Share

7. Karena Dia adalah Suamiku

***

Beberapa jam yang lalu, suasana kamar Kinan terasa sangat panas dengan lenguhan yang lembut, setelah selesai mereka pergi ke ruang makan yang tenang dan terasa sangat sepi. Mereka duduk di meja kayu yang sederhana, di antara aroma kopi yang menggoda dan cuaca yang menyenangkan. Namun, di balik keramaian tersebut, ada kegelisahan yang merayap di dalam hati Kinan.

Kinan memegang sendoknya dengan gemetar, matanya terus menatap piringnya tanpa benar-benar melihat apa pun. Dia merasa gugup dan takut untuk mengungkapkan keinginannya pada Ludwig. Tapi, dia tahu, dia harus melakukannya.

"Ludwig," ucapnya akhirnya, suaranya terdengar gemetar.

Ludwig menoleh padanya, matanya menatap tajam ke arah Kinan. "Apa yang ada di pikiranmu?" tanyanya dengan nada serius.

Kinan menelan ludahnya, mencoba menyingkirkan ketakutannya. "Aku ingin berbicara padamu tentang kebun belakang," ucapnya perlahan.

Wajah Ludwig berkerut di balik topengnya, dia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dari intonasi suara Kinan. "Apa tentang kebun belakang?" tanyanya dengan nada skeptis.

Kinan menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan dirinya untuk pertarungan yang akan datang. "Aku ingin mengubahnya menjadi kebun tanaman yang indah. Aku ingin memberikan sentuhan kehidupan pada ruang itu," ungkapnya dengan mantap.

Ludwig mengangkat alisnya, ekspresi wajahnya berubah menjadi tidak suka. Dia mengebrak mejanya dengan keras, membuat Kinan terkejut. "Kau berani meminta hal seperti itu dariku?" bentaknya dengan nada tajam.

Kinan merasa nadi di lehernya berdegup kencang, tapi dia tidak bisa mundur. "Aku hanya ingin membuat tempat ini lebih indah, Ludwig. Aku pikir—"

"Apa yang kau pikirkan tidaklah penting!" potong Ludwig dengan suara marah. "Kau lupa siapa yang memegang kendali di sini. Kau lupa bahwa kau hanyalah milikku! Kau itu adalah bonekaku, Kinan! Mainanku! Jangan lancang meminta apapun dariku!"

Kinan terdiam, terkejut dengan kata-kata kasar yang keluar dari mulut Ludwig. Dia merasakan perasaan takut melanda hatinya saat dia melihat kedua sorot mata tajam pria di hadapannya yang penuh kemarahan.

Ludwig melanjutkan dengan sinis, "Kau tidak berhak meminta apapun dariku. Kau hanyalah seorang wanita yang hanya melayaniku saat aku butuhkan, seorang barang yang bisa kubeli dan kuambil sesuka hatiku."

Perasaan hancur dan terluka merayapi hati Kinan. Dia tidak bisa mempercayai bahwa pria yang dia mulai terima sebagai suaminya begitu kerasnya bisa berkata seperti itu padanya.

Dan kemudian, pukulan yang lebih dalam lagi datang dari Ludwig. "Dan satu lagi," katanya dengan suara dingin, "kau harus rajin minum pil KB. Aku tidak ingin kau hamil dan membawa keturunanku ke dunia ini. Aku tidak akan mengizinkannya. Aku tidak mau ibu dari anakku adalah wanita murahan sepertimu!"

Air mata mulai mengalir di pipi Kinan, tapi dia menahan diri untuk tidak menangis di depan Ludwig. Dia merasakan kehilangan yang dalam, merasa seperti segala sesuatu yang dia harapkan hancur di depan matanya.

Di antara keheningan yang menusuk, Kinan merasakan hatinya hancur menjadi berkeping-keping. Dia menyadari bahwa dia mungkin tidak akan pernah bisa memperbaiki pria yang telah hancur oleh kegelapan dan kebencian. Namun, ia sadar kembali dan tahu bahwa kegelapan itu bisa ia lawan dan tidak ada yang akan bisa memadamkan keyakinannya. Ia hanya perlu berdoa, bersabar dan percaya.

“Allah, kuatkan langkahku. Jangan buat aku menjadi lemah,” pinta Kinan bergumam.

***

Setelah berakhirnya hari pelajaran yang melelahkan, Kinan merasa lega bisa meninggalkan ruang kelas dan menghirup udara segar di luar sekolah. Namun, senyuman lega itu segera berubah menjadi tegang saat dia melihat Wina, ibu tirinya, berdiri di pintu gerbang sekolah dengan senyuman sinis yang menghantam seperti pukulan.

Tanpa memberi kesempatan untuk menghindar, Wina segera mendekatinya dengan langkah yang tegas. "Kinan, betapa senangnya Ibu melihatmu," ucapnya dengan nada yang menusuk.

Kinan mencoba menahan diri agar tidak menunjukkan ketegangan yang memenuhi dirinya. "Assalamualaikum, Selamat sore, Bu," balas Kinan dengan senyum yang ramah.

Wina hanya tertawa sinis sebagai tanggapan. "Bagaimana kabarmu, Kinan? Sudah lama sekali kita tidak bertemu," godanya, seolah menyindir.

Meskipun hatinya berdebar-debar, Kinan berusaha menjaga ketenangannya. "Aku baik-baik saja, Bu. Maafkan aku karena belum sempat berkunjung ke rumah akhir-akhir ini, aku sangat sibuk di sekolah," ucapnya dengan suara lembut.

Wina hanya menggelengkan kepala dengan sebelah hati, sebelum berdiri dan mulai memamerkan perhiasaannya dengan bangga. "Tidak apa-apa, Kinan. Kamu tak perlu repot-repot datang ke rumah. Kamu juga pasti sudah tahu bahwa kamu bukan lagi bagian dari keluarga kita, kamu sudah menjadi haknya pria bertopeng itu, suamimu," ucapnya dengan nada penuh keangkuhan.

Telinga Kinan hampir meledak mendengar kata-kata itu, tapi dia tetap berusaha menjaga sikapnya. "Aku akan tetap jadi anak kalian dan aku pasti akan berusaha untuk mengunjungi Ibu dan ayah nanti, aku juga sangat merindukn ayah,” balasnya dengan tenang.

Wina mengangkat alisnya dengan angkuh. "Ayahmu, dia sangat bahagia sekarang setelah kamu menikah dan pergi. Dia bahkan berharap kamu tidak akan kembali, kata ayahmu, kamu hanya beban baginya," ucapnya dengan nada yang penuh dengan keserakahan.

Seketika itu juga, Kinan merasa dadanya sesak oleh beban yang tak terlukiskan. Dia merasakan pukulan demi pukulan dari kata-kata keji itu. Namun, dia tetap berdiri tegar, berusaha menahan diri agar tidak menangis di hadapan Wina.

Tanpa menunggu reaksi Kinan, Wina melanjutkan dengan senyuman licik di wajahnya. "Ibu berdoa semoga pernikahanmu bisa langgeng, Kinan. Dan Ibu berharap kamu tak akan pernah kembali," ucapnya dengan tajam, sebelum berbalik dan pergi dengan langkah yang mantap.

Kinan merasa dunianya hancur berkeping-keping. Tapi dia tahu dia harus tetap kuat.

“Astaghfirullah, sabarkan diri ini, Ya Allah,” ucap Kinan. Ia mencoba menahan tangisannya dengan memejamkan kedua matanya sejenak. Setelah semuanya merasa baik-baik saja, Kinan langsung pergi untuk mengunjungi Anna.

***

Kinan mengetuk pintu rumah Anna dengan hati yang berdebar sambil mengucapkan salam. Setelah beberapa detik, pintu terbuka, dan Anna menyambutnya dengan senyum ramah.

"Kinan, masuklah," ajak Anna, membuka pintu lebih lebar.

Kinan mengikuti Anna masuk ke dalam rumah yang hangat itu. Mereka duduk di ruang tamu yang nyaman, ditemani oleh aroma teh hangat yang memenuhi udara.

Anna menatap Kinan dengan serius. "Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu, Kinan. Itu sangat penting."

Kinan mengangguk, menunggu Anna melanjutkan.

"Benarkah kabar yang beredar? Banyak yang menyebutkan kalau keluargamu menjualmu pada pria asing yang gila itu dengan harga yang tinggi. apakah itu benar?" tanya Anna tiba-tiba, matanya mencari kepastian dari wajah Kinan.

Kinan hanya tersenyum, mencoba menenangkan Anna. "Ya, itu benar. Tapi, aku baik-baik saja, Anna. Jangan khawatir," jawabnya dengan lembut.

Anna tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. "Tidak, Kinan. Aku tidak bisa diam! Bagaimana bisa kamu begitu pasrah, begitu tenang, setelah semuanya terjadi? Ayahmu, ibu tirimu, mereka semua berfoya-foya dengan uang itu! Mereka menghancurkan masa depanmu, Kinan!"

Kinan menghela nafas, merasa sedih melihat Anna begitu terpengaruh. "Aku tahu, Anna. Tapi, marah hanya akan membuat segalanya menjadi lebih buruk. Aku memilih untuk memaafkan mereka dan melanjutkan hidupku."

Anna menggelengkan kepala dengan kesedihan yang dalam. "Tapi, kenapa kamu tidak pernah marah, Kinan? Kenapa kamu selalu sabar dengan perlakuan mereka padamu?"

Kinan tersenyum lembut, matanya penuh dengan kebijaksanaan yang dalam. "Karena untuk apa aku menghabiskan waktu dengan amarah? Itu hanya akan menghabiskan energiku tanpa hasil yang baik. Aku merasa baik-baik saja selama ada Allah yang menjagaku, Anna. Bahkan saat badai terkuat  menghantanm pun, jika Allah dekat denganmu, badai itu tidak akan pernah meruntuhkanmu."

Anna merenung sejenak atas kata-kata bijak Kinan. Dia merasa terharu dengan kekuatan dan ketenangan yang dimiliki temannya itu, meskipun telah mengalami begitu banyak penderitaan.

"Dengarkan, Anna," lanjut Kinan, "Kita mungkin rapuh, kita mungkin menangis, tapi dengan Allah di sisimu, kita akan selalu mampu melewati segala hal. Aku sedang tidak memberi nasehat, tapi aku merasakannya langsung bagaimana Allah selalu menjagaku dengan aku yang selalu berbaik sangka pada-Nya."

“Kinan, aku masih belum ikhlas kamu menikah dengan pria asing itu, dia tidak pantas mendapatkan bidadari sepertimu! Jika kamu mau, tolong pergilah darinya, aku pasti akan membantumu,” kata Anna bersungguh-sungguh.

“Maaf, Anna. Aku tidak mungkin meninggalkannya karena dia adalah suamiku.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status