Atmosfer di sekitar ruangan Mr Bon hening. Helaan nafas halus sekalipun bisa terdengar.Malati sibuk memperhatikan berkas yang ia pegang dengan tangan yang mendadak tremor, sedangkan Mr Bon memperhatikan gadis mungil itu dengan pikiran liarnya.“Malati, jaga pandanganmu! Kau kini telah menjadi wanita bersuami meski belum terpublikasi!”Mr Bon berdiri dan ia menjentikkan jarinya di depan kening Malati.“Oough!”Malati tak terima tuduhan kejinya. Sontak, ia mencebikkan bibirnya kesal.Mr Bon telah salah paham padanya. Malati tidak sedang mengagumi foto pria dewasa itu yang memiliki tubuh atletis nan ideal serta berwajah tampan, namun ia tengah berusaha meyakinkan dirinya sendiri apakah pria di foto dengan biodata yang tercantum di berkas itu Aldino Tama Waluyo yang sama dengan pria yang baru dua hari menikahinya.Malati menajamkan indera penglihatannya, ia membaca ulang hingga tiga kali. Tertera nama biodata dan foto jelas tak mungkin berdusta.Aldino Tama Waluyo ternyata bukan orang se
“Mala!” panggil seseorang dari arah belakang.Leher Malati terasa berat namun dipaksakan menoleh, “eh, Pak, sudah lama? Menunggu?”“Baru, saya barusan ketemu teman lama saya yang ternyata tinggal di perumahan ini,” jawab Aldino dengan santai namun suaranya tetap terdengar intimidatif di telinganya.Malati lekas mengekori langkah Aldino, masuk ke dalam mobil. Dengan kecepatan sedang, Aldino menjalankan mobilnya menuju Komplek Perumahan Spring Hills.Rumah terlihat sepi setiba mereka menginjakkan kaki di sana. Malati baru teringat jika Eyang Waluyo dan Bude Ratna menginap di kediaman Dirgantara, anak angkatnya Eyang Waluyo.Mereka memasuki rumah tanpa basa-basi. Namun Malati teringat soal belanjaannya yang ditaruh di bagasi mobil. Lekas ia menghampiri Aldino yang sudah berjalan lebih dulu menaiki anak tangga menuju kamar.“Pak, eh, Mas, pinjam kunci mobil. Aku mau bawa belanjaanku di dalam bagasi.”Malati mengatakan itu dengan sungkan. Di dalam rumah ia harus memanggil Mas dan di luar r
Eyang Waluyo lebih banyak diam ketika berada di dalam pesawat. Tatapannya kosong, padahal ke dua netra yang sudah lamur itu terpancang pada layar persegi yang menayangkan acara favoritnya: berita harian market, saham dan investasi.“Mau minum?” Di sampingnya Bude Ratna terus mengawasi gerak-gerik ayahnya. Karena usia ayahnya yang sudah terlampau tua, ia menjadi lebih waspada dan memberikan perhatian yang lebih padanya.Eyang Waluyo masih bergeming. Jika demikian, ia sedang berpikir keras. Di antaranya pemicu bisa dari masalah perusahaan dan cucu kesayangannya.Bude Ratna dengan sigap menyematkan selimut pada ayahnya yang terlihat ingin tidur beberapa detik kemudian. Eyang Waluyo masih tetap bergeming. Hingga guncangan turbulensi di atas lapisan stratosfer, tepatnya 35000 kaki di atas bumi mengusik lamunannya.Beberapa penumpang pesawat menjerit ketakutan dan sisanya berdzikir mengingat Tuhan. Ya, terkadang saat-saat genting dan darurat menyebut namaNya.Beruntung mereka berada di kel
Bab 20Malam itu sekitar pukul satu malam, suasana kompleks perumahan Spring Hills terlihat sepi. Semua penghuninya tampaknya sudah terjerembab dalam bunga tidur.Hanya terdengar suara hembusan angin yang berdesak-desakan menggoyangkan pohon ketapang-yang sebagian besar menghuni perumahan di sisi kanan dan kiri jalan.Jarak satu rumah dengan rumah yang lain cukup jauh sehingga andaikata ada orang yang karaoke sekalipun takkan terdengar ke rumah yang lain.Rumah mewah bergaya mediterania merupakan rumah yang berlokasi paling ujung. Terlihat sepi dan minim penghuni. Setelah melakukan observasi selama dua minggu, para perampok yang menjadi bromocorah incaran polisi itu kini memutuskan target mereka pada rumah milik Eyang Waluyo, setelah sebelumnya mereka melakukan aksi mereka di perumahan elit lainnya. Mereka melakukannya dengan random, tak bisa ditebak namun dengan pola yang sama.Komplotan itu bahkan sudah mengetahui seluk beluk rumah itu dari orang dalam yang kemudian diajak kerja sa
Kraaak, Ranting pohon terinjak oleh sepasang sepatu boots berbahan kulit penuh lumpur. Tangannya yang besar menyingkirkan tanaman pakis hias yang menghalangi jalannya. Pria bertubuh besar itu terus berjalan hingga melintasi curug sembari memanggul karung berisi sosok wanita yang disumpal mulutnya. Setelah tiba di tempat eksekusi, sebuah pondok yang berada di tengah hutan pinus yang menembus langit. Ia pun mengeluarkan wanita itu dan mulai mendudukannya layaknya tahanan. Wanita berparas cantik itu didudukan di atas kursi seperti tahanan psikopat. Tangannya diikat ke belakang kursi dan kakinya juga diikat dengan tali. Ia sudah terlihat lemah karena sudah tiga hari tidak makan dan minum. Tubuhnya nyaris tak bertenaga. Namun wanita itu tetap teguh pada pendiriannya, ia memilih bergeming karena memberontak pun sia-sia. Ia sudah menghabiskan waktunya dengan memukul, menendang hingga mencakar. Namun tetap saja pria itu tak dapat dilawan. Bukan tanding seorang wanita meski wanita itu
Tubuh yang lemah akibat demam yang naik turun membuat Malati seketika tumbang. Ia pasrah ketika ia harus tidur kembali satu ranjang dengan pria yang kini menjadi suaminya.Suara hembusan angin terasa menggelitik bulu romanya. Pun, sayup-sayup suara merpati yang berdekut tertangkap telinga.Mata Malati terasa berat sekedar terbuka. Sinar matahari dengan lancang menyusup melalui celah jendela balkon dan menggoyangkan tirai vitrase. Menghalau rasa dingin yang menusuk-nusuk, tubuhnya semakin tenggelam ke dalam selimut tebal padahal pendingin ruangan sejak semalam dimatikan.Malati merasa hangat namun ia harus bangun karena teringat ia harus pergi kuliah. Namun kepalanya berat luar biasa dan matanya sulit terbuka.Perlahan mata karamel Malati menyesuaikan dengan cahaya, seketika ia terkesiap ketika ia saat ini berada dalam pelukan pria besar.Aldino entah sejak kapan memeluknya dengan erat. Matanya terpejam rapat dengan suara dengkuran yang halus. Perlahan, Malati menyingkirkan ke dua ta
Malati merasa kesal atas perlakuan Aldino yang menahannya pergi kuliah. Atas dasar apa ia mulai mengintervensi urusannya? Mengapa juga menahannya?Malati menyusun rencana, bagaimana jika ia keluar diam-diam menyusup melalui pintu balkon. Ia hanya butuh nekad. Namun segera ia menggelengkan kepalanya cepat. Kamar Aldino berada di lantai dua. Oleh karena itu untuk bisa keluar dari kamar itu, Malati harus meloncat ke bawah.Ide buruk!Malati takut ketinggian dan ia bukanlah ninja yang pandai meloncat dari ketinggian dan memanjat tembok. Jika ia nekad meloncat sudah bisa dipastikan ia bahkan takkan masuk kuliah lagi, berakhir di ruang ICU.Alhasil, Malati akhirnya duduk manis di bangku belajar. Sebentar, ia baru sadar jika sudah ada meja belajar disediakan di sana. Entah sejak kapan.Seingat Malati kamar Aldino yang luas begitu hanya diisi oleh kasur berukuran king size dan meja rias sehingga terlihat luas. Namun sudahlah Malati tak mau ambil pusing. Memikirkan tindak tanduk kepala sekolah
Malam yang kelam tanpa gemintang. Dersik angin menyapu dedaunan kerontang hingga kenangan.Wanita itu merintih kesakitan. Berupaya keras mengeluarkan suaranya meskipun senantiasa gagal. Hanya pita suaranya saja yang bergetar dan tatapan merana penuh asa.“Kau siapa?” tanya Malati pada sosok wanita yang mirip dengannya, Xie Mei Ling.Wanita yang tengah duduk di atas kursi hukuman itu hanya mencongak dan menyematkan senyuman tipis meskipun mulutnya disumpal. Wajahnya samar. Hanya terlihat matanya segaris menyipit pertanda ia tersenyum dalam deritanya.Secarik kertas terbang begitu saja, menyentuh wajah Malati sebelum dirinya tiba di hadapan Xie Mei Ling.Malati menemukan sebuah nama yang tertera di ujung kertas itu. Maya.Penasaran, Malati mendekatinya dan berusaha melepaskan ikatan tangan dan kakinya, ingin bertanya siapakah orang yang bernama Maya?Malangnya, sebelum Malati mendekati wanita berwajah oriental itu, pria berwajah sangar menghadangnya dan melemparkan senyum smirk pada ga