***
Beberapa jam yang lalu, suasana kamar Kinan terasa sangat panas dengan lenguhan yang lembut, setelah selesai mereka pergi ke ruang makan yang tenang dan terasa sangat sepi. Mereka duduk di meja kayu yang sederhana, di antara aroma kopi yang menggoda dan cuaca yang menyenangkan. Namun, di balik keramaian tersebut, ada kegelisahan yang merayap di dalam hati Kinan.
Kinan memegang sendoknya dengan gemetar, matanya terus menatap piringnya tanpa benar-benar melihat apa pun. Dia merasa gugup dan takut untuk mengungkapkan keinginannya pada Ludwig. Tapi, dia tahu, dia harus melakukannya.
"Ludwig," ucapnya akhirnya, suaranya terdengar gemetar.
Ludwig menoleh padanya, matanya menatap tajam ke arah Kinan. "Apa yang ada di pikiranmu?" tanyanya dengan nada serius.
Kinan menelan ludahnya, mencoba menyingkirkan ketakutannya. "Aku ingin berbicara padamu tentang kebun belakang," ucapnya perlahan.
Wajah Ludwig berkerut di balik topengnya, dia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dari intonasi suara Kinan. "Apa tentang kebun belakang?" tanyanya dengan nada skeptis.
Kinan menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan dirinya untuk pertarungan yang akan datang. "Aku ingin mengubahnya menjadi kebun tanaman yang indah. Aku ingin memberikan sentuhan kehidupan pada ruang itu," ungkapnya dengan mantap.
Ludwig mengangkat alisnya, ekspresi wajahnya berubah menjadi tidak suka. Dia mengebrak mejanya dengan keras, membuat Kinan terkejut. "Kau berani meminta hal seperti itu dariku?" bentaknya dengan nada tajam.
Kinan merasa nadi di lehernya berdegup kencang, tapi dia tidak bisa mundur. "Aku hanya ingin membuat tempat ini lebih indah, Ludwig. Aku pikir—"
"Apa yang kau pikirkan tidaklah penting!" potong Ludwig dengan suara marah. "Kau lupa siapa yang memegang kendali di sini. Kau lupa bahwa kau hanyalah milikku! Kau itu adalah bonekaku, Kinan! Mainanku! Jangan lancang meminta apapun dariku!"
Kinan terdiam, terkejut dengan kata-kata kasar yang keluar dari mulut Ludwig. Dia merasakan perasaan takut melanda hatinya saat dia melihat kedua sorot mata tajam pria di hadapannya yang penuh kemarahan.
Ludwig melanjutkan dengan sinis, "Kau tidak berhak meminta apapun dariku. Kau hanyalah seorang wanita yang hanya melayaniku saat aku butuhkan, seorang barang yang bisa kubeli dan kuambil sesuka hatiku."
Perasaan hancur dan terluka merayapi hati Kinan. Dia tidak bisa mempercayai bahwa pria yang dia mulai terima sebagai suaminya begitu kerasnya bisa berkata seperti itu padanya.
Dan kemudian, pukulan yang lebih dalam lagi datang dari Ludwig. "Dan satu lagi," katanya dengan suara dingin, "kau harus rajin minum pil KB. Aku tidak ingin kau hamil dan membawa keturunanku ke dunia ini. Aku tidak akan mengizinkannya. Aku tidak mau ibu dari anakku adalah wanita murahan sepertimu!"
Air mata mulai mengalir di pipi Kinan, tapi dia menahan diri untuk tidak menangis di depan Ludwig. Dia merasakan kehilangan yang dalam, merasa seperti segala sesuatu yang dia harapkan hancur di depan matanya.
Di antara keheningan yang menusuk, Kinan merasakan hatinya hancur menjadi berkeping-keping. Dia menyadari bahwa dia mungkin tidak akan pernah bisa memperbaiki pria yang telah hancur oleh kegelapan dan kebencian. Namun, ia sadar kembali dan tahu bahwa kegelapan itu bisa ia lawan dan tidak ada yang akan bisa memadamkan keyakinannya. Ia hanya perlu berdoa, bersabar dan percaya.
“Allah, kuatkan langkahku. Jangan buat aku menjadi lemah,” pinta Kinan bergumam.
***
Setelah berakhirnya hari pelajaran yang melelahkan, Kinan merasa lega bisa meninggalkan ruang kelas dan menghirup udara segar di luar sekolah. Namun, senyuman lega itu segera berubah menjadi tegang saat dia melihat Wina, ibu tirinya, berdiri di pintu gerbang sekolah dengan senyuman sinis yang menghantam seperti pukulan.
Tanpa memberi kesempatan untuk menghindar, Wina segera mendekatinya dengan langkah yang tegas. "Kinan, betapa senangnya Ibu melihatmu," ucapnya dengan nada yang menusuk.
Kinan mencoba menahan diri agar tidak menunjukkan ketegangan yang memenuhi dirinya. "Assalamualaikum, Selamat sore, Bu," balas Kinan dengan senyum yang ramah.
Wina hanya tertawa sinis sebagai tanggapan. "Bagaimana kabarmu, Kinan? Sudah lama sekali kita tidak bertemu," godanya, seolah menyindir.
Meskipun hatinya berdebar-debar, Kinan berusaha menjaga ketenangannya. "Aku baik-baik saja, Bu. Maafkan aku karena belum sempat berkunjung ke rumah akhir-akhir ini, aku sangat sibuk di sekolah," ucapnya dengan suara lembut.
Wina hanya menggelengkan kepala dengan sebelah hati, sebelum berdiri dan mulai memamerkan perhiasaannya dengan bangga. "Tidak apa-apa, Kinan. Kamu tak perlu repot-repot datang ke rumah. Kamu juga pasti sudah tahu bahwa kamu bukan lagi bagian dari keluarga kita, kamu sudah menjadi haknya pria bertopeng itu, suamimu," ucapnya dengan nada penuh keangkuhan.
Telinga Kinan hampir meledak mendengar kata-kata itu, tapi dia tetap berusaha menjaga sikapnya. "Aku akan tetap jadi anak kalian dan aku pasti akan berusaha untuk mengunjungi Ibu dan ayah nanti, aku juga sangat merindukn ayah,” balasnya dengan tenang.
Wina mengangkat alisnya dengan angkuh. "Ayahmu, dia sangat bahagia sekarang setelah kamu menikah dan pergi. Dia bahkan berharap kamu tidak akan kembali, kata ayahmu, kamu hanya beban baginya," ucapnya dengan nada yang penuh dengan keserakahan.
Seketika itu juga, Kinan merasa dadanya sesak oleh beban yang tak terlukiskan. Dia merasakan pukulan demi pukulan dari kata-kata keji itu. Namun, dia tetap berdiri tegar, berusaha menahan diri agar tidak menangis di hadapan Wina.
Tanpa menunggu reaksi Kinan, Wina melanjutkan dengan senyuman licik di wajahnya. "Ibu berdoa semoga pernikahanmu bisa langgeng, Kinan. Dan Ibu berharap kamu tak akan pernah kembali," ucapnya dengan tajam, sebelum berbalik dan pergi dengan langkah yang mantap.
Kinan merasa dunianya hancur berkeping-keping. Tapi dia tahu dia harus tetap kuat.
“Astaghfirullah, sabarkan diri ini, Ya Allah,” ucap Kinan. Ia mencoba menahan tangisannya dengan memejamkan kedua matanya sejenak. Setelah semuanya merasa baik-baik saja, Kinan langsung pergi untuk mengunjungi Anna.
***
Kinan mengetuk pintu rumah Anna dengan hati yang berdebar sambil mengucapkan salam. Setelah beberapa detik, pintu terbuka, dan Anna menyambutnya dengan senyum ramah.
"Kinan, masuklah," ajak Anna, membuka pintu lebih lebar.
Kinan mengikuti Anna masuk ke dalam rumah yang hangat itu. Mereka duduk di ruang tamu yang nyaman, ditemani oleh aroma teh hangat yang memenuhi udara.
Anna menatap Kinan dengan serius. "Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu, Kinan. Itu sangat penting."
Kinan mengangguk, menunggu Anna melanjutkan.
"Benarkah kabar yang beredar? Banyak yang menyebutkan kalau keluargamu menjualmu pada pria asing yang gila itu dengan harga yang tinggi. apakah itu benar?" tanya Anna tiba-tiba, matanya mencari kepastian dari wajah Kinan.
Kinan hanya tersenyum, mencoba menenangkan Anna. "Ya, itu benar. Tapi, aku baik-baik saja, Anna. Jangan khawatir," jawabnya dengan lembut.
Anna tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. "Tidak, Kinan. Aku tidak bisa diam! Bagaimana bisa kamu begitu pasrah, begitu tenang, setelah semuanya terjadi? Ayahmu, ibu tirimu, mereka semua berfoya-foya dengan uang itu! Mereka menghancurkan masa depanmu, Kinan!"
Kinan menghela nafas, merasa sedih melihat Anna begitu terpengaruh. "Aku tahu, Anna. Tapi, marah hanya akan membuat segalanya menjadi lebih buruk. Aku memilih untuk memaafkan mereka dan melanjutkan hidupku."
Anna menggelengkan kepala dengan kesedihan yang dalam. "Tapi, kenapa kamu tidak pernah marah, Kinan? Kenapa kamu selalu sabar dengan perlakuan mereka padamu?"
Kinan tersenyum lembut, matanya penuh dengan kebijaksanaan yang dalam. "Karena untuk apa aku menghabiskan waktu dengan amarah? Itu hanya akan menghabiskan energiku tanpa hasil yang baik. Aku merasa baik-baik saja selama ada Allah yang menjagaku, Anna. Bahkan saat badai terkuat menghantanm pun, jika Allah dekat denganmu, badai itu tidak akan pernah meruntuhkanmu."
Anna merenung sejenak atas kata-kata bijak Kinan. Dia merasa terharu dengan kekuatan dan ketenangan yang dimiliki temannya itu, meskipun telah mengalami begitu banyak penderitaan.
"Dengarkan, Anna," lanjut Kinan, "Kita mungkin rapuh, kita mungkin menangis, tapi dengan Allah di sisimu, kita akan selalu mampu melewati segala hal. Aku sedang tidak memberi nasehat, tapi aku merasakannya langsung bagaimana Allah selalu menjagaku dengan aku yang selalu berbaik sangka pada-Nya."
“Kinan, aku masih belum ikhlas kamu menikah dengan pria asing itu, dia tidak pantas mendapatkan bidadari sepertimu! Jika kamu mau, tolong pergilah darinya, aku pasti akan membantumu,” kata Anna bersungguh-sungguh.
“Maaf, Anna. Aku tidak mungkin meninggalkannya karena dia adalah suamiku.”
***
*** Dua bulan kemudian… Di sudut ruangan yang redup, Kinan duduk dengan tubuhnya yang tegang di tepi tempat tidur. Cahaya remang membelai wajahnya yang pucat, menyoroti setiap kerutan di dahi yang mengisyaratkan kegelisahan batin. Bu Inah, seorang asisten rumah tangga yang setia melayani Ludwig dikediaman pria itu, memasuki ruangan dengan langkah ringan. Tangannya membawa segelas air putih dan sebuah pil kecil berwarna putih.“Bu Inah, aku malah ketiduran setelah sholat subuh,” ucap Kinan, ia memang lelah luar biasa karena semalam dibuat tidak bisa beristirahat karena Ludwig. Tubuhnya terasa kaku.“Iya, Nyonya. Saya masuk ke kamar Nyonya atas perintah Tuan Ludwig,” balas Bu Inah dengan senyum yang kikuk.“Ada apa?” tanya Kinan."dr. Lisa memberi ini untukmu, Nyonya Kinan," ucap Bu Inah dengan suara lembut, menyodorkan pil kontrasepsi pada Kinan.Kinan menatap pil itu sebentar
***Patricia memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong, mengamati lahan kosong yang terhampar luas di halaman belakang kediaman Ludwig yang saat ini seperti tidak mempunyai kehidupan. Dia merasa getir dalam hati saat melihat keadaan Ludwig yang semakin terisolasi di dalam kediamannya sendiri. Pria itu hanya memberi perintah pada asistennya, Mark untuk mengatur semua bisnisnya di Indonesia dan Ludwig selalu menghabiskan seluruh harinya di kediaman yang saat ini sangat gelap, pria itu selalu mengunci diri di ruangan pribadinya.Dengan langkah ragu, Patricia melangkah menuju ruang keluarga di salah satu kediaman milik keluarga von Schlossberg yang memang diperuntukkan untuk Ludwig. Dia tahu bahwa bertemu dengan Ludwig tidak akan pernah mudah, terlebih setelah insiden tragis yang membuatnya terpaksa memakai topeng untuk menutupi wajahnya yang terbakar dan pria itu menganggapnya sama saja dengan keluarga besar lainnya yang menertawakannya dan mengatakan kalau keberadaan Ludwig adala
***Kinan sudah tiba di kediaman megah Ludwig yang berada di pinggiran kota yang tersembunyi. Ia langsung membuka pintu rumah karena jika sore hari, Bu Inah sudah kembali ke rumahnya. Langkah Kinan terhenti ketika dia melihat Ludwig duduk sendirian di kebun belakang rumah mereka yang sunyi. Meski wajah pria itu memakai topeng, ia menyadari bahwa Ludwig itu merasa kesepian dan juga muram. Kinan merasa hatinya bergetar melihat suaminya yang terlihat begitu rapuh.Dengan hati-hati, Kinan mendekati Ludwig “Assalamualaikum, Ludwig.” Wanita itu mengucapkannya dengan lembut. Namun, Ludwig hanya mengabaikannya, membuat hati Kinan terasa teriris.Dia ingin mencium tangan Ludwig, seperti biasa yang selalu ia lakukan pada yang lebih tua, tapi Ludwig menepisnya dengan kasar. Kinan merasa sakit melihat reaksi suaminya, tapi dia telah terbiasa dengan penolakan itu."Aku semalam sudah menulis catatan dan meminta izin padamu kalau aku pulang terlambat karena mau menjenguk ayah, tadi pagi aku juga sud
***Di ruangan UKS sekolah yang sudah sepi, Kinan terkejut dengan kedatangan Tony ke sekolahnya. Ayahnya yang sulit ia temui mendadak mendatanginya, ia awalnya sangat senang dengan kedatangan ayahnya, namun kesenangan itu berubah menjadi kecewa karena Tony mempunyai tujuan lain.“Ayah sengaja datang menemuiku di sekolah hanya ingin meminta uang?” tanya Kinan, ia menatap Tony dengan perasaan campur aduk.“Nak, Ayah tidak salah kan mendatangi anak kandungnya sendiri karena begitulah tugas anak untuk tetap berbakti pada orang tuanya. Saat ini Ayah sedang dikejar hutang dan uang tabungan Ayah habis, jadi Ayah meminta bantuan padamu. Lagipula kamu kan istrinya dari bangsawan itu dan kamu adalah istri yang bertahan lama di sisinya sampai saat ini, itu artinya suamimu menyukaimu, Ayah yakin kamu pasti banyak uang,” balas Tony tanpa rasa bersalah.Kinan mencoba menghela napasnya dan mengatur emosinya, ia tidak pernah menyangka kalau di dunia ini ada seorang ayah yang tak memiliki cinta di hat
***Semerbak aroma brotsuppe, hidangan Jerman yang khas, menyusup masuk ke dalam ruangan pagi yang sunyi. Selepas shola subuh, Kinan sibuk di dapur dan menyiapkan sarapan pagi untuk Ludwig, pria itu dari siang kemarin tidak mau makan, kata Bu Inah, Ludwig dan adik kandungnya bertengkar kemarin, wanita itu tentu saja terkejut karena Ludwig ternyata mempunyai adik yang menetap juga di Indonesia, tapi Kinan tak bertanya lagi karena ia tahu bahwa dirinya masih orang baru di kehidupan suaminya.Kinan memasuki kamar tidur Ludwig dengan langkah hati-hati, membawa nampan penuh dengan hidangan yang telah dia siapkan dengan penuh kasih sayang.Dia meletakkan nampan itu di atas meja kecil di samping tempat tidur Ludwig, disertai dengan segelas air putih segar dan yogurt untuk menemani hidangan utama. Matanya terhenti pada sosok Ludwig yang masih tertidur pulas di atas tempat tidurnya.Ludwig terlihat begitu tenang saat tertidur, wajahnya yang tanpa topeng terbuka tanpa rasa takut akan penilaian
***Langit senja memancarkan cahaya oranye yang lembut, menciptakan suasana hangat di sekitar sekolah tempat Kinan mengajar. Setelah sehari penuh mengajar, Kinan bersiap-siap untuk pulang ketika penjaga sekolah datang menghampirinya dengan kabar tak terduga.“Bu Kinan, ada seorang wanita asing yang mencari Anda,” ujar penjaga sekolah dengan suara ramah.Kinan mengernyitkan keningnya, memikirkan siapa wanita itu. Namun, tanpa ragu, dia setuju untuk bertemu dengannya. Mungkin ada sesuatu yang ingin dibicarakan oleh orang asing tersebut. Ia juga harus buru-buru pulang karena mengingat Ludwig yang mendadak demam saat Bu Inah beberapa jam lalu mengirim pesan padanya.Ketika Kinan tiba di ruang tata usaha sekolah, matanya langsung tertuju pada seorang wanita cantik dengan mata biru dan rambut blonde yang tersusun rapi. Wanita itu memancarkan aura kehangatan yang membuat Kinan merasa nyaman di dekatnya.“Halo. Anda adalah Kinan bukan?&rd
***Langit malam menyelimuti rumah yang sunyi, hanya dihiasi oleh gemerlap bintang di langit. Di dalam kamar tidur yang redup, Kinan duduk di samping tempat tidur Ludwig yang terbaring lemah. Wajah suaminya terlihat pucat dan letih, memancarkan kelemahan yang memilukan. Dari sore, Ludwig demamnya naik turun dan itu membuatnya terus berada di sisi suaminya.Dengan hati yang penuh kekhawatiran, Kinan meraih tangan Ludwig dan menciumnya lembut. "Ludwig, bagaimana perasaanmu?" bisiknya dengan lembut.Ludwig hanya menggeleng lemah, matanya yang sayu memandang Kinan dengan ekspresi yang tak terlalu jelas. Pria itu bahkan tak mempunyai tenaga untuk sekedar mengtakan kalau Kinan harus pergi dari kamarnya dan tidak usah untuk sok perhatian padanya, namun rasa sakitnya itu membuat ia kehilangan kekuatannya.Dan Kinan segera meraba suhu tubuh suaminya dan terkejut saat merasakan panas yang tinggi. Tanpa ragu, Kinan segera mengambil kompres dingin dan menempelkannya di dahi Ludwig dengan telaten
***Setelah pagi tiba, Kinan melangkah masuk ke dalam kamar pribadi Ludwig dengan langkah ringan, membawa nampan berisi bubur hangat dan segelas air jahe. Dia tersenyum melihat Ludwig yang sudah duduk di kursi, matanya tertuju pada pria itu dengan penuh kehangatan.Ludwig terkejut, tangannya refleks meraih topeng yang selalu menutupi separuh wajahnya. Namun, sebelum dia sempat menyembunyikan diri, Kinan berbicara dengan lembut, "Jangan tutup apa pun dariku, Ludwig. Aku adalah istrimu, ingat? Kita ini sudah menjadi satu sama lainnya, jadi jangan anggap aku ini orang asing bagimu."Ludwig terdiam, matanya menatap Kinan dengan penuh kebingungan. Apa yang membuatnya merasa begitu nyaman untuk menunjukkan wajahnya yang cacat di hadapan Kinan? Apakah mungkin ada seseorang yang tidak akan merasa jijik atau takut melihatnya? Selama ini, bahkan pada Bu Inah yang selalu setia menjaganya, ia tak pernah berani menunjukkan wajahnya yang cacat ini, ia hanya takut Bu Inah takut dan tak mau lagi bek