Mulut pembantu sampai berteriak sedang netra Aruna mengecap gila pada Yuda yang baru saja berdiri di hadapan taksi. Sopir taksi begitu cekatan menginjak rem hingga tak sempat terjadi kecelakaan, meski sopir ini menunjukkan ekspresi kaget.
"Apa kau bosan hidup!" seru sopir taksi terlihat kesal.Yuda menunjukkan tangan, meminta kesempatan untuk bicara. Sopir taksi mendengkus kesal, tapi sedikit menepi. Pembantunya langsung menghalangi Yuda yang membuka pintu dan melongok ke dalam."Aruna," sebut Yuda menunjukkan raut seolah menemukan mainan lama.Pembantunya menjadi marah. "Siapa yang kau sebut Aruna! Lalu kenapa kau tidak sopan--"Kepala Aruna menoleh dan netra membingkai tangan Yuda yang membungkam mulut pembantunya. Kemudian menarik paksa tangan Aruna hingga keluar dari taksi."Kau gila!" serunya sembari berusaha memberontak.Yuda mendorong tubuhnya hingga membentur pintu taksi. Akses keluar yang tertutup, membuat pembantu geram. Lantas memutuskan untuk keluar dari sisi lain demi bisa mencapai Aruna."Lepaskan Nyonya saya!"Namun, Yuda masih mencengkram tangannya erat dan bersikap tak acuh. "Aruna, kau masih hidup Sayang?"Meski nama yang terdengar oleh telinga, serta sosok Yuda tak asing. Namun, Aruna merasa pria ini terlalu tak punya sopan santun. Hingga memaksa melepaskan tangan dari genggaman Yuda.Sorot mata Yuda menjadi marah. "Apa maksudmu Aruna? Kau sudah tak suka padaku lagi!"Terburu pembantu menyembunyikan tubuhnya dari pandangan Yuda. Jelas mengundang amarah pria ini dan bersiap untuk memukul. Tapi, tubuh Yuda terhuyung setelah sopir taksi menarik pundak supaya Yuda menjauh darinya."Nak, bukankah mobil merah itu milikmu? Lekaslah menepi sebelum jadi rongsokan karena diamuk masa."Kepala Yuda menoleh dan menatap ke jalanan yang berlawanan, tempat mobil Yuda menghalangi pengendara. Di sekitar mobil Yuda, memang ramai dan mata mereka menatap ke mana pun. Mencari sosok pemilik yang mencampakkan kendaraan begitu saja.Tepat saat itu. Sopir taksi memberi kode bagi Aruna dan pembantu untuk memasuki mobil. Terdengar suara mobil yang melaju, membuat Yuda menoleh kembali dengan tertegun."Aruna!"Mata Aruna menatap ke belakang. Sosok Yuda yang berlari berusaha mengejar, membuat sopir sengaja menambah kecepatan. Hingga Yuda yang berteriak marah tak lagi memasuki matanya setelah sopir taksi berbelok."Nyonya Irene, apa Nyonya baik-baik saja?"Kepala Aruna hanya mengangguk saja. Meski otaknya berusaha mengingat, di mana ia mengenali pria itu dan kenapa nama yang dia sebutkan sangat tidak asing. Aruna menyentuh kepala yang tiba-tiba terasa sangat pening dan sakit luar biasa."Nyonya!" Pembantu memegangi kedua tangan Aruna yang memukuli kepala.**Awan yang tersibak, membuat matahari bersinar lebih menyilaukan mata. Sinar itu menciptakan bayangan dari sosok Yuda yang memasuki sebuah cafe. Bibir Yuda langsung mengulas senyum ketika melihat sang direktur melambai."Segera sapa Tuan Erland," bisik atasan Yuda.Netra Yuda tertuju pada Erland yang duduk begitu santai dengan bibir menyesap secangkir kopi. "Tuan Erland, maaf saya terlambat. Dalam perjalanan saya mengalami kecelakaan.""Kecelakaan ya? Itu adalah sebuah tragedi yang pasti membuatmu kehilangan segalanya,” balas Erland sembari menyeringai dan menyindir soal Aruna yang berada dalam genggamannya tanpa sepengetahuan Yuda.Yuda hanya tersenyum, tak benar-benar menyahut. Sedang mata menelisik wajah Erland yang terlihat terluka serta tangan yang diperban. Mendadak terbesit dalam otak Yuda, sosok Aruna yang ditemui di tengah jalan dengan tubuh diperban sana-sini."Kau tidak akan bisa lolos dariku," bisik Yuda sangatlah pelan dan berakhir dengan menyeringai.Mata Erland sendiri tengah sibuk memenjarakan Yuda dari atas sampai bawah. Seolah sedang menilai kepantasan pria ini sampai berani memiliki Aruna sebelum Erland. Hanya pria biasa dengan ketampanan di bawah rata-rata, membuat Erland menyeringai dan meletakkan cangkir kopi."Mengenai kecelakaan, saya dengar kemarin Tuan Erland dan nyonya Irene mengalami hal yang sama. Apakah nyonya Irene baik-baik saja?"Pandangan Erland menjadi serius. "Apa kau tertarik dengan istri orang lain?"Atasan Yuda tersenyum dan menggeleng. "Maafkan saya Tuan. Saya sudah melihat kondisi Anda secara langsung, jadi saya hanya--""Istriku tak butuh perhatian darimu, lagi pula aku sangat membencinya," potong Erland dengan nada dingin.Atasan Yuda memilih diam dan tak bereaksi apa pun. Sementara Yuda sendiri berhasil menyimpulkan, bahwa Erland bukanlah orang sembarangan. Hingga mata Erland dan Yuda saling bertemu, bibir Yuda hendak memberi senyuman tapi langsung terhenti ketika melihat Erland menyeringai."Orang yang berpura ramah, aku lebih benci," sindir Erland berhasil membuat Yuda membisu dengan tangan mengepal tersinggung.Mata Erland melirik ke arah Daffa yang mendekat dengan terburu, kemudian membisikkan sesuatu yang membuat Erland langsung menjatuhkan pandangan pada Yuda. Sosok yang ingin Erland lihat untuk membandingkan diri yang bahkan tak sebanding dengannya.“Yuda telah melihat nyonya, lantas membuat kekacauan,” bisik Daffa, sang sekretaris."Jika dia datang dengan kendaraan, hancurkan," bisik Erland sebagai balasan."Baik Tuan," sahut Daffa mulai berjalan pergi, meski mata sempat menatap pada Yuda, sosok yang telah menemukan Aruna lebih cepat dari perkiraan.Lagi, Erland menjadikan Yuda sebagai objek pandangan. Dia telah memberi garis batas bagi Yuda. Jika pria ini mendekati sedikit saja pada Aruna, maka Erland jamin akan ada neraka yang menanti di ujung kaki Yuda melangkah.Jemari Erland meraih cangkir yang sama, namun tak segera meminum. Dia seolah menantikan sesuatu. Hingga suara keributan di luar cafe serta alarm mobil yang berbunyi telah menyita perhatian Yuda.“Itu mobilku, hei! Apa yang kalian lakukan!” seru Yuda langsung meninggalkan kursi.“Yuda! Kembali!” Sang atasan merasa kepergian Yuda telah menyinggung Erland dan takut kerja sama menjadi batal.“Tak masalah, biarkan saja,” balas Erland sejenak, lantas menyembunyikan senyum kemenangan dengan menyesap kopi."Apa yang kalian lakukan sialan!"Sepanjang berlari keluar cafe. Yuda memaki dan berteriak, membuat Daffa menoleh. Mata Yuda menangkap sosok sekretaris dari Erland yang terang-terangan memerintah beberapa orang berhenti merusak mobil."Ada apa ini? Kenapa Anda merusak mobil saya?" Yuda bertanya dengan mata nyalang.Kepala Daffa menoleh, menatap Yuda begitu santai. Lantas menunjuk mobil warna hitam di depan kendaraan Yuda dengan tatapan."Tuan Erland tak suka ada kendaraan yang menghalangi."Tangan Yuda mengepal marah. "Apa Anda bercanda? Di mana-mana parkir selalu ada yang terdepan dan belakang!""Benarkah? Kalau begitu jadikan ini sebagai pelajaran. Tuan Erland tidak suka ada mobil lain yang parkir di dekatnya, termasuk dari segala sisi."Tatapan Yuda mengikuti Daffa yang memasuki cafe dengan penuh amarah. Namun, ada hal yang perlu Yuda pertimbangkan untuk menyerang. Pria itu jelas membutuhkan pekerjaan yang sekarang untuk menyambung hidup. Membuat masalah dengan sekretaris serta Er
Sempat tertegun sejenak. Tapi, Erland yang sangat harus menyangkal, langsung mengulas senyum. Kemudian mencampakkan pekerjaan dan beranjak dari meja kerja."Tentu saja ada, itu pun jika kau yang meninggalkan kamar dari balkon atau jendela," sahut Erland.Aruna menarik napas. "Aku tidak sebodoh itu. Rumah disediakan pintu tentunya untuk keluar, lantas kenapa aku harus membahayakan diri sendiri."Erland tersenyum. "Benar, kau sangat pintar hingga aku tak perlu cemas."Mata Aruna membingkai tubuh Erland yang mendekati bar kecil, hanya terpisahkan oleh sekat dinding saja. Semakin melihat seluruh kamar, Aruna meyakini sesuatu. Bahwa ini adalah kamar yang suram.Erland berjalan mendekatinya dengan secangkir gelas berisi air putih. Menduduki sofa yang sama, namun sedikit memberi jarak. Selagi meneguk habis minuman, mata Erland tak berhenti menatapnya.Seolah sedang menilai. Bahwa tak akan ada Irene kedua yang rela menjatuhkan diri dari balkon kamar ini. Hanya demi sebuah kebebasan yang tak p
Mentari pagi itu nampak malu-malu mencuri pandang melalui jendela. Berbeda dengan Erland yang begitu antusias, memenjarakan sosok Aruna dalam retina mata. Apalagi kegiatan dirinya adalah berganti pakaian.Wanita yang sewaktu di rumah sakit begitu marah ketika dicium. Pagi tersebut sangat santai, meski diintip secara terang-terangan."Bukankah kau sedang bersiap ke kantor?" singgung Aruna sembari menoleh ke belakang.Erland tertawa sinis, lantas tangan melepas dasi yang belum terbentuk sempurna. Lantas, kaki Erland mendekati Aruna dengan santai. Merengkuh tubuh juga terobsesi menghirup lehernya."Aku berubah pikiran," ujar Erland."Soal apa?" Aruna menyelesaikan mengancing kemeja.Mata Erland membingkai cermin. Benda itu memantulkan sosok Aruna yang dibalut pakaian milik Erland. Terlihat oversize, namun tak membuat sang istri terlihat aneh."Bisakah pakai celana saja?" Dan Erland mulai menego penampilan Aruna.Wajah Aruna mulai terlihat kesal. "Kau kira aku anak remaja? Aku wanita mode
Erland terlihat menduduki sofa panjang di ruang tamu. Lantas, mengambil secangkir teh yang disandingkan. Mata membingkai sosok ayah mertua yang lebih baik, ketimbang dua bulan setelah kehilangan."Senang rasanya melihat nak Erland akhirnya berkunjung.""Tentu saja, sebagai anak aku harus sering datang," sahut Erland dengan suara santai.Lantas mata Faisal melirik sekeliling, membuat Erland mengikuti. Foto-foto Irene yang tersenyum malu terbingkai di beberapa pelosok dinding rumah. Faisal tersenyum sendu. "Apa di rumah Nak Erland juga, masih terpasang foto-foto Irene?"Kepala Erland mengangguk. "Sosoknya jika boleh aku awetkan pun, akan kulakukan, Ayah."Pria munafik, itu perumpamaan yang Erland berikan pada sang ayah mertua. Pasalnya, pria ini yang paling ngotot melarang Irene jatuh pada tangan Erland. Hanya dengan ancaman, barulah dia mendapatkan sosok Irene.Tapi, pada akhirnya tak bisa memaksa Irene untuk mencintai Erland. Bahkan lebih memilih mengakhiri hidup ketimbang menjalin b
Aruna menyeringai, lantas jemarinya menunjuk kamar yang berjejer di belakangnya. "Sepertinya seluruh kamar di rumah ini, aku tak punya hak apa pun."Amarah Erland mendadak lenyap. Usai tersadar telah membentak sang istri. Ketika Erland hendak meraih tangannya, Aruna langsung memundurkan langkah."Bukan begitu Sayang. Tentu kau punya hak, bukan hanya kamar tapi seluruh rumah juga."Mata Aruna menatap tajam. "Kalau begitu aku ingin kamar itu.""Tidak boleh," larang Erland terdengar kekeh."Kenapa? Apa yang kau sembunyikan di sana? Hingga aku tidak boleh tinggal di sana, juga kau sangat marah aku memasukinya," ocehnya kesal.Erland memejamkan mata sejenak. "Jangan pancing emosiku, Irene. Aku tidak menyembunyikan apa pun, itu hanya ruangan tak terpakai.""Jika memang tak terpakai, kenapa aku tidak boleh memilikinya?""Suami istri itu harus tinggal di kamar yang sama," tegas Erland."Ya kalau begitu kau bisa pindah bersamaku di sana, apa susahnya?"Tatapan Erland kembali menegas. "Aku tida
Sekali lagi Erland menatap jendela dan balkon. Apakah dia sanggup bersikap biasa saja, padahal satu nyawa lolos dari tempat ini. Nyawa dari wanita yang sangat dicintai oleh Erland.Lama, Erland membisu dan sibuk dengan pemikiran sendiri. Waktu mulai berlalu cepat tanpa disadari. Mata pun tertuju pada Aruna yang bernapas teratur."Irene," sebut Erland.Lantas bibir mengulas senyum atas kewaspadaan yang kendur dari sang istri, karena terlelap. Perlahan, Erland menaiki ranjang dan memeluk tubuhnya."Selamat tidur, Sayang," bisik Erland.***"Semula, aku menerima takdir menjadi istrinya. Namun hari ketujuh, kata cinta yang dia ucapkan mulai menunjukkan hal lain."Jemari Aruna membalik halaman lain, lantas lanjut membaca. "Apakah semacam obsesi? Segala larangan mulai dia ciptakan, alih-alih menyediakan hal terbaik, dia justru mengurungku dari dunia."Aruna terhenti membaca. Tinggal beberapa hari di rumah ini, ia tahu penulis ini merujuk pada sosok Erland. Aruna mencari kertas dan pena di a
Tubuh Aruna direbahkan di atas ranjang dengan perlahan. Bibir yang semula tak pernah melepas lumatan, terpaksa berhenti karena Erland mengusap wajahnya. Netra saling memenjarakan dalam diam.Lantas, Erland menyesap lehernya dengan tangan memasuki bajunya. Satu hal yang ingin Aruna tanyakan. Namun suasana dengan membakar ini membuat mulutnya bungkam."Irene, ayo kita buat bayi di sini," bisik Erland dengan tangan mengusap perutnya."Kau pikir semudah itu buat bayi?" Erland mengulas senyum. "Tentu saja mudah, hanya perlu sering berhubungan."Mata Aruna menatap kepala Erland yang sudah turun. Dapat ia rasakan dada yang diperlakukan layaknya permen gagang. Tangan Aruna menutup mulut, atas jilatan serta gigitan ini."Kaulah bayinya, Erland," singgung Aruna.Satu kekehan tercipta dan merajai kamar dengan suasana baru ini. Aruna melenguh ketika jemari suaminya yang nakal masuk ke dalam celana, lantas bersemayam di sana dengan gerakan menusuk.Mungkin hal lainnya akan terjadi. Namun, dalam p
Sementara Aruna sendiri. Saat ini sedang duduk di antara ketiga teman palsu yang Erland datangkan. Aruna mengulas senyum ketika mereka membahas fashion terbaru, dan rupanya mereka bertiga satu frekuensi dengan Aruna."Oh bukankah ini dress keluaran terbaru dari Brand C?" tanya Melody sembari menunjuk dress yang dipakai olehnya."Ini yang katanya limited edition itu," sambung Aura.Lantas wanita dengan rambut panjang menyentuh dress miliknya, bernama Diana. "Yang harganya selangit itu loh."Pada akhirnya mereka bertiga terkekeh, membuat Aruna tersenyum. Banyak hal juga yang dibicarakan. Bahkan Aruna membawa mereka berkeliling rumah.Hingga mereka di hadapkan pada kolam renang yang kering. Tak ada air sama sekali di sana. Namun, tak ada satu pun dari teman palsunya ini yang berani mengajukan pertanyaan.Sementara Aruna sendiri menatap dalam diam. Di catatan merah muda itu. Aruna menemukan coretan soal kolam renang juga. "Usahaku bunuh diri selalu gagal. Termasuk terjun ke kolam renang,