Sesampai di lokasi, Oliv segera membuka handset dan melirik ke belakang. “Udah sampai?” “Menurut kamu?” Kening Oliv mengkerut dan menatap ke depan kembali. “Humm ... percuma juga aku handsetan, tangan kamu nggak bisa diem,” gerutunya, kemudian segera membuka sabuknya, namun susah. “Bisa tidak?” “Bisa, cuma nyangkut aja ini.” Nick mendesis pelan. “Bilang saja tidak bisa.” “Bisa kok, cuma ini nyangkut aja,” gerutu Oliv tidak terima dan masih membuka sabuk pengamannya itu. “Astaga, ini beneran sabuk pengaman kurang ajar ya.” “Sudah saya bilang. Mana.” Nick mendekat ke arahnya dan membantu untuk membuka sabuk pengamannya itu. Oliv terdiam, sesekali melirik wajah pria itu dekat. “Astaga, ganteng banget dia,” batinnya, matanya tidak kedip sama sekali. “Sudah. Dasar lemah,” ucap Nick, kemudian segera keluar dari mobil terlebih dahulu. Oliv menerjapkan mata kikuk. Dia menggelengkan kepala cepat dan bergegas untuk turun. “Tunggu dulu, biar aku telpon mama aku dulu,” katanya, kemudi
“Aku nggak ada waktu buat Mama kan? Aku bakalan cari waktu buat Mama dulu, habis itu aku bawa Mama ke rumah sakit,” jawab Oliv, kemudian melangkahkan kakinya ke arah bagasi mobil. “Ya kan dia sekarang sakit Oliv. Kamu lupain pekerjaan kamu itu. Fokus sama kesehatan Mama kamu bisa?” Setelah sampai di bagasi mobilnya itu. Oliv segera membuka penutup mobilnya itu agar tidak berdebu. “Kamu cek aja dulu, bisa kamu foto.” Nick terdiam sejenak, kemudian pria itu mengambil gambar dari mobil Oliv. “Sudah. Nanti kamu bawa saja ke rumah saya. Biar enak juga kalau teman saya minat.” Oliv mengangguk kecil. “Yasudah, nanti aku bawa ke rumah kamu sendiri.” Dia terdiam sejenak. “Kalau gitu kamu ke kantor aja, biar nggak telat juga kan?” Nick menautkan alisnya menatap ke arahnya. “Barusan kamu ngusir saya?” “H–hah? Bukan begitu maksudnya. Kan kamu mau kerja, aku juga nggak enak juga ngerepotin orang sibuk seperti kamu.” Nick menghela napas pelan. “Yasudah, kalau gitu aku duluan. Nanti parkir di
“Ma, kita ke rumah sakit aja ya?” Mamanya itu menoleh ke sumber suara dengan tubuh yang lemas. “Nggak usah, Oliv. Nanti juga sembuh.” “Ma, Oliv mumpung libur sekarang. Periksa ke rumah sakit ya?” Oliv duduk di tepi dan memegang kening mamanya itu. Sangat panas. “Makin panas, padahal udah Oliv kompres loh.” “Kan belum minum obat Sayang. Beli obat aja, biar Mamam minum obatnya, ya?” Oliv menggeleng kepala cepat. “No, Oliv nggak mau ya. Mending Mama ke rumah sakit aja. Biar tau Mama itu sakit apa.” Lauren menghembuskan napas pelan. “Mungkin cuaca aja Oliv. Makanya Mama jadi seperti ini.” “Ya, sama aja. Mama itu sakit. Oliv nggak mau tau, ya. Tubuh Mama juga lemes kan? Mama itu butuh cairan juga.” Lauren terdiam sejenak. “Yasudah, kalau itu mau kamu. Mama ikut kemauan kamu saja.” “Nah, gitu dong. Biar cepat sembuh. Ayo, Oliv bantu.” Oliv membantu mamanya itu bangun dari tidurnya dan memapah untuk berdiri. “Bisa nggak?” “Masih bisa kok, Sayang,” ucap Lauren lirih sambil berjalan pe
Wajah Oliv nampak kikuk saat mendengarkan ucapan mamanya barusan. “Engh ... c–cucu?” tanya Oliv memastikan. “Ya, Mama pengen cucu dari kalian. Pasti sangat lucu kalau mereka main sama Mama,” ucap Lauren lirih. Oliv terdiam sejenak, kemudian menerjapkan mata pelan. “Em ... ya ... Oliv juga masih proses. Mama doakan saja ya,” ucapnya sambil tersenyum paksa. Lauren tersenyum lembut saat mendengarkan perkataan Oliv barusan. “Oh ya, nanti kalau suster udah kasih obat langsung minum. Jangan sampai kalau Mama nggak mau minum obatnya.” “Pasti Sayang. Kamu nggak usah khawatir.” Oliv menggembungkan pipinya. Dia menggenggam tangan mamanya itu sembari mengusapnya pelan. “Mama ini udah tua. Kalau udah sakit bilang ke Oliv, jangan diem-diem terus.” “Oke, kalau kenapa-kenapa Mama bilang ke kamu, Sayang. Tapi, doakan ysng terbaik aja sama Mama.” “Kalau itu sih pasti Ma. Oliv bakalan doain Mama biar cepet sembuh,” ucap Oliv, tulus. *** Oliv menutup pintu ruangan tersebut dan ternyata ada
“Cuma gitu saja. Lagian itu hak manusia untuk menjenguk orang yang lagi sakit.” Oliv menghela napas pelan. Setelah menghabiskan makanannya itu, dia meminum minumannya sampai habis. “Oh ya, gimana sama mobilnya? Aku udah pake tadi, soalnya sekalian manasin sama nganter Mama.” “Ah ya, mau saya transfer sekarang?” “Boleh, kalau udah ada di kamu sih,” ucapnya. “Sudah kok. Sebentar.” Nick mengambil ponsel di saku jasnya itu dan mengotak-atik ponsel di sana. Oliv menatap pria itu yang sedang fokus memainkan HP-nya itu. “Apa temenmu itu sangat butuh? Makanya dia beli mobil aku?” Nick melirik ke samping dan memperlihatkan transaksi ke Oliv. “Mungkin begitu. Sudah masuk ya, itu bonus dari dia juga.” Oliv menerjapkan mata pelan. “Engh– bukannya itu terlalu banyak? Nggak usah ngadi-ngadi deh kamu,” ucapnya cepat. Nick meringis kecil dan meletakkan ponsel di meja. “Itu beneran, kalau tidak. Kenapa saya transfer ke kamu, hah?” Oliv terdiam sejenak. Benar juga sih yang dikatakan oleh N
“Kenapa kamu keluar? Bukannya temanin Mama kamu di dalam?” kata seorang pria yang baru keluar dari sana. Oliv menepis air mata kembali, kemudian menoleh ke Nick yang kini sudah duduk di sampingnya. “Lagi pengen cari angin. Kenapa kamu ke luar juga?” “Lagi pengen keluar juga. Bahasan mereka tidak seru. Mana bahas cucu juga, jadi saya ke luar.” Oliv menghela napas pelan dan memainkan jari-jarinya sendiri di bawah sana. “Mama juga tanya kayak gitu tadi.” Nick menoleh ke samping dan menghela napas kasar. “Apa kamu keberatan? Sepertinya kamu tidak kuat dengan kontrak ini?” Oliv menggelengkan kepala. “Nggak kok, asal ada fee-nya apapun bakalan aku lakuin. Lagian cuma akting doang kan? Itu nggak masalah buat aku,” ucapnya diselingi dengan senyuman paksa. “Semoga saja kamu kuat. Saya juga mau menyingkirkan mantan saya biar tidak mengejar saya lagi.” “Heum? Masih mengejar ... kamu?” tanya Oliv memastikan. Nick menghela napas gusar dan menyandarkan kepala di kursi. “Ya, sepertinya dia
Oliv melirik ke Nick, memastikan pria itu baik-baik saja. “Nick? Are you okay?” Nick menerjapkan mata pelan dan menggelengkan kepala. “Ah ya ... i'm okay, kalau begitu. Saya balik dulu. Kabari saya, kalau kamu tidak balik ke rumah nanti,” kata Nick sebelum meninggalkannya. Oliv menghela napas pelan. Dia sedikit meringis ketika melihat punggung pria itu yang sudah menghilang dari pandangannya. “Sepertinya dia masih ada rasa sama mantannya itu. Cuma, dia juga punya luka dari mantannya itu. Jadi bingung, kalau aku jadi Nick pasti bingung juga sih,” ringisnya. Oliv menggelengkan kepala pelan, kemudian ia masuk ke dalam ruangan mamanya itu. “Nick mana?” “Sudah balik, dia beneran sibuk, Ma.” Oliv menutup pintu kembali dan duduk di kursi, tepatnya di samping mamanya itu. “Yasudah kalau gitu. Kalau kamu mau pulang, pulang saja ya? Kasihan suami kamu itu, dia juga butuh makanan di rumah. Dia juga butuh kamu.” “Dia pasti ngerti, Ma. Nggak usah mikirin Nick dulu. Nick juga menyuruh
Setelah menyuci piring, Oliv memutuskan ke kamar untuk bersiap-siap untuk mandi. “Tidak ada kerjaan kan? Pakaikan dasi saya.” Oliv melirik ke pria yang duduk di kasur sambil memakai sepatu di sana. Di menghela napas pelan saat melihat dasi yang masih bergelantung di sana. “Emang kamu nggak bisa pakai atau gimana? Kalah sama orang muda seperti aku?” “Males,” jawab Nick singkat. Oliv memutarkan bolamatanya kesal. Kemudian, mendekat ke pria itu. “Cepat berdiri, biar aku bantu.” Nick melirik Oliv dari sudut mata. “Santai bisa?” desis pria itu sebelum berdiri. Oliv berdecak pelan, kemudian dia membantu Nick memakaikan dasi. “Umur udah tua, tapi masih bodoh pakai dasi.” “Kan sudah saya bilang. Saya males, kamu tuli atau bagaimana sih?” desis pria itu. Oliv melirik pria itu sekilas dan tak merespon kembali ucapan Nick. Perempuan itu berjinjit-jinjit supaya bisa menjangkau dasi yang akan dirapikan itu. Nick hanya diam dan memandangi perempuan itu. “Bisa nunduk dikit nggak sih?”