"Huuueekkk."Dari tadi Dion terus saja muntah-muntah, bahkan untuk melihat makanan saja membuatnya tidak berselera sama sekali.Belum lagi pikirannya yang masih tertuju pada Nia dengan keadaannya yang tidak baik-baik saja.Bahkan Nia memutuskan untuk pulang sebelum diperbolehkan oleh dokter.Untuk bertemu dengan dirinya saja Nia tidak memberikan kesempatan sedikitpun.Sekalipun hanya satu menit saja Dion sangat mengharapkan, namun apa daya kerasnya pendirian Nia tidak bisa di robohkan dengan begitu saja.Hingga lagi-lagi Dion merasakan mual yang begitu luar biasa, kembali berlari ke kamar mandi dan memuntahkan cairan saja.Rasanya sungguh sangat melelahkan sekali, entah sampai kapan akan begini terus.Dengan segera Dion pun menelan obat, mungkin karena terlalu lelah dan tidak makan membuatnya menjadi begini.Tetapi mendadak lidahnya ingin memakan sesuatu yang asam, dan meminta Art untuk membuatnya rujak.Akhirnya Dion pun memutuskan untuk menuju rumah sakit di mana Dila masih dirawat.
"Tidak ada masalah dengan mu," kata Niko setelah memeriksa keadaan Dion.Dion yang sudah tidak dapat menahan rasa tidak nyaman pada dirinya memutuskan untuk langsung saja menemui Niko, memeriksakan keadaannya atau penyakit yang dia derita saat ini.Sejak kemarin sampai pagi tadi rasa mualnya seakan semakin menjadi-jadi, bahkan membuat hari-harinya sangat tidak nyaman.Namun, anehnya Niko malah mengatakan tidak ada yang salah dengan tubuhnya, lantas apa yang terjadi kepada dirinya.Saat ini Dion seakan meragukan kehebatan Niko sebagai seorang dokter."Apakah mungkin seseorang tidak sakit. Namun, mengalami keluhan seperti yang kurasakan ini," tanya Dion dengan kemarahan, karena kesal pada apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu."Tapi kau memang tidak sakit!" Jawab Niko lagi."Dasar dokter aneh, aku sakit, mual, pusing dan mudah lelah, kau tahu itu? Itu adalah tanda-tanda orang sakit!" geram Dion semakin meninggikan nada suaranya karena benar-benar kesal kepada Niko."Aku menjadi curiga
Dion pun memutuskan untuk kembali ke rumah, pikirannya menjadi kacau karena memikirkan apa yang dikatakan oleh Niko barusan.Namun, sesampainya di rumah ternyata ada Karina yang menunggunya di depan pintu masuk.Sial.Dion sedang tidak ingin bertemu dengan seseorang terutama Karina, apa lagi yang diharapkan oleh wanita itu.Dion pun memilih untuk kembali masuk ke dalam mobilnya, berniat ingin segera pergi."Dion, tunggu!" Karina pun berlari ke arahnya, kemudian menghentikan keinginan Dion untuk pergi.Dirinya harus berbicara, jika tidak semuanya akan menjadi lebih rumit."Dion, aku ingin bicara!"Dengan terpaksa Dion pun kembali turun dari mobilnya, dia pun tak ingin terus berlarut-larut dalam masalah seperti ini.Menghadapi dengan cepat adalah solusi untuk menyelesaikan masalah."Dion, kau tega menceraikan aku?" Karina pun menunjukan surat cerai yang dikirimkan ke rumahnya.Rasanya tidak percaya saat menerima surat tersebut, bahkan selama ini berpikir jika Dion sangat mencintainya da
Dua hari berlalu, keadaan Nia sudah lebih baik dari hari-hari sebelumnya.Bahkan kini terasa lebih segar."Gimana pagi ini?" tanya Farah yang melihat Nia sudah keluar dari dalam kamar.Duduk di meja makan dan melihat sudah ada nasi goreng kampung tanpa ada lauk sama sekali.Nia sudah terbiasa dengan hal seperti ini, bahkan makan nasi putih di campur garam pun sudah terbiasa karena dirinya memang terlahir dari keluarga sederhana."Udah lebih baik, Bu," jawab Nia sambil mengunyah nasi."Syukurlah, kalau begitu nanti Ibu nitip Zaki ya. Soalnya ibu mau ke pasar, mau cari bahan-bahan untuk membuat kue. Ibu mau nitip di warung-warung kecil. Mungkin bisa membantu untuk sehari-hari," kata Farah.Nia pun terdiam sejenak sambil memikirkan apa yang dikatakan oleh Farah barusan."Bu, biar Nia aja yang cari uang. Ibu udah tua, main di rumah aja sama Zaki, palingan ibu nggak kepanasan.""Nia, menurut ibu, apa yang kamu katakan juga benar. Tapi, rasanya tidak mungkin kalau kamu berjualan di lampu me
Hanya saja Nia yang merasa sial karena kehadiran Dion yang sama sekali tidak diinginkan."Selamat pagi Bu," sapa Dion dan ingin mencium punggung tangan Farah."Bu, masuk," dengan cepat Nia meminta ibunya masuk ke dalam rumah, tanpa mengijinkan Dion untuk mencium punggung tangan Farah terlebih dahulu.Farah pun segera masuk ke dalam rumah, karena tidak ingin membuat Nia marah. Lagi pula Dion memang lelaki yang tidak memiliki pendirian.Dion pun kembali menurunkan tangannya, padahal sudah hampir menggapai tangan Farah.Tidak masalah, karena Dion butuh Nia dan sangat beruntung sekali Nia berada di depan matanya."Nia, Mas ingin sekali bicara pada mu," Dion pun mulai mengutarakan maksudnya menemui Nia.Tapi sayangnya Nia memilih untuk tidak perduli, hingga dirinya mendorong sepeda motornya menuju tempat pengisian bensin terdekat."Nia, dengarkan Mas," Dion pun mengikuti Nia hingga selesai mengisi bensin.Tapi lagi-lagi semuanya tidak semulus itu, karena sepeda motor milik Nia tidak juga b
Nia pun perlahan membuka matanya, melihat sekitarnya dan mencoba untuk mendudukkan tubuhnya."Tidak usah bangun, istirahat saja dulu," Dion pun mencoba untuk membantu Nia.Namun di tepis begitu saja membuat Niko menahan tawa."Mmmmfffffpp."Niko bagaikan menonton sebuah adegan film dimana suami yang memohon maaf pada istrinya, bedanya ini adalah nyata.Jadi rasanya jauh lebih menyenangkan dan juga lucu dapat hiburan tersendiri saat lelahnya bekerja.Dion pun melayangkan tatapan tajam padanya, bukannya diam tawa Niko malah pecah."Ahahahhaha."Plak!Dion pun memukul wajah Niko, persis seperti seorang yang akan memukul nyamuk.Hingga membuat tawa Niko, pun terhenti dengan seketika itu juga."Ah!" Niko pun meringis menahan sakit.Dion pun beralih menatap Nia, perduli setan pada Niko yang menjadi korbannya."Kamu sudah lebih baik?"Nia pun memilih untuk turun dari tempat tidur rumah sakit itu, kemudian berjalan menuju kamar Dila."Ahahahhaha," lagi-lagi Niko tertawa lepas melihat Dion yan
"Kamu mau makan sesuatu dulu?"Nia tidak perduli dengan pertanyaan Dion, saat ini dirinya hanya memikirkan cara untuk bisa bangkit dan sukses dengan caranya sendiri.Mungkin saja bisa membuat kue seperti apa yang dikatakan oleh Ibunya.Nia ingin memiliki penghasilan sendiri dari pekerjaannya sendiri sehingga bisa membesarkan anak-anaknya tanpa mengikuti aturan orang lain."Nia," lagi-lagi Dion pun memangilnya, tapi sampai saat ini pun Nia memilih untuk tidak perduli.Bahkan keduanya duduk tidak bersebelahan, Nia duduk di jok belakang. Semetara Dion yang mengemudi mobil.Sesekali Dion melihat Nia dari pantulan kaca spion.Sungguh sulit untuk mengajak wanita itu untuk berbicara saja, karena Nia tampak tidak peduli sama sekali."Nia, Mas masih suami mu!" Kata Dion yang mencoba untuk mengingatkan akan status keduanya."Sedang proses cerai, lagi pula aku tidak mau lagi bekerja untuk mu!" Jawab Nia.Dion pun menepikan mobilnya, menatap Nia dari kaca spion mobil dengan tajam.Nia pun memilih
"Nia!" Seru Dion baru menyadari bahwa Nia sudah pergi menumpangi ojek.Sayangnya Nia memilih untuk tidak perduli, karena saat ini dirinya hanya butuh ketenangan saja.Hingga akhirnya Nia pun meminta untuk berhenti, padahal belum juga sampai di rumah.Nia pun memilih untuk berada di luar sejenak, meluapkan air mata yang sebenarnya ingin mengalir keluar.Karena tidak ingin ibunya mendegar tangisannya jika menangis di rumah.Akhirnya kini Nia pun duduk di tepi danau buatan, di pinggang kota, kemudian menumpahkan segala kekesalan yang ada dengan air mata yang tertahan sejak tadi.Menangis dengan sebanyak-banyaknya untuk membuat perasaannya menjadi lebih baik.Punggungnya pun tampak bergetar hebat menahan rasa sesak di dada.Mengingat apa yang dikatakan oleh Dion barusan yang hanya memikirkan anaknya, lantas bagaimana dengan anak yang ada di rahimnya.Mengapa seakan tidak sama, bukankan Nia begitu tulus menyayangi Dila.Mengapa tidak dengan Dion, apakah Dion sudah lupa saat menidurinya.Ni