“Maaf?” Anais menyahut dengan kening mengernyit.
Debar jantungnya bergemuruh keras karena Jade ternyata mengenali dirinya. Namun, dia tak bisa langsung membenarkan asumsi pria itu atau suasana akan menjadi kacau, bila semua orang tahu bahwa Jade adalah pria yang tersandung rumor bersama dirinya.
“Anda terlihat tidak asing. Di mana kita pernah bertemu?” Jade bertanya seraya mengangkat sebelah alisnya.
Sungguh, Anais merasa pria itu sengaja memancingnya. Dia pun memasang air muka sedingin mungkin, agar lawan bincangnya tak bisa melihat sisi dirinya yang gugup.
“Saya rasa Anda salah orang, Tuan. Saya belum pernah melihat Anda. Jadi permisi, saya sedang buru-buru!” tukas Anais amat tegas.
Dia langsung berlalu melewati Jade yang memasang tatapan lekat.
‘Ah … menarik. Biar aku lihat, mau seberapa jauh kau akan melarikan diri dariku, Nona!’ Pria itu membatin penuh tekad.
Jade memang bungkam, tapi telinganya terpampang tajam mendengar arah langkah Anais yang tampaknya bergerak ke sisi kiri.
Ya, meski dari luar pria itu tampak dingin tak peduli, sesungguhnya hasrat dalam jiwanya teramat berambisi. Terlebih Anais sudah menyinggungnya karena kabur usai percintaan satu malam, bagaimana mungkin seorang Jade Herakles bisa tetap diam? Tentu saja dia ingin menangkap dan menggenggam wanita itu dalam kendalinya.
“Apa yang membawamu ke sini?” Suara Hans memecah hening yang berlangsung beberapa saat.
Dirinya tak menatap siapapun, tapi semua orang tahu bahwa pertanyaan itu tertuju untuk Jade yang masih berdiri di dekat ambang.
“Bukankah Anda mengirim seseorang untuk mengundang saya agar datang?” balas Jade tenang, tetapi nadanya mengandung sindiran.
“Aku bilang kita bertemu di kediaman Herakles, mengapa kau malah datang ke tempat ini?!”
Seketika, nuansa ruang privat di Royal Hera Sweet Hotel itu bertambah tegang. Semua orang tampak bergidik karena suasana hati Hans yang semakin memburuk.
“Hah … baiklah, Kakek. Lagi pula keadaan di sini juga sangat membosankan!” sahut Jade yang sekejap membuat pihak keluarga Devante membelalak.
Mereka dan publik tidak ada yang tahu bahwa cucu pertama Hans adalah pria tersebut.
‘Astaga, rupanya Tuan Hans memiliki Cucu lain? Apakah dia juga Cucu kandungnya?’
Beruntung cuaran Pineti hanya tersimpan dalam hati. Dia tak bisa membayangkan seperti apa reaksi Hans jika mendengar ocehannya secara terang.
“Dasar, berandalan!” Hans menyengit pelan, tapi hardikannya itu bisa didengar jelas oleh Leah yang berada di sebelahnya.
Sementara di sisi lain, Anais yang lebih dulu mangkir dari ruang pertemuan keluarga itu tampak termenung di area kolam renang. Entah apa yang menggeluti pikirannya, Anais merasa lebih tenang kala memandang pantulan raja malam menyinari hamparan air di hadapannya.
‘Untuk apa lagi aku di sini? Aku hanya membuang-buang waktu.’ Dia bergeming dalam batin.
Dirinya pun berbalik, berniat segera keluar dari hotel keluarga Herakles itu setelah termenung cukup lama.
Namun, baru beberapa langkah beranjak, Anais langsung terhenti. Tatapannya berubah waspada saat melihat Denver dan Aretha melaju ke arah tempatnya berdiri.
Sekejap, Anais pun segera menyelinap ke balik pilar yang menjadi pembatas koridor dan area kolam renang. Manik hazelnya berubah waspada, cemas bila kedua orang tadi berjalan melalui tempatnya berlindung.
‘Aish, sial! Mengapa aku harus bersembunyi dari mereka?’ batinnya merasa konyol. ‘Aku tidak melakukan kesalahan, jadi aku tidak ada alasan untuk menjaga tindakanku di depan Denver maupun Aretha. Justru, merekalah yang harusnya malu!’
Ego yang mendominasi begitu menekan Anais, tapi ketika dirinya bermaksud menampakkan diri, langkahnya terasa kaku saat mendengar sesuatu yang tak terduga.
“Rencanaku berhasil, bukan? Kak Anais sangat mudah masuk perangkapku!” tutur Aretha girang.
Denver yang semula berjalan di samping Aretha, perlahan merengkuh pinggang perempuan itu agar lebih dekat padanya. Tangannya yang nakal tanpa permisi merayapi pinggul Aretha yang tercetak jelas di balik dress ketatnya.
“Hei, bagaimana jika ada yang lihat?” tegur Aretha melayapkan irisnya dengan buncah.
Dia panik, tapi Denver tak juga menghentikan aksinya. Cucu kedua Hans Herakles itu menarik sang wanita ke sisi dinding, lantas mengungkungnya dengan sebelah tangan.
“Kak Denver?” Aretha mendesah pelan.
“Sudah aku bilang, jangan panggil aku dengan sebutan Kakak, Aretha.” Denver membelai pelipis sampai sekitar pipi Aretha dengan jarinya.
Sang wanita hanya tersenyum, sengaja membusungkan dadanya sembari mendesah, “Ah … benar. Aku lupa, Denver.”
Sungguh sial, lagi-lagi Anais harus melihat tingkah rendahan mereka. Dia benar-benar tidak tahan, perutnya seperti diaduk hingga mual mendengar obrolan sang adik dan mantan tunangannya yang biadab.
“Kau memang wanitaku, kau sangat pintar, Aretha.” Denver menatap calon istrinya itu lekat-lekat.
Aretha semakin terbuai kala Denver menyanjungnya. Dia sudah lama ingin mengalahkan Anais dan inilah saat yang tepat.
“Tentu saja, aku tidak sebodoh Kak Anais yang dengan mudahnya minum obat perangsang yang dicampurkan dalam alkohol!”
Sontak, sepasang netra Anais berubah selebar piring kala mendengar ucapan Aretha. Sensasi panas langsung menjalari leher hingga wajahnya.
‘Sialan, kau benar-benar jalang rendahan, Aretha!’ Anais mengumpat penuh geram dalam benaknya.
Bulu matanya gemetar, tetapi tungkainya terasa kaku hingga dia tak bisa bergerak satu inchi pun.
Tanpa segan, Aretha sengaja menjebak dirinya setelah terang-terangan merebut kekasihnya. Bukankah adiknya itu sangat cocok dengan definisi rubah gatal?
“Beraninya kau melakukan semua ini, Aretha. Kau bahkan lebih menjijikan dari an—”
“Apa yang Anda lakukan di sini, Nona?” Suara baritone itu tiba-tiba saja memangkas geraman Anais.
Wanita yang tengah bersembunyi di balik pilar tersebut semakin tertegun. Sensasi merinding pun merayapi punggungnya. Dan kala dia berpaling, air mukanya memucat begitu melihat Jade berdiri di sana.
“Mengapa Anda ada di sini? Apa Anda mengikuti saya?!” balas Anais dengan nada berbisik.
Alih-alih menjawab, Jade malah melirik Denver dan Aretha yang kini memadu cumbu.
“Seorang Adik merebut kekasih Kakaknya. Dan sekarang si Kakak sedang memata-matai Adik dan mantan tunangannya. Bahkan Kakak yang malang itu terpaksa jatuh karena perangkap Adiknya.” Jade berasumsi seiring dengan langkah kakinya yang kian mengikis jarak Anais.
Sang wanita otomatis mundur sampai-sampai punggungnya menatap pilar.
“Apa yang Anda katakan?!” sambar Anais pelan, tapi mengandung gertakan.
Jade merasa semakin terdorong untuk menggoda wanita yang kini tampak tegang di hadapannya. “Nona, apa Anda memang orang seperti ini? Selalu pergi setelah menggunakan sesuatu?”
“A-apa yang Anda bicarakan? Berhenti omong kosong, saya tidak ada waktu untuk mendengar ini semua.” Anais menyahut dengan wajah kakunya.
Maniknya gemetar menahan buncahan geram. Dia merasa terhina karena sesungguhnya tahu benar, apa maksud Jade Herakles ini.
“Saya bisa membersihkan nama Anda dari rumor yang beredar sekarang. Dan saya akan membantu Anda membalas dendam pada Adik dan mantan tunangan Anda yang bodoh itu!” tukas Jade yang langsung membuat bola mata Anais membesar.
“Namun, sebelum itu Anda harus bertanggung jawab. Jadilah wanita saya!”
“A-apa?!”
Anais mengerjap tidak percaya. Dia benar-benar tak menyangka jika Jade akan melontarkan kata-kata yang teramat gila. “Lelucon Anda sangat tidak lucu, Tuan!” sungut wanita itu menahan kesal. Dia berpaling dan ingin segera meninggalkan Jade, tapi mendadak sang pria malah mengeluarkan benda pipih hitam yang sangat membuat Anais tertegun. ‘Ah, ponselku!’ Dirinya membatin dalam benak. Nyaris saja tangannya merebut gawai itu, tapi Anais menahan diri karena tak mau ketahuan langsung oleh Jade bahwa sejak tadi dia berbohong. “Saya menemukan ponsel asing yang ditinggalkan seseorang. Menurut Nona, siapa pemilik yang ceroboh ini?” tutur Jade seraya menekan tombol power pada benda tersebut. Seketika, potret cantik Anais pun terpampang di sana. Kali ini wanita itu tidak bisa mengelak apapun, dirinya hanya bungkam dengan leher menegang. Meski kesal, Anais tak mungkin berdusta atau dia akan tampak semakin konyol. ‘Aish, sial! Mengapa dia harus membawa ponselku?’ batinnya dengan manik gemetar.
“Selamat malam, Ibu,” tutur Jade berhenti sejenak di hadapan Leah.CEO dari Oran Brewery itu akhirnya datang ke mansion besar Herakles untuk memenuhi panggilan sang kakek. Manik tegasnya menatap Leah, tapi ibunya itu sama sekali tak sudi memandangnya. Jangankan menyahut sapaan Jade, bahkan Leah rasanya mual mengetahui putra sulungnya tersebut berada di depan matanya.“Untuk apa kau datang ke sini, hah?” sungut Denver dengan sorot masamnya.Namun, alih-alih menjawab, Jade justru merapikan kancing jasnya dan lekas berlalu menuju ruangan Hans. Dia tak ada niat sama sekali untuk mendengar ocehan adiknya yang tak berotak. “Sialan, berani sekali anjing liar itu mengabaikanku?” Putra kedua Leah tersebut menggerutu sengit.“Tutup mulutmu, Denver. Bukan ini yang harus kau khawatirkan sekarang. Cepat ikuti dia dan cari tahu apa yang Kakekmu bicarakan dengannya!” sambar Leah memicing tajam.Dirinya tak bisa berpangku tangan saat Jade mendapat kesempatan. Meski dia adalah darah dagingnya sendiri
Manik hazel Anais terbelalak melihat sang pria, dia sungguh tak menyangka mendapati sosok itu di sini. Namun, tangannya bergerak otomatis membuka pintu mobilnya seakan terhipnotis arahan orang tersebut.Iris wanita itu melayap buncah saat kilatan cahaya kamera memotret dirinya.Dengan sigap, pria yang membantu Anais itu pun merengkuh bahunya dan lantas menyeru, “Mohon tenang, semuanya. Nona Anais pasti akan memberikan klarifikasi setelah situasinya kondusif!”“Kami sudah lama menunggu, setidaknya tolong jawab satu pertanyaan saja. Mengapa seorang Seniman seperti Nona Anais berselingkuh?!” Dengan entengnya mulut Wartawan itu terbuka.Sontak, pria tadi langsung menghunus tatapan sengitnya pada si juru warta.“Jaga bicara Anda. Kata-kata Anda sangat keterlaluan!” sentaknya dengan air muka mengeras.Tanpa menunggu tanggapan, dia pun lekas membimbing Anais pergi. Keduanya segera masuk ke dalam galeri untuk menghindari para pemburu desas-desus tersebut.Jajaran pegawai di Dante’s Gallery pu
“Ah!” Anais pun seketika terkejut dengan leher menegang.Dia tak mengerti mengapa Jade mendadak bertingkah aneh padanya.Namun, mengingat situasi awal saat Aretha menuduhnya sebagai penguntit, Anais pun mengambil kesempatan ini.“Tidak, aku juga baru datang,” tukasnya seraya mengulas senyum lembut pada Jade.Sungguh, Aretha dan Denver yang sudah tertegun, kini semakin melebarkan bola matanya begitu melihat interaksi dua orang di hadapannya.‘Apa-apaan mereka? Mengapa anjing liar itu bisa dekat dengan Anais? Sejak kapan mereka menjalin hubungan?’ Denver bertanya-tanya dalam batinnya.Gelombang kedongkolan langsung menyapu benaknya. Entah mengapa hatinya terasa risih mendapati sang mantan terlibat dengan kakaknya. Meski sangat penasaran, tapi cucu kedua Tigris Devante itu memilih bungkam sebab egonya yang tinggi.“Apa hubungan Kakak dengan pria ini? Apa kalian berpacaran?” Tanpa ragu Aretha pun menguarkan rasa ingin tahunya.Sungguh berbanding terbalik dengan Denver. Tatapannya yang sen
“Anda sangat tidak sopan pada seorang wanita!” Manik Jade gemetar seiring dengan nadanya yang meninggi. Cekalannya pada si pelayan pun bertambah erat seolah dia ingin mematahkan tulangnya. Ya, Jade sungguh terusik kala mendapati pegawai restoran itu menatap Anais penuh nafsu. “Ba-baik, Tuan. Tolong lepaskan saya!” sahut Pelayan tadi terbata. ‘Dasar, sialan!’ Dia segera menarik tangannya saat Jade melonggarkan cengkeraman. Irisnya pun menggulir buncah ke arah Anais dan lantas membungkukkan badannya berulang kali. “Saya benar-benar mohon maaf, Nona. Saya sudah ceroboh dan malah menumpahkan minuman ini pada—” “Baiklah, saya tidak apa-apa. Saya harap lain kali Anda lebih berhati-hati.” Anais lekas memangkas ucapan Pelayan tadi sebab canggung menjadi bahan tontonan. Wanita itu memilih untuk menahan diri. Sudah banyak perkara yang membelit kepalanya, jika dia juga menangapi masalah sepele seperti ini, maka hanya akan membuang energi dengan sia-sia. Meski Anais tak memperpanjang perka
Hembusan napas Jade yang mengenai wajah Anais terasa begitu hangat. Bahkan hidung bahari mereka yang nyaris bersinggungan, membawa sensasi berdebar yang membingungan bagi sang wanita.Jade yang sengaja menggoda Anais untuk melepas tegangnya pun menaikan salah satu alisnya. Di bawah remang lampu depan pintu toilet itu, dirinya berbisik, “Saya akan memikirkannya nanti.”Seketika, kelopak mata Anais terangkat. Dirinya terkejut kala tangan Jade melangkupkan jas hitam ke tubuhnya untuk menutupi bagian yang basah.“Sekarang Anda memiliki satu hutang lagi pada saya, Nona,” tukas Jade yang kini menarik dirinya agak menjauh.Sungguh, garis wajahnya yang menguarkan otoritas, sangatlah mengusik Anais. Maniknya yang setegas elang, juga sudut bibir yang kerap kali tersungging miring, sungguh terasa menekan.Anais membeku. Tulang selangkanya yang terpahat indah menonjol seiring dengan rasa geramnya terhadap Jade.“Anda benar-benar pria yang tak ingin rugi rupanya. Berapa yang Anda inginkan agar ki
Wajah Anais tampak mengeras dengan segala bendungan amarah. Bahkan sampai langit menggelap pun, dirinya masih dibuat dongkol juga. “Ah, ternyata Kak Anais baru kembali?” tukas Aretha melempar tanya. “Bagaimana kencan Kakak dengan pria itu? Tumben sekali Kakak ingat pulang?” Sungguh, bibir Aretha yang tersungging sinis sangatlah memacu pertikaian. Anais yang sudah geram, kini menyorot tajam dan segera menyambar, “Telan saja basa-basimu itu! Katakan, untuk apa kau masuk ke kamarku?!” Bukannya langsung menyahut, Aretha malah mengerutkan keningnya kesal, seolah-olah tak terima mendapat amukan tanpa alasan. “Mengapa Kak Anais begitu marah? Memangnya kita orang lain? Aku hanya memeriksa, apa Kakak sudah pulang atau belum?!” Sang Adik menimpali dengan tedasnya. Lucu sekali. Dia berlagak menjadi saudara, padahal sebelumnya telah berkoar pada Denver jika Anais bukan bagian dari keluarga sahnya. Sungguh gila, bukan? Tingkahnya itu seketika membuat rasa mual naik ke tenggorokan Anais. Wan
Belum juga Jade menjawab, mendadak ada ketukan di jendela mobilnya. Sepasang manik elangnya melirik malas, terlebih dia sudah tahu siapa orang yang mendatanginya.“Keluarlah!” tukas Denver sengit.Jade sama sekali tak menanggapi, tapi sang adik malah kian keras menggedor kaca limosin yang masih terparkir itu.“Aku bilang keluar, sialan!” Cucu kedua Hans tersebut kembali memberang, sampai-sampai menarik perhatian para Karyawan yang tengah berlalu.Carlein-asisten Jade yang berada di bangku kemudi pun bimbang. Dia merasa sang tuan sudah tak nyaman berada di tempat ini, tapi dirinya juga tak bisa langsung melesat saat adik Jade melaung-laung di dekat mobilnya.“Haruskah kita pergi sekarang, Tuan?” tukas Carlein bertanya.Jade tak merespon. Dengan dahi mengerut, ekor matanya memicing ke arah sang adik.“Jagalah sikapmu, Denver. Saat ini kau sedang tidak berada di hutan!” cecar Jade usai menurunkan sebagian kacanya.Sederet ucapan itu seketika memacu rasa geram naik ke pipi Denver. Tangann