Setelah memilih masing-masing satu balon, aku membayar.
Jujur saja, hati ini sakit, melihat betapa terlalunya Agam pada Aira. Lelaki itu benar-benar harus diberi pelajaran.
Kami sudah berada di mobil saat ini. Kulajukan kendaraan roda empat secara pelan-pelan. Mas Agam dan kroninya terlihat berdiri di samping jalan. Kebetulan sekali, ada kubangan air bekas hujan tadi siang. Segera kulajukan mobil dengan cepat agar air yang menggenang itu mengenai tubuh mereka. Dan, kejahatanku sukses. Badan mereka pasti basah kuyup.
Sidang ketiga pembacaan putusan sidang tinggal dua hari lagi. Aku sangat berdebar menanti hari itu datang. Berharap, keputusan cerai akan terjadi pada hari itu.Hari ini, adalah hari ulangtahun Danis yang ke lima. Anak kecil itu merengek sudah lama, ingin agar ulang tahun kali ini dirayakan seperti teman-temannya. Maklum-lah, selama hidup dengan ayahnya, dirinya tidak pernah sekalipun dibuatkan acara seperti itu.Dari pagi, kami sudah sibuk. Mbak Wati, Ibu dan beberapa pekerja pabrik, kuminta untuk memasak di rumah. Mereka membuat nasi tumpeng kuning lengkap dengan lauk pauk, aneka jajan yang dimasukkan dalam plastik, serta menata tempat yang akan digunakan untuk acara potong kue. Fani mendapat tugas menghias ruangan dan membungkus kado untuk doorprize. Bapak yang memasang balon pada bagian atas. Acara akan dilaksanakan jam satu siang. Dengan dua orang badut sudah kusewa untuk meramaikann
“Danis, kenapa sama adeknya gitu, sih? Gak boleh, dong. Kan, adeknya jadi terluka.” Ibu Mas Agam tampak tidak terima melihat cucu kesayangannya terluka.“Bu, tolong jangan marahi Danis. Seandainya tadi Ibu tidak mengiyakan Aira, ini juga tidak akan terjadi. Lagipula, Aira dulu yang mencoba memukul Danis.” Aku menjawab kesal.“Aira masih kecil, Nia, Danis sudah besar.”“Besar apanya, Bu? Usia mereka hanya terpaut satu tahun. Sampai kapan pun, Ibu akan selalu menyuruh anak saya untuk mengalah. Pahami juga perasaan anak saya Bu.”Aira menangis sejadi-jadinya, membuat suasana semakin kacau. Ibu mertua membawa anak itu ke luar rumah. Ibuku yang sempat melongok, tetapi kembali ke dapur lagi. Wanita yang telah melahirkanku terlihat enggan menyusul mereka. Sebenarnya, keluargaku sudah jengah dengan anak kecil itu.Kini, hanya tinggal ada aku dan Mas Agam di ruang tengah. Danis marah dan masuk kamar, disusul k
“Kalau tidak suka, silakan pulang, Mas. Lagian, Mas Agam juga sudah digugat cerai, kan? Kenala masih ke sini? Biasanya juga, gak ingat kapan Danis ulang tahun.” Adik semata wayangku mengungkapkan kekesalannya.Lagi-lagi, Aira menangis karena tidak mendapat barang yang diinginkan.“Danis, ayah pulang, ya?” pamit Mas Agam.“Iya,” jawab anaknya dengan ketus, tanpa menoleh sama sekali.“Aira, kadonya dikasih sama Mas Danis, sana.” Ibu mertua membujuk anak Rani yang masih sesemggukan di pangkuan.Benda yang terbungkus kertas itu, teronggok di sudut ruangan bersama jaket dan Ibu. Sepertinya, Fani yang menyingkirkan.“Gak mau! Kadonya mau dibawa pulang aja!”“Bawa pulang aja. Kita juga malas buka barang kamu,” sungut Fani kesal.Bapak masuk dari ruang tamu, dan segera bergabung duduk bersama kami.“Agam, setelah ini, saya minta jangan data
“Ngapain?”“Taruh sandal mereka di tempat sampah,” jawab Fani, tanpa beban sedikit pun. Bahkan, dia sudah tertawa bahagia.Aku mengembuskan napas. “Kalau ada CCTV, gimana?”“Palingan, Mas Agam diem aja kalau tahu aku yang ngumpetin, Mbak.”Aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala, melihat ulah jahilnya. Beberapa saat kemudian, aku merasa pusing. Mungkin karena terlalu lama berada di ruangan pengap dengan suara gaduh. Aku langsung mengajak Fani untuk pulang.“Kalau kalian masih mau nyanyi, silakan. Nanti aku yang bayar. Mau berapa jam?” tanyaku pada Rena dan Dini.“Kita ikut pulang aja, ah, Mbak. Gak asih kalau cuma.”Jawaban Rena itu bohong. Aku tahu, pasti canggung bila harus bersama Dini yang baru dikenalnya.“Makan dulu, yuk? Mbak Nia yang traktir.”Ya Allah, ini bocah. Aku seperti serang dimanfaatkan.Aku hanya berdecak. B
Diriku berada di toilet lumayan lama. Sekitar seperempat jam, baru kembali ke saung. Sesampainya di sana, Pak Irsya sudah tidak ada. Aku bernapas lega. Segera kuinterogasi Rena.“Kenal, Mbak. Dulu, pas awal nikah, aku ngontrak di perumahan yang sama dengan Pak Irsya. Waktu beliau masih punya istri.”“Kalian pernah membicarakanku?”“Kira-kira?” Rena malah balik bertanya.Aku mendengkus kesal. “Ren, kamu yang kasih tahu Pak Irsya, kalau aku di sini?”“Tidak, Bos. Tuh, Pak Irsya ada di saung sana, lagi ada acara makan-makan juga sama kepala sekolah yang lain.” Rena menunjuk salah stau saung di sana. “Itu namanya jodoh, Mbak. Di mana-mana selalu ajq ketemu.”“Mbak, itu siapa, sih?” tanya Fani, yang memang tidak pernah tahu siapa Pak Irsya.“Calon. Calon suaminya Mbak Nia, Fan. Ingat, ya, calon. Kamu paham, kan?”“Maksud Mbak Rena?&
Teleponku berdering saat aku memasak di dapur. nomor baru. Kuangkat segera dan mengucap salam pada orang di seberang sana.“Mbak, ini Dina.”“Ya, Din, ada apa?” tanyaku malas.“Aku disuruh bude untuk ngabarin sama Mbak, kalau Aira sakit.”“Terus, apa hubungannya sama aku?”“Kali aja, Mbak mau jenguk.”“Maaf, Dina. Aku tidak punya hubungan lagi dengan keluarga mereka, apalagi Aira.”“Nanti aku kirim nama ruangannya, ya, Mbak?”“Gak perlu, Dina,” tolakku, tanpa ampun. “Dengar, apa pun yang terjadi sama anak kecil itu, aku tidak mau tahu.”“Mbak, jahat banget, sih? Aira itu anak kecil, Mbak. Jangan dibawa-bawa untuk melampiaskan kemarahan Mbak sama Mas Agam. Mbak terima saja takdir kalau Mas Agam tidak cinta lagi sama Mbak,” cerocos anak itu, dengan penuh emosi. “Tapi, sekarang Aira sakit
“Buat comblangin ke Mbak, kali, bukan buat aku. Kalau aku, sih, mau gebet dosen bujang pembimbing skripsi aja. Tapi dia mau sama aku, gak, ya?”“Pasti enggak, lah, Fani! Sadar diri, otak pas-pasan begitu.” Kali ini, aku balik mengejeknya.“Eh, Mbak, kalau Pak Irsya masih bujangan, aku mau sama dia. Sayang, udah duda.”Aku diam saja.“Dia sama kamu aja, deh, Mbak. Sama-sama kesepian.”“Hentikan bercandamu, Fani! Kamu maupun Nia, tidak boleh ada yang menikah dengan PNS lagi. Cukup sekali bapak punya menantu berpangkat. Bapak tidak ingin lagi dianggap orang yang tidak punya harga diri.”Seketika, bibir Fani mengatup sempurna saat melihat bapak berdiri di ambang pintu tengah. Muka adikku pucat, antara menahan takut juga malu.Setelah kepergian lelaki yang telah banyak berjasa dalam hidup kami, Fani terdiam. Menatap benda berlayar besar di meja dengan pandangan yang nanar.
Menjalin kerjasama tidak hanya tentang mencari keuntungan. Lebih dari itu, di antara kedua pihak harus terbangun sebuah hubungan pertemanan dan kekeluargaan.Begitulah yang kuterapkan antara diriku dengan para reseller produk kecantikan yang kupasarkan. Sehingga, di antara kami sudah saling mengenal pribadi dan latar belakang masing-masing. Dan bila salah satu di antara reseller mengadakan sebuah acara, kami akan menghadiri secara bersama-sama.Seperti kali ini, salah satu dari mereka ada yang akan melangsungkan resepsi pernikahan. Sudah menjadi langganan, aku dan yang lainnya akan menghadiri secara bersama-sama. Fani sudah berangkat kuliah, jadi kali ini aku akan berangkat sendiri dari rumah.Memakai sebuah seragam gamis dengan outfit brokat berwarna mocca menjadi pilihan busana untuk menghadiri resepsi Weni. Karena anggotaku itu mengadakan pesta di gedung, jadi aku pakai jasa rias supaya penampilanku lebih baik. Selain itu, kami diminta menjadi pengiring penga