Yunita tersenyum malu-malu, dia memang mengaku sebagai Vita. Bukan nama palsu, tetapi diambil dari nama belakangnya—Yunita Pusvitasari."Kamu lebih tampan dari pada di foto, Mas," kata Yunita dengan senyum nakal. "Keliatan lebih muda juga.""Ah, kamu bisa aja. Biasa aja, kok," sahut Aldi enteng. "Eh, beneran aman kan kita ketemuan? Aku khawatir kamu udah ada yang punya, ntar tau-tau kita digerebek padahal aku udah jauh-jauh dateng dari Jakarta, sampe relain—""Udah tenang aja, Mas," potong Yunita buru-buru, suaranya berubah sedikit sendu. "Kan aku bilang kalau aku janda udah dua tahun. Suami dan anakku meninggal kecelakaan, makanya aku baru bisa buka hati lagi buat laki-laki lain. Aku terlalu cinta sama suamiku, sampe nggak rela gantiin posisi dia sama laki-laki lain. Tapi untungnya temenku pada ngingetin kalau aku harus bangkit dan buka hati lagi, kalau—""Jangan sedih, Vit," tukas Aldi sambil mengusap-usap bahunya. "Aku udah sering denger kamu cerita di telepon sambil nangis. Makanya
Samuel langsung menelpon sang istri, panggilan tersambung, tetapi tak kunjung dijawab. Dengan langkah malas dia mengambil rokok dari saku jaket, air wajahnya bertambah masam saat menyadari rokoknya habis."Al, Papa tolong beliin rokok dong," kata Alfian sambil mengambil dua lembar uang seratus ribuan dari dompet dan keluar dari kamar.Sambil mengunyah makanan, Alfian mengulurkan tangan untuk mengambil uang yang disodorkan papanya. "Rokok apaan, Pa? Rokok mentol mah nggak ada di warung mang Iyan.""Itu mah rokok si mama," kata Samuel. "Beliin Garpit—Gudang garam filter, satu slop. Di warung depan rumah aja, jangan jauh-jauh.""Alfian mau jajan sekalian, ya?" kata Alfian dengan mulut masih tersumpal makanan. "Tapi di warung mang Iyan di depan rumah mah nggak ada es krim. Jadi mau di warung si Ucok aja.""Kejauhan, Al," kata Samuel sambil memberengut. "Lagian di warung itu mah kamu harus nyebrang jalan raya. Ntaran aja kalo mau beli es krim mah kita supermarket. Jajan yang lain aja dulu."
"Jadi kamu nggak bisa nginep nemenin aku, Vit?"Yunita buru-buru mengenakan pakaiannya setelah melewati pergulatan luar biasa dengan Aldi untuk ketiga kalinya, dan sekarang waktu menunjukkan hampir pukul lima sore. Jadi, dia tak bisa mengulur waktu lagi, atau membuat Samuel semakin curiga. Terutama setelah tadi siang dia tak menjawab telepon dari suaminya."Nggak bisa, bapakku bisa ngamuk kalau tau aku keluyuran malem-malem." Entah untuk keberapa kalinya dia berbohong pada pria itu, hanya agar pria itu percaya bahwa dia seorang janda rumahan. "Tapi besok pagi aku dateng ke sini lagi kalau bapakku udah berangkat kerja.""Ah, aku pilih pulang aja deh kalau kamu emang nggak bisa nginep." Aldi mendesah sambil mengenakan pakaiannya yang menumpuk di sofa. "Nanti aja kalau kamu bisa nginep, aku sempetin dateng lagi ke sini."Ketika Yunita mengangguk sambil bercermin dan memulas lipstik di bibirnya, Aldi menambahkan, "Vit, serius nih aku nggak perlu ganti uang bekas bayar kamarnya?""Udah, ng
"Siapa tadi nama kakaknya?" tanya Samuel."Irwan."Begitulah jawaban singkat Anji, salah satu karyawan yang bekerja untuk Samuel —sekaligus germo yang menyediakan berbagai tipe wanita untuk tamu, atau wisatawan yang tengah berlibur atau sekedar menginap di kawasan itu.Awalnya, Samuel memanggil Anji hanya ingin bertanya di mana rumah Annabelle. Samuel memang pernah mengantarkan Annabelle pulang, tetapi dia tentu tidak tahu dengan detail di mana pastinya rumah wanita itu.Setelah Anji datang dan Samuel berpikir bagaimana menjalankan rencananya, alih-alih mendatangi rumah Annabelle, Samuel justru menyelidik karyawannya itu—mencari informasi lebih banyak tentang Annabelle. Lalu, Samuel mengetahui bahwa Anji dan Annabelle tinggal di kampung yang berdekatan. Hanya berbeda RT, tetapi tetap satu RW.Jadi, dengan sedikit sogokan dari Samuel, Anji membeberkan semua yang dia ketahui tentang Annabelle. Samuel memang mengetahui bahwa Annabelle menjadi pekerja seks komersial karena terdesak utang
"Mabok Tupperware kali, Ma," gumam Samuel acuh tak acuh sambil mengganti pakaian dan melempar pakaian bekas ke keranjang cucian, lalu keluar dari kamar.Samuel tahu bahwa Yunita beringsut turun dari tempat tidur. Dengan ekor matanya, Samuel mendapati gerakan Yunita tampak terlihat lemah. Biasanya, jika sudah melihat Yunita seperti itu, Samuel akan langsung menggendong dan membopong wanita itu. Namun, kali ini Samuel memilih untuk mengabaikan Yunita, karena tahu wanita itu hanya bersandiwara.Ketika Samuel tiba di dapur dan hendak membuat kopi bagi diri sendiri, Yunita yang mengikuti dari belakang tiba-tiba berkata, "Mama nggak masak, badannya sakit semua soalnya, si Alfian aja mama suruh beli bakso dibening buat—""Nggak aneh kalau kamu nggak masak. Waktu sehat aja nggak masak, apa lagi sakit kayak gitu," tukas Samuel sambil menuang air panas ke dalam cangkir berisi kopi. "Baru tau kalo uang belanja tujuh juta sebulan cuma cukup buat beli telor sama mie, nggak ada bedanya sama uang be
Annabelle akhirnya meminta bantuan Samuel agar menghadapi orang bank yang datang ke rumahnya, karena kedua orangtuanya yang sudah berusia hampir enam puluh tahun itu sudah terguncang mendengar kabar rumahnya akan disita.Annabelle bukan tidak memiliki saudara selain kakak lelakinya yang kini sedang bekerja di Jakarta, tetapi dua kakak perempuan lainnya tinggal bersama suami mereka, dan jaraknya tak bisa ditempuh dengan waktu satu atau dua jam.Elli, kakak keduanya tinggal di Jawa bersama sang suami dan anak-anaknya. Sementara Hani, kakak ketiganya ikut merantau ke Lampung bersama suaminya, dan Annabelle tahu bahwa keadaan ekonomi dan komunikasi keluarganya sangat terbatas.Bahkan, sudah hampir satu tahun mereka tak datang berkunjung, dan itu pasti lagi-lagi karena besarnya biaya ongkos yang harus mereka keluarkan. Jadi, semenjak Annabelle menjanda, dialah yang paling tua di antara kedua adik perempuan dan satu adik laki-lakinya.Meski baru dua kali bertemu dengan Samuel, tetapi Annabe
"Bismillahirrahmanirrahim."Malam itu, Pak Yunus—bapak Annabelle mengawali ucapannya sambil berjabat tangan dengan Samuel di hadapan beberapa saksi."Yaa Samuel Khadafi bin Rifan Atmaja, saya nikahkan engkau dan kawinkan engkau dengan pinanganmu, putri kandungku Annabelle Maisara, dengan mas kawin satu juta rupiah dibayar tunai.""Saya terima nikah dan kawinnya Annabelle Maisara binti bapak Yunus dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.""Bagaimana para saksi?" tanya si penghulu sambil menoleh pada empat orang yang menyaksikan jalannya pernikahan siri tersebut. "Sah?""Sah!""Sah!""Sah!""Alhamdulillah."Samuel memang berencana menikahi Annabelle dan menjadikan wanita itu sebagai istri mudanya, apa pun caranya. Namun, dia tak menduga bahwa pernikahan akan dilangsungkan pada hari itu juga, tepat setelah percakapannya dengan Annabelle tak sengaja didengar oleh orang tua wanita itu.Jadi, ketika orang tua Annabelle menyelidik seberapa jauh hubungan mereka, Samuel dengan terang-terangan m
"Jadi, Nak Samuel," bapak Annabelle menambahkan sambil menatap Samuel penuh harap. "Biar Annabelle berkelakuan buruk sekali pun, tapi dia anak Bapak. Sekarang kamu suaminya, kamu berhak bawa Annabelle dan ngedidik dia dengan cara baik-baik. Tapi, bapak mah khawatir istri kamu tahu kalau kamu udah nikah, terus datang nyamperin Annabelle. Pan nggak mungkin kamu belain Annabelle yang belum ketahuan bakalan berjodoh panjang apa nggak sama kamu …""Tapi, istri kamu kan udah ke uji," lanjut bapak Annabelle pahit. "Pan kamu bilang udah nikah hampir sepuluh tahun. Itu berarti istri kamu sabar, tapi belum tentu bisa sabar kalau dia tau dimadu. Jadi, walaupun kita baru aja ijab kabul dan Annabelle menjadi tanggung jawab dan hakmu sebagai suami, tapi bapak cuma mau minta, kalau Annabelle mending tinggal di sini dulu aja, khawatir—""Tapi, Pak," potong Samuel, menahan diri agar tak memekik, terutama ketika tenggorokannya terasa dicekik akibat kata-kata terakhir yang diucapkan bapak Annabelle. "Aku