Ratu dan Rezan kembali ke ruang TV, duduk bersisian sambil memandangi televisi mati.
"Ada apa?" kata Ratu membuka percakapan.
"Tadi pagi Laras menemui saya," Rezan menggantungkan ucapan, "Dia memberi saya sebuah flash disk berisi video kamu," tambahnya menoleh ada Ratu. Gadis itu mengernyit.
"Video apa?"
"Video kamu yang sedang menelepon seseorang sambil membahas hutang. Apa ini alasan kamu meminta uang 10 juta pada saya waktu itu?"
Teg!
Jantung Ratu tertembak, ia khawatir Rezan akan memarahinya dan meminta kembali uang 10 juta yang sudah pria itu berikan.
semoga suka yaaa ....
“Tiga miliar, hutang yang harus aku lunasi sejak tiga tahun terakhir,” kata Ratu dalam pelukan Rezan setelah ia lebih tenang, “Aku dan Nayla berusaha mencari uang untuk melunasinya tapi rasanya percuma, jumlah hutang plus bunganya semakin besar dari tahun ke tahun. Apa yang kami bayarkan tidak sesuai dengan jumlah hutang itu. Kami seperti sedang menggali gunung tertinggi dengan sendok makan, secuil demi secuil yang tak berpengaruh apa-apa.” Tangan Rezan refleks mengelus pucuk kepala istrinya, memberi ketenangan agar Ratu tidak terlalu larut dalam kesedihannya. “Hidup kami tidak pernah tenang sejak saat itu, selalu dikejar-kejar anak buah si Bandit setiap bulan ketika kami telat bayar angsuran. Aku bahkan harus mengendap-endap keluar kontrakan untuk pergi ke tempat kerja demi menghindari para rentenir itu. Pria-pria yang mengejarku di awal pertemuan kita adalah salah satu di antara mereka. Tidak terhitung sudah berapa kali kami pindah kontrakan tapi mereka selalu berh
“Saya tidak sedang melucu.” “Terus apa, lagi melaci? Buat baju dong.” Rezan tersenyum lebar tanpa ragu mendengar lelucon aneh gadis di atasnya itu. “Ih, temen aku senyumnya manis banget, sih. Suka, deh.” “Apa, sih, alay kamu!” “Kamu senyum gitu bikin melting tahu, Temen. Bikin salfok pengen nidurin,” goda Ratu mencolek dagu suaminya ditingkahi kedipan genit. “Heh, mulutmu itu ya, enggak ada saringannya?” “He he, kan saringannya ini,” gadis itu lagi-lagi menyentuh Rezan namun kini di bagian bibir. Rezan mendekatkan wajahnya pada wajah Ratu dan gadis itu dengan polosnya berucap, “Tuh, kan bener mau nyium aku lagi. Bosen tahu Dok cium-cium doang, making love kali-kali.” Rezan meraup wajah cemberut Ratu dengan telapak tangan lebarnya, ia lalu membenamkan wajah gadis itu di dadanya dan menggilir tubuh Ratu turun ke samping. Sehingga kini posisinya kedua orang itu berbaring di sofa masih dalam posisi
“Geo, katakan pada Paman, ulah siapa ini?” Geo merapatkan bibirnya, bola matanya bergerak ke sana-sini untuk menghindari tatapan pamannya. “Geo Paman sedang bertanya,” ulang Rezan mendesak namun sang keponakan masih enggan buka suara. “Paman kasih es krim jumbo rasa cokelat nanti,” lanjut Rezan yang dibalas senyum lebar Geo. Tangan anak itu otomatis terangkat—menunjuk Ratu sebagai dalang utama ide menjahili Rezan. “Ahh, jadi istri Paman yang nyuruh kamu coret-coret muka Paman?” Geo mengangguk dengan wajah polosnya, “He he, maaf ya Dok, abisnya kamu dibangunin tapi enggak bangun-bangun. Kan aku kesel makanya minta bantuan Geo buat bangunin kamu.” “Dengan mencoret-coret wajah saya?” serang Rezan sambil menunjukkan ekspresi kesal. “Iya, pokoknya maafin, janji enggak bakal ngulangin,” kata Ratu sambil menunjukkan tanda V dengan jarinya. Rezan diam sebentar, pria itu bertukar tatap dengan keponakannya. Mereka berintera
Geva mengendarakan mobilnya dengan kecepatan penuh, ia tak mengucapkan sepatah kata pun sejak menjebak Nayla di mobil yang sama dengannya. Setengah jam berlalu, mobil itu tiba di apartemen Geva. Dia segera menarik Nayla ikut dengannya, mencengkeram posesif lengan gadis itu, lalu menghempas kasar Nayla kasar saat mereka sudah tiba di unit apartemen Geva. “Kakak keterlaluan! Apa salah aku sih sampai Kakak terus nyiksa aku kayak gini?” Geva menghampiri Nayla dengan tergesa, menangkup kedua pipinya lalu ia cium gadis itu dengan kasar sampai Nayla kesulitan bernapas. Nayla mendorong tubuh Geva dan mendaratkan tamparan keras di pipi laki-laki itu. “Aku benci kamu, berengsek!!!” jerit Nayla dengan batin bergejolak, sakit sekali hatinya terus menerus diperlakukan bak barang tak berharga oleh Geva. Nayla ingin berhenti, dia sudah capek. “Sudah kubilang jangan buat aku kesal, Kiran, itu hukuman untukmu,” kata Geva dingin nan menusuk. “Apa salah aku? Aku
Rezan seperti sedang jalan-jalan bersama dua bocah labil yang terus merengek minta ini dan itu di sepanjang mata memandang barang-barang menarik. Kalau saja bukan karena keponakannya yang memaksa masuk ke pusat perbelanjaan demi membeli Hot Wheels, Rezan tidak akan pernah datang ke sana bersama Ratu. Mata gadis itu benar-benar bersinar terang melihat toko-toko sepatu dan tas branded. Berusaha merayu dan membujuk suaminya agar bersedia membelikan salah satu barang yang Ratu inginkan. “Satuuu aja ya, Dok, aku mau tas Channel yang tadi kutunjuk, please ....” “Enggak,” tolak Rezan keras, terus menuntun keponakannya dan mengabaikan apa pun tingkah sang istri. Ratu kalau sudah diberi hati suka minta jantung, Rezan ingin menghilangkan kebiasaan tak berguna
Ini salah satu alasan mengapa Rezan setuju untuk keluar di hari liburnya. Ia sudah berganti pakaian begitu pun dengan Geo yang berniat mengikuti apa yang dilakukan pamannya. Hanya Ratu yang tampak tak bersemangat begitu memasuki area gym. Wajahnya ditekuk dan menguarkan aroma kepasrahan yang sangat pekat. “Wah, dokter Rezan hari ini Anda tidak sendiri rupanya,” ucap seorang pria yang diketahui pemilik gym sekaligus pemandu Rezan ketika berolahraga di sana. “Iya, saya membawa serta keluarga, ini keponakan dan istri saya.” “Oh iya, salam kenal Bu, Dek.” “Jangan panggil Ibu, Mas, saya belum ibu-ibu,” ketus Ratu membuat pria itu mengernyit lalu melirik ke arah Rezan.
Geva masuk ke kamar sambil membawa semangkuk bubur, semalaman lelaki itu tidak tidur karena menjaga Nayla yang demam tinggi. Ya, gadis itu menginap di apartemen Geva setelah kejadian mengerikan kemarin. Nayla melenguh sambil bergerak kecil, Geva segera mengambil termometer dan mengecek suhu tubuh gadis itu. Mata Nayla perlahan terbuka dan pandangannya mengedar ke sekitar. “Syukurlah demammu sudah turun,” kata Geva lembut, tangannya masih menempel di kening Nayla. Gadis itu menurunkannya sambil berucap, “Aku tidak apa-apa.” “Kamu demam tinggi, mana mungkin tidak apa-apa.” Nayla memalingkan wajah dari Geva begitu mengingat kejadian kemarin. Geva menatap gadis itu lama lalu menghembuskan napas berat. “Makan dulu, supaya kamu kembali bertenaga.” “Supaya kamu bisa meniduriku lagi seharian, itu kan maksudnya?” balas Nayla sambil tersenyum sinis. “Kiran, jangan buat aku emosi, cepat makan sebelum buburnya dingin.” Nayla masih
Setelah seharian keluar rumah dengan perasaan dongkol, akhirnya Ratu bisa senyum semringah. Si batu—Rezan bersedia mengikuti keinginannya untuk pergi ke tempat-tempat yang diinginkan Ratu. Mereka pergi ke salah satu kawasan elite Ibu Kota lalu mampir ke restoran Jepang favorit Ratu di sana. Setelah itu, Ratu minta suaminya untuk masuk ke toko sepatu tak jauh dari restoran. Tiga pasang sepatu cantik dikantunginya dengan mudah. Rezan sungguh memberikan semua yang Ratu minta tanpa banyak protes. Entah dia sudah lelah atau memang hatinya sedang ingin berbuat baik saja pada perempuan itu. Dahaga kesenangan Ratu sudah terpenuhi, dia mengajak suaminya pulang namun Geo menolak. Katanya ada satu tempat lagi yang ingin dia kunjungi, sekarang mereka sedang dalam perjalanan ke sana. Begitu tiba di tempat parkir sebuah taman kota, Rezan tiba-tiba menerima panggilan dari rumah sakit. Rezan diharuskan datang ke sana segera, dia tampak bimbang karena tidak tega meninggalkan keponaka