“Siapa kamu? Kenapa kamu bisa ada di mobilku?” selidik Edmund, masih dengan napas tak beraturan. Matanya terbelalak, sulit memercayai apa yang dilihatnya.
Sadar ia telah membongkar keberadaan dirinya sendiri, gadis mungil itu terkesiap. Ia cepat-cepat menutup mulut dengan kedua tangan, lalu membenamkan punggungnya pada sandaran jok di belakang.
Saat itulah, Edmund bisa melihatnya lebih jelas. Ia mengenakan hoodie merah yang dipadukan dengan jumpsuit cokelat muda. Tudung kepalanya menutupi rambut, membuat wajahnya terlihat lebih bulat. Di pangkuannya terdapat sebuah buku, pensil, dan ransel.
Tiba-tiba, gadis mungil itu kembali memajukan posisi duduknya. Sambil berkedip-kedip, ia mengerutkan alis.
“Maaf, Tuan Brewok. Tadi sewaktu di parkiran, aku tidak sengaja mendengar kalau kamu mau pergi ke Chamarel Falls. Kebetulan, aku juga mau pergi ke sana. Jadi, aku diam-diam menumpang di mobilmu.”
Edmund terdiam dengan mulut menganga. Butuh beberapa waktu untuk ia bisa mencerna informasi itu. “Jadi, kau mengikutiku dari hotel?”
Begitu balita itu mengangguk, Edmund langsung terpejam dan menjepit pangkal hidung. Ia tidak habis pikir mengapa dirinya tidak sadar bahwa ada penumpang gelap di mobilnya.
“Kenapa kau diam-diam mengikuti orang asing seperti ini? Ck, merepotkan saja. Sekarang sebutkan nomor telepon orang tuamu. Mereka pasti khawatir karena kau menghilang dari hotel.”
Dengan tampang lugu, gadis mungil itu mengedikkan bahu. “Aku mana mungkin hafal nomor telepon orang tuaku? Aku masih terlalu kecil. Membaca saja aku belum bisa.”
Sebelah alis Edmund terangkat. Telunjuknya mengacung pada buku di atas tas ransel. “Kalau kau belum bisa membaca, lalu apa gunanya buku itu?”
“Ini?” Anak misterius itu mendadak bersemangat. Setelah meletakkan ransel ke samping, ia berdiri, menunjukkan isi bukunya kepada Edmund. “Ini adalah peta menuju Chamarel Falls. Lihat? Kita sudah melewati dua tikungan ini dan beberapa halte. Tadinya aku ingin naik bus. Tapi itu terlalu berisiko. Aku bisa saja tersesat atau diculik. Aku tidak mau organ tubuhku dijual. Karena itu, aku sangat senang bertemu dengan orang baik sepertimu.”
Melihat gambar peta yang tidak ia mengerti itu, kepala Edmund terdorong mundur. Setelah mengerjap, ia meraih buku tersebut dan memeriksanya.
“Apakah tidak ada informasi mengenai orang tuamu di sini?”
“Tidak, Tuan. Ini buku jurnal perjalananku.”
Edmund seketika tertegun. Bocah itu mengingatkannya kepada Alice. Alice juga punya buku jurnal semacam itu.
“Lihat!” Suara manis si balita menyentak kesadaran Edmund. Telunjuk mungilnya kini menusuk halaman buku yang penuh gambar. Bentuknya aneh-aneh. Beberapa dari mereka sudah dilingkari.
“Ini adalah target liburanku kali ini. Saat ini, kita sedang menuju ke sini. Chamarel Falls.”
Dahi Edmund mengernyit melihat empat garis vertikal memanjang yang ternyata adalah gambar sebuah air terjun. Sebelum gadis mungil itu berceloteh lebih panjang, ia menutup buku dan memasang raut tegas.
“Heh, Pentol Korek Api, dengarkan aku baik-baik. Kalau kau sangat ingin pergi ke Chamarel Falls, ajaklah orang tuamu. Mereka pasti dengan senang hati menemanimu ke sana. Sekarang, ayo kembali ke hotel.”
Tanpa terduga, gadis mungil itu mulai merengek. Sementara kepalanya menggeleng, kedua tangannya merapat di bawah dagu. “Tolong jangan kembali ke hotel, Tuan Brewok. Kita pergi saja ke Chamarel. Hanya ini satu-satunya kesempatanku. Besok kami sudah harus pergi dari negara ini. Kalau kita kembali sekarang, Mama dan Papa pasti mengajakku ke Casela Nature Park. Aku tidak akan pernah melihat Chamarel.”
“Kalau kau memberitahukan keinginanmu secara baik-baik, orang tuamu pasti mewujudkannya.”
“Tidak! Mama fobia sungai. Karena itu, Mama dan Papa membujukku untuk pergi ke Nature Park. Mereka tidak akan pernah mau menemaniku ke Chamarel.” Gadis mungil itu mencebik.
Lagi-lagi, Edmund membeku. Ia selalu bertanya-tanya. Kalau Alice masih hidup, akankah ia takut pada sungai?
“Fobia air maksudmu?” Ia mencoba meredam kesedihan.
“Bukan fobia air, tapi fobia sungai. Mama tidak suka melihat air mengalir. Karena itu, kumohon, Tuan Brewok. Jangan kembali ke hotel. Kita pergi ke Chamarel saja.”
Sambil mengembalikan buku ke jok belakang, Edmund menghela napas. “Maaf, aku tidak mau orang tuamu panik lalu melapor ke polisi. Aku bisa dituduh sebagai penculik.”
“Tidak akan. Aku bisa membelamu dan mengatakan kalau kita sebetulnya berteman. Kamu justru membantuku untuk mewujudkan keinginan. Kamu orang baik dan polisi tidak akan menangkapmu.” Gadis mungil itu mengangguk-angguk cepat.
Selang pertimbangan singkat, Edmund kembali membuang napas. “Tapi aku tetap harus kembali ke hotel. Aku harus mengambil sesuatu yang tertinggal.”
“Apa?”
Edmund berkedip canggung. “Kompas milik istriku.”
“Kompas?”
Gadis mungil itu memiringkan kepala. Setelah menggerak-gerakkan bola mata, ia mengacungkan telunjuk di samping kepala. “Itu tidak tertinggal, Tuan Brewok. Aku sempat melihatnya saat bersembunyi tadi. Tunggu sebentar.”
Bocah misterius itu pun menyuruk, memeriksa ke bawah jok. Selang beberapa detik, pekikannya terdengar. “Ketemu!”
Ia menunjukkan hasil temuannya dengan senyum semringah. Tawa kecil sesekali lolos dari mulutnya.
“Apakah ini berarti kita tidak perlu kembali ke hotel, Tuan Brewok? Kita bisa melanjutkan perjalanan menuju Chamarel?”
Sambil menghela napas lega, Edmund mengambil kompas Alice. Setelah menyimpannya ke dalam saku dengan hati-hati, ia kembali memasang tampang tak bersahabat.
“Maaf, Pentol Korek Api, tapi kau harus tetap kembali kepada orang tuamu.”
Seketika, senyum si gadis mungil memudar. Perlahan-lahan, air mata menggumpal di tepi pelupuknya.
“Kenapa, Tuan? Bukankah nanti kita juga pulang ke hotel? Apa bedanya kita kembali nanti dan sekarang? Orang tuaku sama-sama sudah khawatir. Kenapa kita tidak sekalian saja ke Chamarel? Meskipun nanti aku akan dimarahi, aku ikhlas. Yang penting, impianku tercapai.”
Melihat itu, Edmund mendadak mematung. Rasa bersalah telah merayap membekukan sarafnya.
“Hei, jangan menangis. Aku paling benci melihat seseorang menangis. Pentol Korek Api? Kubilang jangan menangis.”
Akan tetapi, gadis mungil itu malah semakin merengek. Tangannya terangkat mengusap mata yang sebetulnya belum menitikkan air.
“Kenapa semua orang jahat kepadaku? Melihat Chamarel Falls itu adalah impianku. Sekarang aku sudah begitu dekat, tapi kenapa semua orang melarangku untuk melihatnya?”
Tak sampai hati mendengar isakan tersebut, Edmund pun mendesah pasrah. Decak kesal menyusul sebelum ia bertanya, “Kenapa kau sangat ingin pergi ke Chamarel?”
“Chamarel adalah air terjun ajaib, Tuan Brewok. Dia merupakan air terjun tertinggi di negara ini yang terbentuk karena aliran lava dari dua waktu yang berbeda. Karena itu, saat musim panas, dia terlihat seperti dua air terjun yang berdampingan. Tapi ketika musim hujan tiba, air dari kedua sungai itu seperti menyatu dan jatuh secara bersamaan. Chamarel adalah air terjun yang romantis.”
Getaran aneh seketika timbul dalam hati Edmund. Matanya tanpa sadar berkaca-kaca. Ia seperti sedang berhadapan dengan Alice. Itu juga alasan mengapa Alice memasukkan Chamarel Falls ke dalam bucket list. Ia menyebut air terjun itu romantis, seperti takdir yang menyatukan dua insan yang saling cinta.
“Karena itu, Tuan,” si gadis mungil tiba-tiba mengguncang lengan Edmund, “ayo melihat air terjun itu bersama. Sebentar juga tidak apa-apa. Yang penting, aku sudah pernah melihat dan mengaguminya. Setelah itu, tidak apa-apa kalau kamu tidak mau menemaniku melihat kura-kura raksasa dan tanah pelangi. Yang penting, aku bisa melihat air terjun ajaib.”
Hati Edmund terenyuh mendengar permohonan itu. Setelah menelan ludah, ia akhirnya bergumam, “Baiklah, kau boleh ikut aku ke Chamarel.”
Mata si gadis mungil sontak kembali melebar. “Benarkah?”
“Ya, tapi sebelum itu, kita harus mengabari orang tuamu kalau kau sedang bersamaku.”
Melihat Edmund menghubungi seseorang, alis sang balita berkerut. “Kamu menelepon siapa, Tuan Brewok?”
“Hotel. Aku perlu menitipkan pesan bahwa kau baik-baik saja. Berapa nomor kamarmu?”
Gadis mungil itu menggigit bibir dan mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu. Aku belum bisa membaca. Aku cuma ingat ada angka yang mirip dengan badut, telur, dan terompet tahun baru.”
“Badut, telur, dan terompet tahun baru?” Sebelah alis Edmund mendesak dahi. Selang satu gelengan, ia kembali bertanya, “Kalau begitu, siapa nama orang tuamu?”
Setelah ragu sejenak, bocah itu akhirnya menjawab, “Lucas dan Rachel.”
Edmund mengangguk. Setelah menyampaikan kabar kepada pihak hotel, ia pun meluncur ke Chamarel Falls ditemani celotehan yang tiada hentinya.
Halo, Teman-Teman! Apa kabar? Semoga kita semua sehat, ya. Pixie kembali lagi dengan bocil baru. Gimana nih pendapat kalian tentang si Pentol Korek Api ini? Dan bagaimana nasib Ed selanjutnya? Akankah dia bertemu lagi dengan Alice? Pantau terus kisahnya. Pixie bakal up 2 bab per hari, pagi dan sore. Terima kasiiiih.
Mata Edmund berkaca-kaca saat ia tiba di sebuah platform yang menghadap Chamarel Falls. Air terjun itu begitu megah dan indah meski dari kejauhan. Kalau saja Alice sedang berdiri di sampingnya, wanita itu pasti bertepuk tangan dan tertawa gembira. Kemudian, ia akan memeluk Edmund erat, membisikkan terima kasih dan rasa cintanya. “Wow, itu sangat indah, lebih indah dari yang kubayangkan.” Edmund pun mengerjap. Ia menoleh ke samping. Si gadis mungil ternyata sedang berjinjit dengan dua tangan memegangi pagar kayu. Kepalanya ditarik setinggi mungkin. Matanya tidak berkedip menyaksikan dua aliran sungai yang meluncur bebas dari pinggir tebing. Edmund diam-diam menarik napas berat. Mengapa bukan Alice yang berdiri di situ? Mengapa harus bocah misterius yang bahkan namanya saja ia belum tahu? Sebelum emosinya bergejolak menguasai diri, Edmund mengambil sebuah kamera Polaroid dari ranselnya. Dengan hati-hati, ia memotret kompas Alice dengan latar Chamarel Falls. Begitu hasilnya keluar, ia
Sekembalinya dari kafe, Edmund duduk dengan canggung. Ia letakkan makanan yang dibelinya di atas meja, tanpa sedetik pun berpaling dari sang balita. “Ini makananmu.” Gadis mungil itu sedang sibuk menggambar sesuatu di bukunya. Ia hanya mengangguk, tidak sempat melirik. “Terima kasih, Tuan Brewok. Letakkan saja di situ. Aku akan memakannya setelah menyelesaikan jurnalku.” Selang beberapa saat, ia membalikkan bukunya menghadap Edmund dan merentangkan tangan. “Tada! Berkat bantuanmu, aku berhasil melingkari Chamarel Falls dan Seven Colored Earth. Sebentar lagi, semua keinginanku selama di Mauritius akan terpenuhi. Dan lihat ini! Aku sudah memberi keterangan bahwa aku bisa sampai ke sini karena kamu. Meskipun sedikit kurang mirip, aku akan selalu ingat kalau ini kamu.” Edmund tidak menyimak gambar seorang pria yang ditunjuk oleh sang balita. Ia terlalu terpana dengan binar matanya. Semangatnya begitu mirip dengan semangat Alice. Jika dipikir-pikir, ucapannya tentang Chamarel Falls, j
Takut dimarahi, Sky melompat turun dari kursi dan bersembunyi di balik Edmund. Kepalanya hanya terlihat sedikit saat sebelah matanya mengintip. “Mama, tolong jangan marah dulu. Aku terpaksa kabur. Kalau tidak begini, aku tidak bisa melihat Chamarel Falls.” Wanita yang sangat mirip dengan Alice itu mendesah berat. Wajahnya mengernyit, penuh penyesalan sekaligus kekhawatiran. “Tidak, Mama tidak akan marah. Mama justru ingin meminta maaf padamu. Mama dan Papa tidak seharusnya menolak keinginanmu. Sekarang kemarilah, Sayang.” Rachel merentangkan tangan, mengundang Sky ke dalam pelukan. Akan tetapi, gadis mungil itu malah menggeleng, bergumam, “Tapi Papa pasti akan marah dan menghukumku.” “Tidak akan. Ayo, Sayang. Jangan mengganggu tuan ini. Dia sudah banyak kau repotkan hari ini.” Lagi-lagi, Sky menggeleng. “Berjanjilah Mama akan membujuk Papa untuk tidak menghukumku.” “Mama janji, Sayang. Papa tidak akan memarahimu. Dia juga merasa bersalah telah menolak permintaanmu. Kamu tahu? Ma
Melihat Lucas kembali memanas, Rachel cepat-cepat menariknya mundur.“Sayang, kenapa kamu mendadak emosian begini? Tenanglah, kurasa laki-laki ini tidak bermaksud begitu. Seperti yang Sky bilang, dia terlalu merindukan istri dan anaknya. Mungkin dia mengidap gangguan mental,” bisiknya di akhir kalimat.Napas Edmund tersekat mendengar Alice-nya memanggil laki-laki lain dengan kata “sayang”. Bola matanya bergetar melihat bagaimana perempuan itu mengusap dada Lucas. Ia sungguh tidak mengerti mengapa Alice berubah dan sama sekali tidak mengingatnya.Sebelum akal sehatnya tenggelam lagi, Edmund menarik napas cepat dan mengembalikan fokus pada Sky. Meski pilu, ia harus mau berpura-pura menjadi orang baru.Ia sadar dirinya tidak boleh gegabah kalau tidak mau kehilangan orang-orang yang dicintainya lagi. Biarlah Alice menjadi Rachel dan Sky menjadi anak orang lain untuk sementara. Setidaknya, sampai ia mengumpulkan kebenaran.“Sky, bagaimana kalau kita obati lukamu sekarang? Setelah itu, kamu
Jantung Edmund berdebar saat mengetuk pintu bernomor 506. Entah mengapa, ia merasa seperti tersedot ke masa silam, saat ia hendak menjemput Alice berkencan setelah ia menyadari bahwa janji palsunya telah mendatangkan cinta. Begitu pintu terbuka, napasnya sontak tertahan. Melihat wajah Alice yang sama sekali tidak berubah, matanya tanpa sadar berkaca-kaca. “Tuan Edmund?” Edmund berusaha menahan senyum agar tidak terlalu lebar. Tangannya yang disembunyikan di balik pinggang terkepal erat, berusaha menjaga batasan agar tidak menakuti sang wanita. “Selamat malam, Nyonya Rachel.” Ia sengaja tidak mau memanggilnya Nyonya Palmer. Bagi Edmund, Alice akan selalu menjadi Nyonya Hills. “Apakah Sky punya waktu luang? Aku berniat mengajaknya makan malam. Tidak jauh-jauh. Di resto hotel ini saja. Itu pun kalau Anda dan Tuan Palmer mengizinkan.” Sekarang Edmund merasa bahwa ia sedang meminta izin untuk mengencani anak orang. Rachel spontan mengernyitkan dahi. Tangannya enggan beralih dari gag
“Jadi, itu yang kau maksud dengan badut dan terompet tahun baru? Angka 5 dan 6?” gumam Edmund sembari memotong steak untuk Sky. “Ya, bukankah mereka mirip? Yang satu perutnya gendut, sedangkan yang satu lagi seperti pita melengkung. Kalau ditiup, pitanya bisa menjadi lurus dan terlihat lebih panjang!” Edmund terkekeh mendengar itu. “Kau memiliki imajinasi tinggi, Sky, persis seperti ibumu.” Sambil menyangga pipi dengan kedua tangan, Sky memiringkan kepala. “Kenapa kamu berbicara seperti sudah kenal lama dengan Mama? Kamu kan temanku. Kamu seharusnya lebih mengenalku.” Sambil menyodorkan piring ke hadapan Sky, Edmund berusaha untuk tetap tersenyum. “Suatu saat nanti, kau akan mengerti. Sekarang makanlah. Berterimakasihlah kepada sapi ini karena dia sudah memberikan dagingnya kepadamu.” “Sekarang kamu terdengar seperti Mama. Mama juga selalu berkata begitu setiap sebelum makan,” gumam Sky sebelum meraih garpu dan berbisik, “Terima kasih, Sapi. Maaf aku memakanmu.” Hati Edmund ber
Menyadari arah sorot mata Lucas, tubuh Edmund menegang. Cepat-cepat ia menutup telepon dan berjalan menuju meja. Namun, belum sempat ia meraih rambut sampel, Lucas telah lebih dulu mencengkeramnya. “Apa ini? Kau diam-diam mengambil rambut putriku? Apa tujuanmu sebenarnya, hmm? Kau sungguh berniat merebut istri dan anakku rupanya!” hardik Lucas dengan mata terpelotot. Rahang Edmund pun berdenyut-denyut. Ia sebetulnya sudah muak dengan Lucas sejak pertemuan pertama mereka. Sekarang, setelah gertakan keras itu, kebenciannya berlipat ganda dan tidak lagi tertahankan. “Berani sekali kau menyebut Sky putrimu?” Lucas tersentak mendengar nada dingin Edmund. “Apa maksudmu? Bukankah sudah jelas kalau dia anakku?” Suaranya turun drastis. Sambil mendengus, Edmund tertunduk. “Kurasa kita tidak perlu basa-basi lagi.” Ia duduk di sofa, lalu meletakkan kedua siku di atas lutut. Tatapannya tajam sekaligus redup. “Di mana kau menemukan Alice?” Lucas mengerjap. Urat di lehernya mencuat tertekan ol
“Sayang?” sapa Rachel dengan mata bulat. Sebelah tangannya terkepal di depan dada. “Kau sudah pulang?” Lucas berkedip-kedip bingung. “Kenapa kau seperti melihat hantu begitu? Apakah wajahku menyeramkan?” “Oh, tidak. Hanya saja, pikiranku sempat melayang tadi. Makanya aku terkejut.” Rachel mengedikkan bahunya ringan. Senyumnya terkesan canggung. “Memangnya apa yang kau lamunkan?” tanya Lucas sambil mengelus pinggang sang istri. Senyum tipis mulai menghangatkan wajahnya. Sambil menghela napas, Rachel melirik ke pekarangan belakang. Sky masih mengomel di sana. “Aku takut Sky kecewa kalau laki-laki itu tidak datang. Lihatlah. Ini sudah dua minggu tapi dia masih bersemangat melatih teman-teman hewannya.” Mendengar kata “laki-laki itu”, sebelah alis Lucas terangkat tak senang. “Apakah kau juga berharap dia datang?” “Aku?” Rachel berkedip lugu. “Aku menginginkan yang terbaik untuk Sky. Aku hanya tidak mau putri kita kecewa.” Sambil mendengus, Lucas mengelus lengan Rachel. “Kau tidak