Share

03 — Low Profile

Dering telepon Ameera bergetar beberapa kali. Panggilan telepon itu masuk sesaat setelah dia keluar dari mobil hitam Jicko. Orang itu mengantarnya pulang, dengan rasa sopan. 

Ameera masih berdiri di depan pagar rumah. Matanya memerhatikan pantat mobil autopilot milik Jicko sampai lenyap di persimpangan jalan rumah. Ameera mengembuskan napas panjang kali ini. Membuang rasa gugup yang menyelimuti badan. 

“Halo, Nak. Bagaimana acaranya? Jicko bilang apa ke kamu?” Maria memberondong pertanyaan ketika panggilan masuk itu telah terhubung. 

Ameera tersenyum getir. Entah jawaban apa yang harus dikatakannya saat ini kepada Mama, orang yang sudah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. Tapi seyogianya, Ameera tidak boleh mengatakan bahwa Jicko menolak untuk menikahi Ameera. Karena gadis itu tahu betul, nanti Mama akan merasa terluka. 

Pikiran Ameera kemudian melanglang buana, kembali ke tempat tadi. Saat percakapan mereka berlangsung amat serius di restoran hotel. Jicko dengan raut wajah yang menakutkan menatap Ameera seperti tidak ingin membiarkan lawan bicara berkutik. Itu salah satu ketakutan Ameera. Dia tidak bisa berbuat banyak ketika berada dalam situasi terintimidasi. 

“Aku sudah tahu profil kamu,” kata Jicko beberapa saat lalu. “Kamu termasuk orang yang low profile. Yah, termasuk bagus buat perempuan seperti kamu.” 

Jicko menarik napas panjang sesaat. Punggungnya tenggelam di sandaran kursi. Tangan melipat di dada. Mata sipitnya menatap lamat-lamat wajah Ameera. Penampilannya oke, cukup cantik. Dia menawan dengan setelan dress sebatas tulang kering kaki. Kecuali bahunya yang terbuka. Itu membuat Jicko menelan ludah. Entah kenapa, itu mengingatkan pada kejadian saat SMA. 

“Aku seorang aseksual. Aku tidak tertarik dengan lawan jenis atau yang sejenis. Aku hanya tertarik dengan pekerjaan dan karirku saja. Artinya, aku tidak butuh pasangan hidup sama sekali. Aku tidak butuh pernikahan. Jadi, rencana Mama itu sebaiknya tidak kamu iyakan.” Jicko melanjutkan percakapan, “Aku hidup belasan tahun di negara liberal yang suka pada kebebasan. Menikah bukanlah keharusan. Poin utama di sini, Mama menginginkan seorang cucu. Aku berjanji akan memberikannya.”

“Mengingat aku juga sudah cukup dewasa, usiaku terbilang masuk usia kepala tiga, tidak salah kalau aku juga butuh seorang anak, walau aku tidak cocok berperan sebagai seorang Papa. Tetapi melihat prospek di masa depan, aku butuh anak sebagai penerusku kelak.” 

“Percakapan kita tidak akan membahas soal pernikahan, melainkan seorang anak. Aku menawarkan beberapa hal, mungkin ini bisa kamu pertimbangkan. Aku ingin kamu mengandung anak untukku, dengan catatan kita tidak menikah. Anggaplah pekerjaan ini sebagai joki atau rahim sewaan.” 

“Jika kamu berhasil memberikan aku bayi laki-laki, maka aku akan memberikan kamu banyak fasilitas mewah yang menguntungkan. Di antaranya, rumah mewah di kota modern, Tangerang. Fasilitas VVIP untuk semua akses, kartu kredit tanpa limit, kalau kamu minta jet, aku akan memberikannya. Itu kesepakatan yang aku tawarkan.”

“Aku juga akan membiayai pendidikan kamu sampai menjadi dokter, biaya operasi kakak kamu yang bernilai milyaran bisa aku tanggung, segalanya bisa aku penuhi. Tetapi ingat, aku hanya perlu bayi laki-laki. Aku tidak mau bayi perempuan. Bagaimana?” 

Ameera menelan ludahnya sekali lagi. Entah respon apa yang harus diungkapkannya kala itu. Ini di luar ekspektasi. Kata Mama, Jicko orangnya ramah dan pengertian. Dia tidak seperti orang yang ada di depannya ini. Pertemuan mereka malam ini membahas pernikahan, bukan hal yang lain. Kalau tahu seperti ini pembahasannya, mungkin Ameera tidak akan ke sini. Demi Tuhan. Dia menyesalinya. 

Ameera yang terdiam tanpa sepatah kata membuat Jicko menyeringai tipis. Dia tahu gadis ini bimbang. Penawaran yang Jicko berikan adalah hal sebanding dengan apa yang dimintanya. Sebaliknya, Ameera harus memenuhi persyaratan yang Jicko ajukan. 

“Oke, dengar baik-baik. Jangan terlalu ragu untuk mengambil kesimpulan. Di Korea, para perempuan mengandung bayi akan diberikan tunjangan oleh pemerintah. Mereka didukung penuh dalam program ini. Apa yang aku tawarkan, rasanya hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang di Korea.”

“..., dan, di Korea pasangan tanpa status pernikahan bisa tinggal bersama. Permasalahan di sini bukan soal status. Tapi kenyamanan. Jika kamu suka dengan penawaran ini, maka kamu adalah pilihan yang terbaik.” 

“Aku perlu memikirkannya dulu.” Ameera menjawab pendek. Respon dan raut wajahnya amat datar. Ingatan Ameera soal yang tadi lenyap, saat suara Mama menginterupsinya lagi. 

“Meera, kok diem?” 

“Eh, iya, Ma. Apa tadi?” Ameera menjawab cepat. 

“Itu, gimana yang tadi dengan Jicko. Lancar nggak?”

“Ehm ..., lancar, Ma.” 

“Dia bilang apa?”

“Dia bilang ..., kami perlu perkenalan lebih baik lagi dari hari ini.” 

“Tuh kan, apa Mama bilang. Jicko itu kalau sudah lihat kamu, dia pasti bakal langsung suka. Cantik begini. Anak itu harus dipaksa dulu, baru mau dianya.” 

“Iya, Ma.” Ameera mengulum senyum getir. Sesaat berikutnya, panggilan telepon itu terputus. Ameera memejamkan matanya beberapa detik. Skenario kebohongan ini belum pernah dirancangnya sama sekali. Nanti kalau Mama tahu dia berbohong, akankah Mama tidak marah sama sekali? Meski di sini yang jadi permasalahan adalah Jicko. 

Tangan Ameera memainkan kartu nama hitam bertuliskan nama Jicko dengan guratan tinta emas di permukaannya. Tertulis jelas nama Jicko Aditama di sana dan tempatnya bekerja. Pria itu yang memberikan tadi, saat Ameera keluar dari mobil canggihnya. 

••••

“Gimana, cantik kan anaknya?” 

“Iya.” 

“Anaknya penurut itu.” 

“Iya, dia penurut. Ada lagi yang mau Mama puji tentang dia?” Jicko mendelik sebal. Mamanya terlalu cerewet. Sumpah, Jicko kesal mendengar celoteh beliau. 

Beberapa menit lalu, seusai Jicko pulang dari mengantar Ameera, selepas mandi, Mama menelponnya. Dia bertanya tentang pertemuan mereka beberapa jam lalu. Jicko berdiri di depan dinding kaca tebal dan transparan di rumahnya. Tempat itu langsung terhubung dengan taman sepetak, seluas kamar kost-kostan. Jicko dan sang ibu tidak berada di satu rumah.

Sudah lama sekali Jicko meninggalkan kediaman sang ibu. Kira-kira tiga atau empat tahun lalu. Karena kediamannya lebih dekat dengan kantor dibandingkan dengan rumah utama keluarga. Saat itu dia bertelanjang dada, hanya mengenakan handuk putih menutup bagian bawah, sisa membasuh badan tadi. 

“Pokoknya Mama mau kamu segera nikahin dia. Soalnya Ameera itu pilihan terbaik buat Mama.” Maria melanjutkan ucapannya. Nada suara terdengar antusias nan bahagia. 

Jicko mengerutkan dahinya. Masih saja itu yang dikatakan olehnya. Jicko mendecak pelan, tangan kirinya memijit kening. 

“Ma, jangan bahas itu lagi, oke. Keputusanku tadi siang masih sama. Aku menuruti permintaan Mama, tapi tidak dengan menikahi dia.” 

“Jicko! Lancang kamu ya!” Suara Maria berseru meninggi, “Kamu kira Ameera itu pelacur, hah? Yang seenaknya mau kamu pakai sesuka hati. Kamu kalau ngomong nggak pernah disaring.” 

“Itu keputusanku. Suka nggak suka, Mama harus terima.” 

“Oh, oke. Itu keputusan kamu. Mama kira dengan mempertemukan kamu dengan Ameera, mungkin kamu akan suka sama dia atau tertarik paling tidaknya. Ternyata hasilnya sama aja. Mama rupanya yang terlalu berekspektasi lebih di sini.” Maria men-jeda sejenak percakapan keduanya. 

Terdengar helaan napas berat dari balik gawai pintar Jicko. Pria itu memahami keadaan ini. Mama pasti lagi menahan kesal dan kecewa. Jicko tahu sifat sang Mama yang satu ini. 

“Ma ...?” Jicko menginterupsi. Takut-takut Mama meninggalkan percakapan daring mereka begitu saja. 

“Mama terima keputusan kamu, Nak. Mama ikhlas. Tapi Mama minta, nanti kalau Mama mati, kamu nggak usah datang ke pemakaman Mama, ya. Itu permintaan terakhir Mama.” 

“Ma! Kok ngomong gitu, sih?” Jicko berseru lantang. Dia tidak suka dengan percakapan ini. Namun sayangnya, panggilan itu langsung terputus. Mama mengakhirnya. Jicko mengembuskan napas sengal. Telepon genggam dilempar ke atas sofa abu-abu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status