Kilau cahaya mentari menerpa kelopak mata Neya, membuat wanita itu perlahan membuka matanya. Namun, saat menyadari jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi, seketika Neya merasa kesal pada dirinya sendiri. Malam ini, untuk pertama kali Elvan menghabiskan malam bersamanya, akan tetapi Neya sudah bangun kesiangan seperti ini. Apalagi saat tidak mendapati Elvan di ruangan tersebut. Dia tidak ingin, Elvan mengira dirinya istri yang malas."Astaga, apa yang aku lakukan? Kenapa malah bangun kesiangan gini sih? Jangan-jangan Mas Elvan pergi lagi karena illfeel punya istri kaya aku." Neya menghela napas, wajahnya ditekuk, sembari mengingat kejadian tadi malam yang membuatnya tidak bisa tidur karena terlampau asyik menatap suaminya yang sedang terlelap.Meskipun jarak usianya dengan Elvan, sangatlah jauh. Akan tetapi bagi Neya, suaminya tampak begitu menarik. Laki-laki dewasa itu terlihat begitu matang, dan memiliki aura yang sangat sulit Neya tepis untuk berhenti mengagumi. Apalagi, suar
"Apa?" Vera memiringkan kepala, seraya mengerutkan keningnya. Elvan pun mengangguk."Iya Ma, dia istri keduaku, namanya Neya. Saat ini, dia sedang mengandung anak kami.""Dari keluarga mana?" sahut Vera beberapa saat kemudian, setelah cukup lama terdiam, dan berhasil menata kembali hatinya untuk menerima kenyataan yang dia hadapi."Orang tuanya ada di desa, Ma. Di daerah perkebunan.""Pemilik perkebunan?" Elvan menggeleng. "Cih, apa kau sedang becanda? Elvan, mama tidak mempermasalahkan pernikahan keduamu ini, karena mama pun juga tidak yakin dengan Aileen. Tapi, seharusnya kau juga berpikir tentang asal usul wanita yang kau nikahi, kau jangan sembarangan dalam mengambil keputusan. Apa kau lupa, anakmu adalah calon pewaris keluarga kita dan kau tidak boleh bertindak asal seperti ini!'Elvan menggenggam tangan Vera. "Ma, tolong terima Neya, saat ini dia sedang mengandung anakku, cucu mama. Mama menginginkan cucu, 'kan?" "Iya, tapi tidak dari rahim wanita kampung seperti itu! Bisa-bis
Neya masih terdiam sembari menatap Vera dengan tatapan penuh tanda tanya. Dia memang belum bisa sepenuhnya mencerna apa yang dikatakan oleh mertuanya itu. Neya mengerti jika Vera mengajaknya bekerja sama, tapi kerja sama apa yang dimaksud oleh Vera, Neya belum bisa sepenuhnya memahami itu."Kenapa kamu diem? Kamu takut Elvan masuk ke ruangan ini? Kamu tenang aja, mama sudah menyuruhnya pergi keluar membeli buah-buahan untukmu. Mama sengaja melakukan itu agar kita bisa bicara berdua. Jadi, bagaimana penawaranku?""Sa-saya ....""Tak usah berpura-pura Neya, aku tahu kalau putraku Elvan pasti masih mengutamakan Aileen, karena itulah aku di sini untuk menawarkan kerja sama agar Elvan bisa sepenuhnya memberi perhatian padamu. Dan kau juga harus tahu, kalau aku melakukan semua ini bukan untukmu, aku memang belum bisa menerimamu sebagai menantuku, tapi aku melakukan semua ini demi cucuku. Aku tidak mau menambah beban pikiranmu yang bisa berdampak buruk bagi kesehatan cucuku."Neya mengangguk
Membaca pesan yang dikirimkan Neya, Vera menggelengkan kepalanya lalu menatap Elvan dan Aileen secara bergantian. Sebenarnya, wanita itu cukup terkejut dengan keberadaan Elvan pagi ini di rumah tersebut, dan ketika dia menanyakan hal itu, putranya hanya menjawab jika tadi malam Aileen menghubunginya karena sakit perut. Lagi, dan lagi Aileen selalu saja menjadi penghalang rencananya, begitu yang ada di dalam benak Vera.Wanita paruh baya itu menghela napas seakan melepaskan rasa penat di dada, lalu beranjak dari meja makan menuju ke kamarnya untuk menghubungi Neya, meninggalkan Aileen dan Elvan yang sedang asyik bercengkrama sembari menyantap sarapan paginya. Setelah Vera masuk kamar, Aileen tersenyum kecut.Vera beberapa kali menghubungi Neya, tetapi wanita itu tak menjawab panggilan darinya. Hingga hampir lima belas menit lamanya, sebuah suara yang terdengar begitu putus asa, terdengar di ujung sambungan telepon itu. Dari suaranya saja, Vera bisa menebak bagaimana perasaan Neya.[Halo
"Kamu ngomong apa, Ney?" tanya Elvan yang tidak mendengar apa yang dikatakan Neya saat dia fokus mengobati luka wanita itu."Oh nggak Mas, aku cuma berharap kalo anak ini ganteng." Neya meringis disertai gelagat canggung, namun tak mampu mengalihkan atensinya dari wajah Elvan."Oh iya Ney, aku juga berharap kalo anak itu cowok. Emh, ini lukanya udah selese aku obati, nanti biar aku aja yang ambil adonan kue-nya di oven ya.""Nggak usah, Mas. Biar Bi Murni aja."Elvan mendongak, lalu menatap Neya yang saat ini duduk di depannya. Dan dia baru menyadari jika jarak mereka kini sangat dekat. Elvan menatap Neya lekat. Situasi itu, membuat netranya sangat sulit dia alihkan dari Neya.Hari ini, wanita itu hanya memakai daster berbahan satin warna cream, rambutnya dia cepol asal ke atas, tanpa make up di wajah, hanya sekedar pelembab bibir dengan aroma strawberry yang menyeruak ke hidung Elvan, alisnya yang sedikit lebat bak semut berbaris disertai hidung mungil yang mancung seakan terpahat se
[Kau tidak sedang berbohong, 'kan?][Untuk apa saya berbohong, Nyonya. Memang saya belum tahu di mana pastinya keberadaan gadis itu, tapi sekitar satu bulan yang lalu, gadis itu pergi ke Jakarta, lalu mengalami kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit oleh orang yang menabraknya. Tapi, saya tidak tahu identitas penolongnya karena pihak rumah sakit tidak mau membocorkan identitas penolong tersebut.][Lalu, setelah kecelakaan itu, dia pergi ke mana?][Itu yang masih saya selidiki, Nyonya. Karena tidak ada informasi apa pun setelah itu.][Dasar bodoh, kenapa kau memberi informasi setengah-setengah seperti ini?][Maaf Nyonya, tapi setidaknya Nyonya harus tahu informasi ini, kalau saat ini dia berada di kota yang sama dengan Nyonya. Jadi, kita bisa lebih fokus mencarinya di sekitar ibu kota.][Kau benar juga. Kalau begitu, lebih baik kau selidiki siapa yang menolong gadis itu, karena aku yakin dia pasti ada bersama orang yang menolongnya.][Baik Nyonya.]Aileen menutup telepon tersebut seraya
Elvan dan Neya memelototkan matanya mendengar perkataan Rere yang kini menatap mereka berdua dengan tatapan penuh tanda tanya."Emh begini Re, tadi Om Elvan salah ngomong. Aku sebenernya keponakan Tante Aileen, bukan istrinya. Mungkin dia spechless ketemu kamu sampe ngiyain kalo aku istrinya. Padahal, maksud dia itu aku keponakan istrinya," sahut Neya dengan entengnya, tanpa rasa gugup sama sekali. Elvan pun ikut mengangguk disertai senyum canggung."Oh kirain kamu itu istrinya Om Elvan.""Bikan Re, namaku Neya.""Tante Aileen sama Oma Vera lagi pergi ke Anyer. Jadi aku suruh nemenin Neya karena orang tuanya lagi di luar negeri," jelas Elvan.Rere membulatkan mulutnya, sedangkan Neya tersenyum, sembari melirik Elvan yang kini masih terlihat salah tingkah. Tentunya masih tersirat kecemasan di wajah pria itu, meskipun Rere tampaknya sudah percaya dengan penjelasan mereka."Oh ya udah kalo gitu, aku mau nonton dulu ya. Udah ditunggu tuh sama temen-temen.""Iya Re, hati-hati. Jangan pulan
Sudah hampir satu minggu lamanya, Elvan tinggal bersama Neya. Dan selama itu juga, interaksi dia dan Aileen sedikit terbatas. Aileen saat ini begitu sibuk dengan resort miliknya. Dalam benak wanita itu, dia ingin menunjukkan yang terbaik pada Vera agar mertuanya itu terus mempercayakan kepemilikan resort itu padanya. Dan juga agar mertuanya, tidak terus menerus menanyakan tentang keturunan, karena bagi Aileen, memberikan keturunan pada Elvan adalah suatu hal yang mustahil.Akan tetapi, hal itu tidak diketahui oleh Elvan. Aileen selalu sukses menutup kekurangannya itu dengan memanfaatkan cinta Elvan yang begitu besar padanya. Dan tentunya, Elvan tidak menyadari hal tersebut. Tak terkecuali Vera, wanita paruh baya itu sudah menaruh curiga dengan gelagat yang ditunjukkan oleh Aileen yang terus menerus menolak untuk memeriksakan kesehatan rahimnya ke dokter. Dan setelah Vera tahu jika ada wanita lain yang mengandung anak Elvan, wanita paruh baya itu tak mau membuang-buang kesempatan untu