Siang ini Nia masih saja memilih untuk diam, suasana hatinya benar-benar kacau setelah melihat Dion dan Raya pagi tadi.Hingga akhirnya suara telpon pun berbunyi, Nia pun menjawabnya dengan segera."Halo," jawab Nia sambil memegang telepon dan meletakan pada telinganya."Kamu sedang apa?" Tanya Dion di sebrang sana, tanpa bertanya pun Dion sudah tahu jika yang menjawab panggilan tersebut adalah Nia.Suara Nia sudah melekat di otaknya sehingga tidak perlu panjang lebar dalam bertanya."Ya," jawab Nia, dia pun tahu itu Dion. Tapi, karena masih kesal Nia pun hanya berbicara seadanya saja."Maaf ya, pagi tadi Mas buru-buru banget. Soalnya Mas kelamaan bangun," Kata Dion lagi.Nia masih saja memilih untuk diam, mendengarkan apapun yang dikatakan oleh Dion melalui sambungan telepon."Mas, juga sedang sibuk sekali. Kamu antarkan makan siang ya, kita makan siang sama-sama, Mas tunggu," Dion pun memutuskan sambungan telepon.Begitu juga dengan Nia yang perlahan meletakan telepon kembali pada t
Nia berusaha tetap tenang, meskipun terasa sangat menegangkan.Hingga akhirnya Dion pun tersenyum setelah menyadari penyebab dari perubahan sikap Nia."Kenapa Mas baru sadar ya?" Kata Dion di selingi tawa kecil.Sedangkan Nia memilih melihat arah lain, dirinya mendadak seperti seorang tersangka yang siap menerima hukuman.Rasanya antara kesal dan juga bingung, takut dan juga menyesal setelah atas kesalahannya sendiri.Tetapi bagaimana lagi, rasa itu memang datang begitu saja. Membuat harinya yang cerah berubah mendung seketika.Astaga Nia, apa yang sedang terjadi pada mu saat ini, ayolah sedikit saja untuk menyadarinya."Jadi, pagi tadi Mas juga tidak tahu mengapa ada wanita itu di depan pintu kamar. Saat kamu muncul, Mas juga baru keluar dari kamar, tidak ada yang terjadi ataupun hal yang harus dipikirkan," jelas Dion bahkan tanpa Nia bertanya sekalipun.Mungkin dengan sedikit penjelasan bisa membuat istrinya itu mengerti, lebih-lebih lagi jika wajah Nia kembali bersinar karena senyu
Akhirnya Dion pun melepaskan Nia, kemudian menarik tengkuk Nia namun saat itu bertepatan dengan pintu yang tiba-tiba terbuka.Sepertinya semua harus tertunda dengan penuh kekecewaan yang begitu luar biasa.Reza berdiri di ambang pintu dengan beberapa berkas di tangannya, bahkan berkas itu sampai terjatuh di lantai.Apa yang kini di rasakan dan di pikirkan oleh Reza?Entahlah, mungkin sakit yang mulai terasa. Terlambat menyadari cinta ternyata menyisakan sebuah penyesalan yang teramat dalam.Membuat Nia dan Dion pun tersadar, hingga akhirnya Dion pun menghentikan keinginannnya yang padahal hampir saja merengkuh Nia ke dalam dekapan hangatnya.Sesaat kemudian Nia pun memilih untuk menjauh, melihat sekitarnya asalkan tidak melihat Reza.Nia bukan menolak, hanya saja menurutnya itu adalah hal pribadi yang tidak pantas untuk di pertontonkan pada orang lain.Selebihnya tidak sama sekali, bahkan tidak untuk menjaga perasaan, apa lagi sampai menjaga perasaan Reza.Tapi bagaimana dengan Reza?
Tidak ada yang dapat menghalangi kebahagiaan ini, bahkan semua seakan semakin membara saja.Hembusan angin yang menyentuh seakan menjadi pendukung kebahagiaan, bergandengan tangan dengan erat sambil berjalan di tepi pantai.Menikmati keindahan matahari yang hampir tenggelam di perairan laut lepas.Tak pernah Nia bermimpi bisa kembali bahagia setelah trauma di masa lampau yang cukup menyisakan sebuah luka.Namun, siapa sangka, setelah badai yang menerpa kini terbitlah sinar cinta yang bersemi di hati.Menepikan luka lama dan membangun mahligai pernikahan bersama orang baru, padahal sudah jelas bahwa dari awal keduanya sama-sama terpaksa mengawali pernikahan ini.Lagi-lagi semuanya sudah di depan mata, di balik luka lara ini ternyata masih bisa sembuh juga dan Nia berharap semoga kebahagiaan ini tidak akan berlalu begitu saja.Nia berdiri di tepi pantai, dengan Dion yang memeluknya erat dari belakang.Mata keduanya tertuju pada matahari yang perlahan mulai tenggelam di laut lepas, begit
Pagi harinya Nia pun terbangun dari tidurnya, itupun karena cahaya matahari yang menyentuh wajahnya.Hingga akhirnya Nia pun melihat jam dinding, seketika matanya pun melebar sempurna."Jam 11:20?" Nia benar-benar shock, hingga akhirnya melihat ke sampingnya. Tetapi, tidak ada Dion di sana."Udah, jangan panik. Zaki, udah bobo siang ini."Nia pun langsung melihat asal suara, siapa lagi kalau bukan Asih.Bahkan Zaki sudah terlelap dalam box bayinya, tapi barusan Asih mengatakan apa?"Zaki, tidur siang?" Tanya Nia."Iya, emang Ibunya yang baru bangun tidur?" Celetuk Asih sambil cekikikan.Sebab, Asih sedang menggoda Nia saat ini.Sementara itu Nia hanya mengusap wajahnya, merasa malu setelah menyadari Asih sedang menggoda dirinya.Hingga akhirnya Asih pun berjalan ke arahnya, kemudian duduk di sisi ranjang."Gimana?" Tanya Asih sambil mencubit lengan Nia."Apanya?" Tanya Nia kembali, karena tidak mengerti sama sekali."Ya ampun, itunya! Ini," Asih pun merapatkan kedua tangannya."Ya amp
Ya ampun, kenapa mendadak Dion yang aneh?Mana Dion yang dingin, pendiam bahkan, irit dalam berbicara.Entahlah, tetapi semuanya kini benar-benar telah berbeda.Dion sudah menjelma menjadi suami yang begitu hangat pada istrinya.Membuat Nia benar-benar berbunga-bunga, tidak bisa hanya diungkapkan dengan kata-kata, karena perlakuan Dion benar-benar penuh kasih sayang, bahkan menyayangi Zaki seperti anaknya sendiri."Selesai!" Dila tersenyum bahagia saat tugas sekolahnya telah selesai dengan baik.Bibirnya tampak tersenyum puas dengan hasil kerjanya."Sudah?""Udah, Mami. Dila, mau main dengan Adek Zaki."Nia pun mengangguk, kemudian segera keluar dari kamar.Karena dirinya ingin melihat Dion, benar saja ternyata suaminya itu masih berdiri di depan pintu."Mas?""Apa?" Tanya Dion dengan wajah masamnya.Nia pun mengangkat bahunya dengan santainya, seakan tidak perduli pada suaminya itu, memilih pergi seakan tidak perduli sama sekali.Tetapi percayalah itu hanya sebuah strategi semata.Se
"Kenapa cemberut sekali?" Dion terus saja menatap wajah Nia yang masam, entah apa sebabnya sama sekali tidak dimengerti oleh pria itu."Mas, aku sering banget lupa minum pil. Gimana ya, kalau aku hamil," Nia pun mengusap wajahnya beberapa kali.Bukannya Nia tidak mau, hanya saja Zaki masih terlalu kecil akan sangat kasihan sekali bayi yang baru berusia hitungan Bulan itu nantinya.Dion pun mengelus kepala Nia, mengerti dengan apa yang dirasakan oleh istrinya tersebut.Hingga dirinya ingin sedikit menenangkan yang mungkin saja bisa membuat keadaan sedikit membaik."Kita minta yang terbaik saja, kalau pun hamil lagi pasti Mas ada buat kamu."Nia benar-benar tidak mengerti harus bagaimana, tetapi dipikirkan juga tidak lantas merubah apapun.Hanya saja trauma melahirkan masih menghantui, apalagi saat pendarahan hebat malam itu."Kamu tenang dong, jangan stres," lagi-lagi Dion berusaha untuk menyemangati Nia, sebab dirinya sendiri juga paham apa yang kini dipikirkan oleh Nia.Hingga tiba-t
Rumah tangga yang dijalani oleh Nia dan Dion benar-benar sudah membaik, penuh warna dan juga penuh kehangatan.Perhatian Dion terhadap Nia tidak lagi di ragukan, bahkan pagi ini saja keduanya masih berduaan saja."Mas, berangkat dulu," pamit Dion saat berada di depan pintu."Hati-hati," jawab Nia diiringi dengan senyuman manisnya.Namun tidak dimengerti sama sekali, mengapa Dion sudah berpamitan beberapa kali namun tidak juga berpindah dari tempatnya."Kenapa?" Tanya Nia bingung."Apanya?" Dion malah bertanya kembali, karena Nia tidak mengerti dengan apa yang diinginkan oleh Dion saat ini."Kok nanya balik sih?"Sungguh Nia semakin bingung, Dion yang membuatnya menjadi demikian."Mas, udah pamitan....""Lalu?" Dion mengangkat tangannya, kemudian mengarahkan pada dinding, sementara Nia yang bersandar pada dinding pun semakin bingung."Apaan sih?" Nia mendadak salah tingkah karena wajah Dion yang begitu dekat dengan dirinya, "sana, katanya mau berangkat."Nia pun mendorong dada Dion, b