Share

Bab 2 Ajakan Tuan Paul

Paul mengarahkan tangannya untuk memberi petunjuk pada Sierra agar mengikuti langkah kakinya. Sierra tidak bisa berkutik, selain menuruti permintaan Paul. Paul Pandia, ayah Martin sekaligus pemilik panti asuhan tempat Sierra tinggal hampir 30 tahun. Paul adalah seorang konglomerat yang kewibawaannya sudah dikenal di kalangan para pebisnis, dan itu juga diamini oleh Sierra yang pernah bekerja dua tahun dengan pria tua itu. Namun atas desakan Martin–yang baru saja diserahkan bisnis perusahaan cabang oleh Paul maka Sierra setuju untuk pindah ke perusahaan Martin, demi rasa cintanya yang teramat dalam.

"Kamu sudah makan malam?" tanya Paul, terus berjalan dengan langkah tegap namun tenang di depan Sierra.

Sierra ingin menggeleng, tapi dia tidak akan bisa makan dengan tenang. Namun mengangguk pun juga bukan solusi yang baik, karena dia sangat kelaparan. Menangis cukup menguras habis tenaganya.

"Si?" panggil Paul, spontan berhenti dan menoleh ke belakang menghadap Sierra.

Tampak beberapa meter di depan mereka, mobil sedan hitam milik Paul sudah diparkir di depan pintu masuk kantor dengan Lukman–sang asisten berdiri di depannya. Lukman mengangguk saat melihat Paul meski pria tua itu belum mendekat.

"Si, kamu belum menjawab pertanyaanku," ulang Paul karena Sierra mendadak diam.

Sierra salah tingkah. Dia cepat-cepat tersenyum demi menutupi kegugupannya. "S-saya … sudah makan malam, Tuan," jawab Sierra bohong.

Paul pun mengangguk, lantas melanjutkan perjalanannya mendekati mobilnya. Lukman segera membukakan pintu belakang untuk Paul. Sedangkan Sierra mulai membuka pintu depan, di samping Lukman yang memegang kemudi.

"Si, kenapa kamu duduk disitu?" tegur Paul, menahan agar Lukman tidak buru-buru menutup pintu.

Sierra berdiri keheranan, memandang Paul dan pintu depan mobil bergantian. "Maksud Anda?"

"Aku menyuruhmu menemaniku malam ini, jadi kamu harus duduk di sampingku," ucap Paul dengan nada yang tegas namun lembut di satu waktu.

Lukman tampak terkejut. Dia sekilas memandang Sierra, bertukar tatap dengan wanita itu. Keduanya seakan tengah terlibat percakapan dalam batin. Namun demi menuruti perintah sang bos, Sierra akhirnya menurut. Dia duduk di samping Paul, dengan jantung yang berdegup sangat kencang.

Sierra bisa mencium wangi mewah dari parfum yang menempel di pakaian Paul. Wangi yang lembut namun cukup candu. Berbeda dengan Martin yang hanya sesekali bisa dia cium aroma parfumnya. Karena terlalu fokus pada indera penciumannya yang terus menghirup aroma tubuh Paul, Sierra sampai tak sadar jika pria tua itu terus meliriknya dengan tatapan dalam.

"Kamu memikirkan sesuatu, Si?" tanya Paul, penasaran dengan apa yang ada di pikiran Sierra.

Sierra gelagapan. "T-tidak ada, Tuan," jawabnya gugup.

Paul manggut-manggut. Lantas membuang muka menatap pemandangan diluar jendela. Malam semakin larut dan tenang, tanpa banyak kendaraan lalu-lalang. Hingga Sierra mulai menyadari kalau kendaraan Paul makin menjauh dari pusat kota. Dia ingin bertanya, tapi selalu tertahan di langit-langit mulutnya karena segan pada Paul.

Hanya Sierra saling tatap dengan Lukman melalui spion tengah untuk mencari jawaban, tapi tentu saja Lukman tidak tahu apa yang dimaksud Sierra. Sebagai cara satu-satunya untuk menemukan jawaban adalah Sierra mengamati setiap tempat yang mereka lewati, lalu menyusun rangkaian puzzle di kepalanya. Kemudian Sierra tersadar, bahwa Paul tengah menuju vila pribadi miliknya yang terletak di pinggir kota, berbatasan dengan teluk kecil. Sierra tahu vila itu, karena saat masih bekerja sebagai sekretaris Paul, Sierra sering ditugaskan untuk mengantar tamu asing menginap di sana.

"Kamu masih ingat kita mau kemana, Si?" tanya Paul seakan bisa membaca gelagat Sierra.

Pelan-pelan Sierra mengangguk. "Apakah ini jalan menuju vila anda, Tuan?"

Seutas senyum terulas di bibir Paul. "Kamu memang wanita cerdas dengan ingatan kuat, Si. Tidak salah aku memilihmu," puji Paul.

Memilih? Sierra bertanya dalam hati. Dia sudah tidak lagi bekerja untuk Paul jadi apa maksud dari memilih? Sierra bertanya-tanya terus dalam hatinya dan tentu tidak menemukan jawaban.

Setelah perjalanan selama kurang lebih satu jam, akhirnya tibalah mereka di vila yang dimaksud. Vila yang cukup besar, bisa menampung sekitar tujuh orang bersamaan, dengan tiga kamar tidur dan tiga kamar mandi yang luas. Sierra selalu takjub meski dia sudah pernah datang ke vila itu sebelumnya.

Lukman mulai membukakan pintu untuk Paul dan Sierra memilih membuka sendiri pintunya. Udara malam dari teluk yang indah seketika menerpa wajahnya, merasuki otak dan hati Sierra yang sempat suntuk dan sedih karena menjadi saksi lamaran Martin untuk Elisha. Paul berdiri di samping Sierra, melirik wanita itu dengan senyum.

"Kamu suka berada disini, Si?" tanya Paul.

Tanpa sadar Sierra mengangguk. Dan itu membuat Paul makin tersenyum lebar penuh kepuasan. Sementara mereka berdua menikmati keindahan teluk di halaman vila, Lukman mulai memerintahkan dua pembantu yang ditugaskan untuk membersihkan vila itu untuk segera meninggalkan vila setelah pekerjaan mereka selesai.

Sierra menatap penuh bingung lantaran dua pembantu itu pamit pulang kepada mereka berdua. "Tuan, bukankah mereka ditugaskan menjaga vila ini? Kenapa mereka pulang?" tanya Sierra heran.

Paul saling tatap dengan Lukman, seakan terlibat pembicaraan dalam batin. Kemudian pria tua itu mengisyaratkan Lukman untuk menyusul dua pembantu sebelumnya. Tanpa perlu diperintah dua kali, Lukman mengangguk dan mengucapkan pamit baik pada Sierra atau Paul.

"Saya akan kembali esok pagi, Tuan," ujar Lukman.

Paul mengangguk dan Sierra semakin bingung. Namun tidak ada yang bisa dia lakukan, ketika mobil Lukman mulai beranjak pergi, meninggalkan Sierra dan Paul berdua saja di vila besar nan sepi itu.

"Tuan, kenapa … "

"Apakah sekarang kamu sudah merasa nyaman?" potong Paul, tak memberi kesempatan Sierra untuk menyelesaikan ucapannya.

Sierra tidak bisa menjawab karena jantungnya makin berdebar kencang. Maka Paul pun mengambil alih, dengan menuntun langkah Sierra untuk masuk ke dalam vila itu. Di dalamnya sudah sangat rapi, dengan aroma difuser yang segar seperti angin laut dan makanan berlimpah. Perut Sierra mulai meronta kelaparan saat melihat makanan itu terhidang menggiurkan di atas meja makan.

"Aku tahu kamu bohong," ujar Paul. "Kamu belum makan malam, kan?" tebak Paul dengan mata menyelidik.

Sierra seakan tengah diinterogasi. Tak ada yang bisa dia lakukan selain mengangguk patuh dihadapan Paul Pandia yang berkuasa.

Tawa renyah keluar dari mulut Paul. "Kenapa kamu tidak jujur saja kalau belum makan, Si?"

"S-saya tidak ingin Tuan menunggu," kilah Sierra membela diri.

Paul makin tertawa. Tapi tawa itu hanya berlangsung singkat, karena nyatanya kini Paul justru menuntun langkah Sierra untuk duduk di depan meja makan.

"Makanlah sepuasmu, Si," pinta Paul.

"Terimakasih, Tuan Paul," Perlahan Sierra mulai mengambil satu-persatu makanan yang terhidang, agar bisa dia cicipi semuanya dengan porsi kecil.

Paul tersenyum memandangi Sierra. "Kalau begitu aku mandi dulu," tukasnya. Tiba-tiba dia menarik cepat kursi Sierra agar makin dekat padanya. "Setelah selesai makan, kamu datang ke kamarku," bisik Paul, sangat dekat di telinga Sierra.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status