mendapatkan pertanyaan seperti itu. Raisa sempat menceritakan kebingungannya pada sang Ibu, tetapi sang Ibu menyarankan agar pesta tatap ada walaupun tanpa kehadiran Felix, katakan pada semua tamu kalau kekasih Raisa sedang ada
Sehari sebelum ulang tahun Raisa, Felix datang ke rumahnya memberikan kado istimewa padanya. Kotak kecil berwarna biru muda yang diikat pita diterima oleh Raisa. Wanita itu menimang-nimang kado yang cukup kecil nan ringan. Raisa membuka kado tersebut yang ternyata isinya adalah kunci mobil. Raisa bertanya apakah ini serius? Tentu Felix mengangguk. Raisa memeluk Felix dengan erat saling senangnya, Felix hendak membalas pelukan gadis itu, tetapi pelukannya malah dilepaskan oleh Raisa. Raisa menarik lengan Felix untuk melihat mobilnya. Felix tidak berbicara, hanya ikut saja dengannya keluar rumah karena memang kendaraannya dibawa ke sana. Raisa langsung berlari-lari mengusap-usap dan memeluk kendaraan yang sangat diinginkannya. Tidak lupa ia juga mencoba kendaraan tersebut tanpa mempedulikan siapa yang memberikannya. Di mobil lain, Revalina hanya memperhatikan saja dari dalam. Sebagai sesama wanita, itu merasa kalau Raisa tidak mencintai Felix, tetapi hanya mencintai hartanya saja. Te
Menjelang pagi tiba, Revalina sudah ada di dapur. Felix yang baru saja bangun pun melihat ke arah kasur di mana Revalina sudah tidak ada di sana. Felix mencarinya ke kamar mandi, tetapi tidak ada juga. Ia yakin gadis itu ada di lantai bawah karena setiap pagi Revalina selalu tidak ada. Setelah bersiap-siap, Felix turun dari tangga, benar saja yang dipikirkannya Revalina sudah ada di dapur sedang menyiapkan sarapan. Felix menegur Revalina, seharusnya tetap berada di kamar karena sedang sakit. Revalina merasa Felix itu aneh, entah sejak kapan Felix melarangnya ke dapur hanya karena sakit. "Saya baik-baik aja, kok." Anggota keluarga lain pun datang untuk sarapan, sehingga Felix tidak lagi berbicara dengan Revalina. Setelah sarapan selesai, mereka pun pergi ke kantor. Sebenarnya, Felix minta Revalina untuk tidak ikut ke kantor, tetapi gadis itu tetap mau ikut karena dirinya baik-baik saja. Revalina merasa kalau dirinya tidak ikut ke kantor akan menimbulkan pertanyaan aneh dari Vina. L