Share

Bab 07

Aku merasa terabaikan. Tapi bersyukur karena bisa melihat anakku dari dekat.

Aku ingat perkataan Arga saat pertama kali bertemu denganku. CEO perusahaannya adalah ibunya. Jika Anaya adalah ibunya Arga, berarti Arga adalah anak dari pernikahan Anaya sekarang? Ingin sekali aku bertemu pria itu. Pria yang sangat beruntung.

Aku akan mencari waktu yang tepat, untuk bertemu dengan Anaya. Akan aku tanyakan semua hal mengenai dirinya. Dan juga tentang Aluna dan Anatasya yang tidak mengenalku lagi.

"Saya pamit Tuan. Sekali lagi terima kasih atas bantuan anda." Aku mengangguk sopan. Menatap Anatasya dan Anaya yang masih berdiri di ruangan itu. Dan melangkah keluar dari sana. Oh. Sungguh aku menyesal menceraikan Anaya.

Aku dan Talita mencari keberadaam mereka, berharap dengan sedikit uang, mereka bersedia membantu mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Radit.

Kami pikir, keadaan Anaya dan anak-anaknya pasti sangat memprihatinkan karena kemiskinan. Dan mereka akan setuju menjadi pendonor untuk Radit jika kami memberi mereka sedikit uang.

Aku lupa, jika apa saja bisa terjadi selama tiga belas tahun. Bahkan sekarang, aku gagal bangkrut karena uang dari mereka. Memalukan.

Jika aku utarakan maksudku untuk meminta Aluna atau Anatasya menjadi pendonor, apakah mereka akan mau? Sekarang saja, mereka tidak mengenali aku.

Mereka sangat susah untuk dijangkau. Sungguh tidak bisa kusentuh.

Di sandaran kursi mobil, aku menyandarkan kepalaku. Dengan mata terpejam. Mengingat, bagaimana aku memperlakukan Anaya.

"Mas. Aku sudah tidak mempermasalahkan pernikahan keduamu itu. Lalu mengapa kau mau menceraikan aku? Apa salahku?"

"Talita sudah tak tahan denganmu Anaya. Dengan adanya kamu dan anak-anakmu, keuanganku harus terbagi juga. Dari pada kehilangan Talita, aku lebih memilih menceraikanmu!"

Anaya hanya tertunduk dalam isak tangisnya.

Tet.. Tet.. Klakson bus membuyarkan lamunanku.

***

"Gimana? Kamu gak jadi bangkrut kan Mas? Kalo udah dapet uang, aku minta jatah bulananku. Udah lama aku gak belanja!" Talita memberondongku dengan pertanyaan, saat aku masuk ke dalam ruangan Melisa.

Melisa sudah tampak membaik. Aku belum bisa mencerca dia dengan banyak pertanyaan. Takutnya, dia malah stress lagi.

"Apa kata Dokter mengenai kesehatan Melisa?" aku jawab pertanyaan Talita dengan pertanyaan juga. Dia selalu seperti itu. Uang dan uang. Aku sudah berjanji dalam hatiku. Tak akan aku biarkan Talita merongrong uang perusahaan.

"Mas. Jawab dulu pertanyaanku!"

"Apa yang harus aku jawab Talita? Aku memang mendapatkan suntikan dana. Tapi itu hanya untuk satu buah proyek. Kau hanya akan mendapatkan jatah 3juta untuk keperluan rumah. Berhematlah jika tidak mau jadi gelandangan. Rumah yang kita tempati akan aku jual untuk tambahan modal. Kita akan pindah ke rumah yang lebih kecil. Terima atau tidak, terserah kau!" untuk bertahun-tahun lamanya, baru sekarang aku berani mengambil sikap tegas kepada istri dolarku itu.

"Apa maksudmu Mas? 3juta? Bahkan itu hanya untuk uang jajan Virgo. Kau mau membunuh kami? Bagaimana dengan keperluan Melisa, keperluanku. Bapak dan Ibuku, adik-adikku?"

"Aku tidak tau Talita. Atur uang itu agar cukup. Jangan beri jajan anak-anakmu. Berikan uang seadanya sama keluargamu. Beri pengertian kepada mereka, bagaimana keadaan ekonomi kita sekarang!"

"Mana bisa begitu Mas. Mereka tanggung jawab aku. Aku gak mau tau yah. Uang bulanan aku harus tetap stabil. Tidak ada pengurangan!"

"Baguslah kalau kamu sadar. Jika mereka adalah tanggung jawabmu, maka bertanggung jawablah Talita! Kamu kan gak bisa cari uang. Aku saranin, jual aja perhiasan dan tas-tas brandedmu itu. Penuhi kebutuhan keluargamu."

"Saran kek apa itu Mas? Masa aku harus jual perhiasanku. Gak akan!"

"Yah udah. Cukupkan kebutuhan rumah dan keluargamu dengan 3juta itu!"

***

"Mbak Melisa, saya periksa dulu yah." suara lembut itu membangunkanku yang tertidur di sofa ruangan inap Melisa.

Dua orang suster dan dua orang dokter sedang memeriksa Melisa. Talita duduk di samping ranjang Melisa, mengamati para dokter muda itu bekerja.

"Keadaan Mbak sudah lebih baik. Minum obat teratur, dan jangan stress yah. Besok sore, Mbak sudah boleh pulang."

Aku senang Melisa cepat pulih. Dan lebih senang lagi karena yang memeriksa Melisa adalah Aluna.

Gegas aku berdiri saat rombongan para medis itu hendak keluar ruangan.

"Dokter Aluna, bisa minta waktu sebentar?" dengan cepat aku menahannya.

Teman-temannya sudah keluar ruangan. Aluna berdiri menungguku. Setelan jas putih di tubuhnya, membuat wajah manisnya, kian terlihat berkharisma.

Senyum manis milik Anaya di wajahnya, semakin membuat dia mempesona. Aluna memang mirip sekali dengan Anaya.

"Ada yang bisa saya bantu Pak? Pasien saya banyak pagi ini." Dia melirik jam yang melingkar di lengannya.

"Saya ingin menyampaikan sesuatu yang penting kepada Dokter. Bisakah nanti sore, kita minum kopi di cafe depan. Saya yang traktir."

"Saya tidak bisa janji Pak. Sebenarnya, nanti sore saya ada acara keluarga, yang tidak bisa saya tinggalkan."

"Oh. Jadi, kapan Dokter punya waktu?"

"Saya belum tau Pak. Jadwal saya padat. Maaf, saya harus pergi. Selamat pagi Pak."

Aku menatap tubuh anakku itu menjauh dariku. Betapa kau tidak dapat ayah jangkau nak. Kau, adikmu, ibumu. Ah ... Aku menyugar rambutku.

Saat berbalik, aku melihat Melisa dan Talita menatapku dengan tatapan tajam.

"Wah. Sudah berani bikin janji dengan wanita muda di depan istri sendiri kamu Mas," cerocos Talita.

"Jangan curiga yang tidak-tidak Talita. Memangnya kau tidak memperhatikan Dokter itu dengan seksama? Dia adalah Aluna. Anak sulungku dengan Anaya. Aku ingin bertemu dengannya karena mau bertanya tentang Radit. Bukannya kita sudah lama mencari mereka?"

Talita membekap mulutnya dengan ekspresi kaget yang luar biasa berlebihan.

"Dokter tadi anak Anaya? Ah ... Masa sih Mas? Kamu gak salah orang kan? Masa anak Anaya bisa menjadi Dokter? Apa Anaya sudah menikah lagi? Dari mana kamu tau Mas?"

"Aku sudah menemukan Anaya dan anak-anaknya."

"Baguslah. Jadi, kita akan minta salah satu dari mereka untuk mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Radit kan?" senyum Talita mengembang.

Aku menarik nafas berat. Keadaan sungguh berbeda sekarang. Jangankan meminta mendonorkan sumsum tulang belakang, untuk bicara dengan mereka saja, aku tidak memiliki cela.

"Entahlah Talita. Mereka berbeda sekarang. Kau tau? Uang yang aku dapatkan untuk perusahaan adalah uang Anaya. Uang dari perusahaan yang di pimpin Anaya. Anaya adalah seorang CEO sekarang. Mereka bukan lagi orang miskin. Sangat susah untuk aku jangkau."

Aku menunduk. Rasa sesal dan kesedihan membaur menjadi satu. Ingin sekali ngotot di depan Anaya, dengan alasan, Aluna dan Anatasya adalah darah dagingku, namun, saat mendapati respon Aluna dan Anatasya yang tidak mengenalku, bahkan membangun tembok pembatas yang tinggi, membuatku menyadari, mereka tidak ingin menjalin hubungan denganku, ayah mereka.

"Luar biasa yah si Burik itu. Aku yakin dia menikah dengan pria kaya, dengan jalan guna-guna atau pelet. Pria mana coba yang suka sama janda anak dua, dengan tampang pas-pasan seperti Anaya?"

"Jangan bicara sembarangan Talita. Nanti kau akan malu sendiri."

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Rizianita Permatasari
sdh pernah baca di dream ini suruh bayar lg cerita yg udh pernah dibaca...bukannya lgs ke part 2 nya aja...
goodnovel comment avatar
Nuri Mahardika
terlalu besar poin nya utk setiap cerita
goodnovel comment avatar
Netty Rudysno
blm seberapa sdh d srh buka kunci pake koin ..msh ada y aplikasi novel yg pake koin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status