Syera bertanya-tanya dalam hati, tes DNA untuk apa dan siapa yang suaminya maksud. Ia hendak membuka mata dan bertanya secara langsung, namun jika tes itu berkaitan dengannya, sudah pasti Tama dan Pandu tidak akan menjawab. Oleh karena itu, Syera memilih tetap bertahan dengan posisi pura-pura tidurnya sembari mendengarkan pembicaraan suaminya dan Pandu. Entah apa yang terjadi sampai kedua lelaki itu tiba-tiba membahas tentang tes DNA. Tiba-tiba Syera merasakan rambutnya ditarik pelan entah oleh siapa. Lalu, terdengar samar-samar suara gunting juga. Jangan-jangan mereka sedang menggunting rambutnya untuk melakukan tes DNA itu? Jika iya, memangnya siapa yang akan dites dengannya? Dan untuk apa tes DNA itu dilakukan? Apa ini yang membuat Bianca juga Pandu bersikap aneh hari ini? Terlalu banyak pertanyaan yang memenuhi kepalanya dan Syera tak dapat menemukan satu pun jawaban dari pertanyaannya. Kalaupun ada orang yang ingin melakukan tes dengannya, seharusnya ia diberi tahu, bukan denga
Syera membuka kertas yang berada di tangannya dengan wajah pucat pasi dan tangan gemetar. Ia membaca lamat-lamat setiap baris kata yang tertera di sana. Kertas itu berisi hasil tes DNA nya dengan Pandu Adiwijaya. Dan hasilnya positif. Manik mata Syera langsung berkaca-kaca melihat hasil tes tersebut. Selama ini orang tuanya berada di dekatnya, namun ia tidak menyadari hal itu. Dan ternyata dirinya dan istri pertama suaminya adalah saudara kandung.“Maaf Papa tidak bisa datang. Ada urusan penting yang tidak bisa Papa tinggal. Tapi, setelah urusannya selesai, Papa pasti menyusul ke sini.” Suara Bianca yang sedikit serak karena menangis berhasil membuyarkan lamunan Syera.Syera spontan mengalihkan pandangan dari kertas di tangannya ke arah Bianca yang sekarang sedang mengusap rambutnya. Pantas saja ia merasakan perasaan yang berbeda saat berdekatan dengan Bianca, bahkan ketika wanita paruh baya itu masih membencinya. Ternyata wanita di hadapannya ini adalah ibu kandungnya. “Mama mi
“Memecatnya? Kenapa? Kesalahan apa yang Bibi Utari lakukan sampai Mas memecatnya? Bukankah selama ini Mas lebih mempercayainya dibanding pelayan lain?” berondong Syera dengan berbagai pertanyaan sekaligus. Syera yakin selama ini Utari telah menjalankan tugas dengan baik. Bahkan, di antara seluruh pelayan yang bekerja di sini, wanita paruh baya itu yang paling Tama percaya. Biasanya juga suaminya itu selalu menitipkan Elvina pada Utari di saat-saat mendesak. Tak mungkin Tama melakukannya jika tidak mempercayai wanita paruh baya itu.Hanya seminggu dirinya tidak berada di rumah, namun sudah begitu banyak hal yang berubah. Bahkan, satu-satunya orang yang selalu berada di pihaknya selama ini malah sudah pergi entah ke mana. Padahal ia lebih nyaman berbagi cerita dengan Utari dibanding yang lainnya. “Tadinya memang begitu, tapi tidak lagi setelah aku tahu yang sebenarnya.” Tama bergerak menjauh dari kursi roda Syera, kemudian mengatur suhu air di bath up menjadi air hangat. “Dia terli
“Mas yakin di sini tempat tinggal Bibi Utari?” tanya Syera sembari menatap area sekitarnya. Karena jalan yang mereka tuju tak bisa dilalui mobil, keduanya pun memilih berjalan kaki. Syera sendiri tak masalah dengan hal itu. Ia lebih terkejut saat menyadari di mana mereka berada sekarang. Syera ingat betul jika jalan yang mereka lalui ini terhubung dengan area kontrakan yang selama bertahun-tahun ia tempati bersama ayahnya. Hanya saja area tempat tinggalnya dulu masih bisa dilalui kendaraan beroda empat. Sedangkan gang ini tak bisa. Namun, hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja untuk mencapai rumah yang dirinya tempati sejak kecil itu. “Aku juga baru tahu kemarin, tapi aku yakin alamatnya sudah benar. Kamu pasti familiar dengan daerah ini, ‘kan?” sahut Tama sembari merangkul pinggang istrinya. “Ini memperkuat bukti kalau mereka memang bekerja sama selama ini.” “Tentu saja, Mas. Aku menghabiskan waktu puluhan tahun di daerah ini. Aku tidak mungkin melupakannya. Aku tidak menyang
Tama memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. “Lupakan apa yang aku katakan barusan. Maafkan aku, Sayang. Kita tidak perlu berpisah. Bagaimana dengan anak-anak kalau tidak ada kamu?” Lelaki itu hendak menarik Syera ke pelukannya, namun sang istri malah bergerak mundur. Syera tertawa sinis dalam hati. Tama menahannya di sini hanya untuk menjadi pengasuh, bukan istri. Ia tahu selamanya hati lelaki itu hanya akan diisi oleh Kirana, kakaknya. Namun, kenyataan itu menyakiti hatinya. Belakangan ini Syera mulai menyadari sesuatu yang seharusnya tak boleh dirinya rasakan. Ia mulai menginginkan hubungan yang sejak awal tidak jelas arahnya ini. Berharap apa yang dirinya rasakan akan bertahan lama. Satu hal yang Syera sadari dalam beberapa hari terakhir adalah dirinya mulai menaruh perasaan pada lelaki yang berstatus sebagai suaminya itu. Seseorang yang sejak awal memang tak pernah menginginkan keberadaannya selain untuk membalas dendam. “Sudah aku katakan kalau aku tidak bisa menjadi bayang
“Mas mau pergi ke mana malam-malam begini? Ada meeting penting?” tanya Syera sembari memperhatikan sang suami yang sedang mengancingkan kemeja di depan cermin. Sebenarnya Syera tahu ke mana suaminya akan pergi. Sudah pasti ke pesta anniversary yang undangannya ia temukan dua hari lalu. Dirinya mengira Tama memang tidak berminat datang ke pesta tersebut. Tetapi, ternyata suaminya malah sudah bersiap pergi, tentu tanpa membicarakan apa pun dengannya. Syera tak berharap Tama akan mengajaknya mendatangi pesta itu. Namun, setidaknya biasanya lelaki itu selalu mengatakan sesuatu padanya. Tidak seperti kali ini, ia sampai mengira suaminya tak akan datang. Mereka bertemu pandang di depan cermin. Namun, kali ini malah Tama yang lebih dulu mengalihkan pandangan. Seolah-olah enggan bertatapan dengan Syera. Padahal biasanya lelaki itu yang sering menatap Syera dengan sorot yang membuat sang empunya salah tingkah. “Bukan urusanmu,” jawab Tama datar. Sebelah sudut bibir Syera terangkat mendenga
“Mas, berhenti! Mas bisa membunuhnya!” teriak Syera sembari berusaha menarik sang suami yang memukuli Dareen membabi buta. Namun, Tama malah menyentak tangannya dan kembali memukuli Dareen. Syera menatap sekelilingnya, berharap ada orang yang bisa membantunya. Sayangnya, tempat mereka berada saat ini begitu sepi. Bahkan, para pelayan yang banyak berkeliaran di ballroom hotel juga tak terlihat di sini. Suara riuh musik yang masih terdengar menyebabkan kegaduhan di sini tak terdengar sampai ke area luar. Syera tak menyangka Tama akan tiba-tiba datang dan menyerang Dareen. Tadi posisinya dengan Dareen memang cukup dekat. Namun, sudah jelas mereka tak mungkin melakukan apa pun. Lelaki itu hanya ingin mengambil bulu matanya yang jatuh dan tama malah salah paham. Syera tidak berani meninggalkan dua lelaki yang sedang beradu jotos itu. Ia khawatir Tama akan semakin bertindak membabi buta. Karena tak tahu harus melakukan apa, wanita itu memberanikan diri untuk memeluk suaminya dari belakang
“Cinta?” Syera spontan tertawa mendengar jawaban Tama. Alih-alih senang, ia malah menganggap jawaban suaminya sebagai lelucon. “Mas, tolong jangan mengatakan alasan yang tidak masuk akal. Kalau memang tidak ada alasan lain, tidak apa-apa. Tapi, jangan dipaksakan seperti ini.”Jantungnya memang berdebar dua kali lebih cepat, namun Syera tak ingin mempercayai jawaban suaminya semudah itu. Rasanya terlalu mustahil mendengar pernyataan cinta dari lelaki itu. Tidak mungkin Tama mencintainya. Syera tahu selera suaminya adalah wanita berkelas. Seperti mendiang kakaknya atau setidaknya seperti Elena. Sedangkan dirinya hanya perempuan biasanya yang selama ini hidup pas-pasan. Jangankan mengutamakan penampilan, merias diri saja hanya ia sering lupa. Tak kembali mendengar rayuan manis sang suami, Syera pun berusaha melepaskan diri dari rengkuhan lelaki itu. Namun, Tama malah sengaja menghalangi pergerakannya. Apalagi dengan kursi mobil yang sempit begini, Syera semakin sulit bergerak. “Ke