“Bapak, tolong! Jangan permainkan perasaanku! Bapak menyentuhku lalu mengatakan aku istri Bapak. Aku istri di atas kertas, Pak,” Malati memberanikan diri mengatakan itu karena sudah merasa tidak tahan dengan tekanan yang diperolehnya. Suaranya bergetar seiring dengan rintik hujan yang turun berdenting menimpa genting. Pundaknya berguncang dengan isak yang tertahan. Pria itu berhasil membuatnya melambung tinggi, merasakan apa itu kebahagiaan. Namun sekejap ia menjatuhkan dirinya pada jurang ngarai sedalam-dalamnya, merasakan kesedihan. Gadis malang itu jatuh hati lalu langsung patah hati sekaligus. Ia merasa dirinya yang menderita akan perasaan itu. Nyatanya, Aldino pun merasakan hal yang serupa di mana ia sendiri terjebak dalam perasaan pada gadis itu. Naasnya, ia harus melepaskan hubungannya dengan Ana yang sudah terjalin lama. Namun setelah ia menimang-nimang Ana mungkin bisa menjadi kekasihnya akan tetapi ia tidak bisa menjadi istrinya mengingat sikap manja, impulsif dan kekana
Malati menggelengkan kepalanya, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tak mungkin Aldino semudah itu mengakhiri hubungannya dengan kekasihnya. Melihat reaksi Malati yang terbengong lama, Aldino meraih ke dua tangan gadis itu, menggenggamnya dengan erat. Mereka duduk berhadap-hadapan dengan ke dua netra bertumbur sembari menyelami perasaan masing-masing. “Saya sudah memutuskan. Saya ingin menjalani pernikahan denganmu, Putri Melati. Saya sudah mengakhiri hubungan saya dengan Ana. Kini, kita tak perlu lagi merahasiakan pernikahan kita. Saya sudah menikahimu sah baik secara agama maupun hukum.” Aldino memberikan sebuah penjelasan singkat dan padat. Berharap Malati menerima keputusannya. Namun ia tidak menceritakan bagaimana respon Ana-yang tentu saja tidak menerima keputusan Aldino. Ana butuh waktu menerimanya. Malati menggelengkan kepalanya lagi seraya menarik tangannya kendati tak berhasil karena Aldino menggenggam tangannya erat dan posesif. Ia bahkan mengecup punggung tangannya b
Malati menarik sudut bibirnya saat mereka tiba di suatu tempat yang mungkin menurut Aldino ialah ‘tempat kencan’. Ingin sekali ia tertawa namun ia sebisa mungkin menahannya, mengingat Aldino seorang yang temparamen sehingga akan mudah tersinggung. Ia menghargai usaha pria itu yang tengah berusaha memikat hatinya.Gadis itu menatap Aldino dengan senyum yang mengembang dari samping. Senyuman yang paling lebar seperti saat ia mendapat nilai seratus pada ujian Matematika. Atau saat ia menerima gaji pertama sebagai tutor Matematika.“Suamiku ganteng ya,” imbuh Aldino narsis saat merasa memang dirinya tengah diperhatikan gadis itu.Malati tak merespon pria bertubuh besar itu. Ia memalingkan wajahnya pada sebuah batu besar dengan pahatan kuno di hadapannya.Saat ini mereka tengah berada di sebuah museum Pasir Angin yang terletak di daerah Cemplang, Cibungbulang. Bukan tanpa alasan Aldino mengajak istri kecilnya pergi ke sana. Ia berpikir secara matang bahwasanya tipikal gadis cerdas semacam
Ali menatap kolam ikan di depannya dengan tatapan merana. Ia merasakan dadanya terasa panas. Sesuatu seakan membakarnya dari dalam. “Argh, sialan!” Ali ingin sekali melempar gelas kaca yang dipegangnya pada aquarium kesayangan ayahnya. Bisa-bisa ia dimutilasi jika berani melakukannya. Pria berwajah Arab itu benar-benar merasa muntab. Tak pernah menyangka jika Aldino bisa senekat itu. Saat Aldino menjemput Malati di kampus, ia melihat mereka bertepatan ia keluar dari gedung rektorat. “Apa benar Aldino sudah sejauh itu?” gumamnya dengan perasaan pedih hatinya. “Putri, apa kau juga memiliki perasaan yang sama pada pria brengsek itu? Rasanya tak mungkin kau menggoda Aldino. Aldino pasti sudah menekan dan mengancammu.” Ali mendengus kasar mengingat pemandangan yang menyesakkan dada tadi. “Ali, kau sudah pulang?” sapa Hanum yang baru saja tiba dari salon dengan Ana. “Tumben, Mustafa Ali nongkrong di depan aquarium. Biasanya nongkrong di perpustakaan.” Ana berkomentar lalu duduk dek
Malati memakai stetoskop yang sudah dipersiapkan oleh Mr Bon untuknya. Beruntung Mr Bon sudah memikirkan hal sedetail itu untuk memudahkan misi gadis itu.Ia menempelkan bagian earpieces pada telinganya dan meletakan bell pada dinding dekat knop brankas. Beberapa tukang kunci profesional melakukan hal serupa untuk membongkar brankas yang macet. Hal itu dilakukan untuk bisa mendengar pergerakan dalam poros.Malati memulai aksinya. Ia mulai menekan angka kombinasi searah jarum jam. Sudah dua kali ia gagal. Tak menyerah, ia mencoba angka lainnya.Sesekali ia memutar angka berlawanan arah jarum jam dan mendengarkan dengan seksama sampai terdengar suara klik yang saling berdekatan. Ia memutar knop perlahan untuk mencatat posisi knop.“Mala, sudah belum?”Dari bibir pintu Sulis bertanya dengan harap-harap cemas. Jantungnya berdegup kencang sebab mendengar panggilan telepon dari Mr Bon bahwa target menuju ke sana.Malati mengabaikan Sulis. Ia fokus melakukan pekerjaannya. Ia masih memutar no
Malati menggeliat dalam tidurnya. Semalam ia tidur nyenyak setelah menjalankan misinya kendati gagal.Ia merasa hangat memeluk guling yang begitu besar. Dalam mimpinya, gadis itu tengah tidur di atas kasur berukuran sangat luas-berukuran stadion sepak bola sembari memeluk bantal dan guling yang sangat empuk.“Hum, nyaman sekali,” gumam gadis itu sembari tersenyum. Tangannya begitu erat memeluk guling itu.“Mala, singkirkan tanganmu!” imbuh Aldino setengah sadar saat ia merasa ada tangan mungil yang meraba-raba dadanya. Pria itu merasa geli.“Hum, gulingnya besar sekali,” ucap gadis itu mengigau. Tangannya menjalar pada bongkahan dada yang liat dan menyentuh sesuatu yang tampak mungil. Saat itu Aldino mengenakan kaos tipis.“Shit! Mala! Apa yang kaulakukan?” Aldino membuka matanya dan segera menangkap tangan gadis itu yang sudah berada tepat di bagian pucuk dadanya. Tangan dan kaki gadis itu membelit pada tubuhnya bagai akar.“Ya ampun, gadis ini sepertinya tengah bermimpi.”Aldino me
Ana menggeram pelan saat melihat pemandangan yang melukai hatinya. Tak jauh dari keberadaannya, ia melihat sosok Aldino bersama Putri Melati. Diam-diam Ana mendatangi rumah Aldino pagi itu. Ia merindukan kekasihnya.Setelah percakapan dengan Aldino terakhir kalinya, ia tidak pernah mengobrol lagi via telepon. Sekalipun Ana berusaha menghubunginya, namun Aldino selalu punya cara menghindarinya dengan seribu alasan.Mereka tengah berada di dalam kendaraan beroda empat. Rutinitas pagi Aldino mengantar istrinya kuliah. Ana baru menyadari satu hal.“Apa mereka tidur satu ruangan? Apa mereka melakukan aktifitas sebagaimana suami istri lakukan?” gumam Ana dengan air mata yang bercucuran.Mobil Aldino sudah melewatinya. Kaca jendelanya terbuka dan menampakkan ke dua sejoli itu tengah ngobrol seru. Aldino tampak ceria. Semua pemandangan itu tak luput dari tatapan Ana.Melihat raut sedih majikannya, Guntur merasa sedih dan iba.“Mbak Ana, lupakan saja pria seperti itu! Mbak Ana cantik dan pinta
“Di mana housekeeping card kalian?” tanya Abhizar sembari tatapan penuh telisik pada gadis bertubuh mungil di hadapannya. Putri Melati dan Sulis mengenakan seragam housekeeper berwarna hijau. Ke duanya memakai masker Sensi Convex Mask dan mengalungkan ID card di dada masing-masing. Perbedaannya Malati mengenakan jilbab sedangkan Sulis tidak. Sulis membiarkan rambutnya dicepol tinggi dengan hair bun namun terlihat rapi. Mereka profesional melakukan penyamaran dengan halus. Karena beberapa kali mengalami insiden buruk, Abhizar selalu menaruh curiga pada siapapun yang ditemuinya. Ia harus waspada. Ia pun meminta ke dua housekeeper untuk menunjukan ID sekaligus wajahnya mereka. Mereka pun kompak memperlihatkan ID masing-masing yang sudah dimanipulasi. Pun, pria itu meminta mereka menunjukan wajah di balik masker. “Buka masker kalian!” titah Abhizar tanpa basa-basi. Deg, Malati merasa jantungnya berdegup kencang. Jika ia melepas maskernya, ia pasti dikenali. Gagal sudah misi ke dua