Syamil menceritakan pada Didin semuanya. Pernyataan perasaan Zahra sampai dengan perkataan Zahra tadi yang begitu menyinggung harga dirinya sebagai suami. Jika ingin hanya tidur dengan wanita, ia bisa saja menikah siri dengan wanita manapun, tanpa perlu membuat malu keluarganya. Jika sudah begini, seluruh pesantren pasti menanggung malu, terutama nama abahnya. Namun, ia bisa apa jika Zahra benar tidak bisa menerimanya sebagai suami. Jika ia terus paksakan, maka Zahra semakin menumpuk dosa padanya. "Hhmm... lebih rumit ini dari pada harus bayaran cicilan rumah, tetapi tiba-tiba suami di PHK." Didin menatap Syamil dengan seksama. "Begitu, Bang, jadi saya minta tolong ya. Mbak Hani sedang didekati Mas Raka. Jangan sampai saya kalah langkah dari Mas Raka. Ummi pasti gak akan protes saya menikahi janda, karena saya juga sudah duda. Pokoknya gimana caranya Mbak Hani biar gak dekat sama Mas Raka. Bisa kan, Bang?" Syamil memohon dengan wajah memelasnya. "Bayarannya apa?" tanya Didin menan
"Maaf nih, Sya, kalau untuk itu saya gak bisa bantu karena saya otewe jadi istri Raka. Jadi, status saya setengah janda." Jawaban Hani sama sekali tidak membuatnya merasa kecil hati, karena ia sangat tahu Hani, lain di bibir lain di hati. "Memangnya udah dilamar?" tanya Syamil kepo."Belum, baru dalam perencanaan." Hani semakin tidak nyaman karena saat ini Syamil menatapnya begitu intens, meskipun sesekali ia menunduk."Berarti saya lamar ajalah ya. Ayo, kita ke toko emas!" Hani bangun dari duduknya karena merasa kesal dengan Syamil. "Tunggu, mau ke mana?" tanya Syamil terkejut karena Hani tiba-tiba berdiri. Pemuda itu menarik ujung kerudung Hani untuk menahan langkah wanita itu. "Kalau masih bicara omong kosong, saya lebih baik pulang!""Saya gak bicara omong kosong, saya serius." Syamil menyadari Hani tidak nyaman dengan ucapannya, tetapi ia tiba-tiba mendapat ide brilian untuk mendapatkan Hani dengan cara lain. Ada yang tahu? "Baik Mbak Hani, maafin saya kalau perkataan saya bu
"Halo, assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam. Saya Raka, apa Syamil ada?""Syamil keluar sejak pagi ke rumah mertuanya.""Ya, tadi pagi Syamil memang dari rumah Zahra, tetapi sudah pergi dan saat ini mama saya..."Suara Raka tertahan. "Ada apa, Mas?""Mama saya meninggal karena serangan jantung.""A-apa? M-mamanya Zahra meninggal?""Iya, tolong sampaikan pada Syamil dan keluarganya. Saat ini masih di rumah sakit dan akan dibawa pulang ke rumah.""Innalillahi wa innaa ilaihi rooji'un. B-baik, Mas, terima kasih atas informasinya. Kami turut berduka cita. Semoga almarhumah husnul khotimah. Yang sabar dan ikhlas ya, Mas.""Baik, terima kasih. Assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam." Nela menutup panggilan dari Raka. Kakinya melangkah cepat menghampiri Bu Umi yang sedang ada di teras depan, sedang menemani Syam bermain di kolam ikan koi. "Mi, eh ... Syamil, saya kirain kamu belum pulang. Ini gawat, Sya." Bu Umi dan Syamil melihat serentak ke arah Nela. "Ada apa, Mbak?" tanya Syamil bingu
"Semua ini gara-gara kamu, Syamil! Kamu yang bikin mama aku serangan jantung! Kamu pembunuh Syamil. Aku benci kamu! Aku benci kalian semua! Kenapa kalian datang ke sini? Pergi! Jangan pernah balik lagi ke rumah ini atau menemui saya. Kamu dan keluargamu gak punya hati! Kalian penjahat!" Zahra menunjuk Syamil dan keluarganya yang baru saja masuk ke dalam rumah. Wanita itu bahkan hendak mencakar dan memukul Syamil karena amarah sudah menguasai hatinya. Untunglah ada banyak saudara dan juga papanya yang berdiri di dekat gadis itu, sehingga bisa menahan tangan dan juga tubuhnya dari amukan. "Zahra, istighfar, Nak! Sudah!" Pak Rahmat menarik Zahra masuk ke kamar karena putrinya berteriak histeris saat tahu Syamil dan keluarganya tiba di rumah duka. Awalnya susah, tetapi ia berhasil juga dimasukkan ke dalam kamar. Suara tangisnya masih pecah, terdengar sampai keluar kamar. "Kamu penjahat, Syamil! kamu pembunuh mamaku. Mama, Mama!" suara Zahra terdengar begitu pilu dan membuat siapa saja
"Sya, kamu tetap di sini'kan?" tanya abah saat mereka hendak pulang. Acara tahlilan sudah selesai dan rumah duka juga sudah sedikit dibersihkan. Hanya tenda dan kursi yang masih terpasang. "Nggak, Bah, Syamil pulang saja. Syamil sudah mengucapkan talak pada Zahra dan Syamil rasa, Zahra juga perlu waktu sendiri. Zahra masih berteriak gak jelas tadi di kamar. Abah dengar suaranyakan?" abah hanya bisa mengangguk pelan. Apa yang dilakukan oleh Syamil menurutnya sangat fatal, tetapi ia juga tahu karakter putranya. Jika tidak darurat dan sebab yang kuat, pasti tidak akan mungkin Syamil menempuh jalan yang paling dibenci oleh Allah. "Pulang aja deh. Lagian lihat saja tadi, semua saudara Bu Tia dan Pak Rahmat melihat kita begitu banget. Kayak kita pembunuh. Padahal umur mah rahasia Allah," komentar Bu Umi. Abah Haji kembali menghela napas. Memang lebih baik saat ini mereka menjauh dulu sampai suasana hati Zahra dan keluarganya tenang. "Udah, Abah gak usah bingung, nanti kita tetap pesanan
"Ternyata kamu beneran Hani adiknya Hadi. Apa kabar?" tanya Nela dengan suara lembut. Hani benar-benar tercengang dengan sosok wanita malam yang pernah datang meminta pertanggung jawaban pada abangnya, tetapi akhirnya diusir(bisa kalian baca di lapak pizzzoh gratis dengan judul "Sepuluh Juta Satu Minggu) Nela benar-benar berubah dan ia hampir tidak mengenali wanita di depannya ini. "Hani," panggil Nela lagi. Hani pun tersentak dari lamunannya. "Eh, iya, Mbak. Mbak sedang apa di sini? M-maksud saya, apa Mbak tinggal dekat sini?" tanya Hani gugup. "Saya tinggal di pesantren. Istri kedua abah haji." Hani kembali mendelik. "A-pa, istri kedua? Bagaimana bisa? Terus anak yang ada dalam kandungan Mbak Nela? S-saya tidak pernah melihatnya. Apa baik-baik saja? Secara tidak langsung anak yang dikandung Mbak Nela waktu itu adalah.... ""Saya keguguran, Hani. Bayi kembar saya tidak bisa diselamatkan.""MasyaAllah kembar?" Hani lagi-lagi memekik karena terkejut dengan kejadian pagi hari yang
Raka dan papanya bingung mencari keberadaan Zahra. Lelaki itu menyusul ke makam, mengira Zahra pergi ke makam mamanya karena merasa sedih. Namun, begitu sampai di sana. Tidak ada siapapun. Ponsel Hani kembali berdering. Nama Raka muncul di sana. "Halo, assalamu'alaikum, Mas.""Wa'alaykumussalam, Hani. Apakah Zahra ada di rumah kamu?" Kening Hani mengerut dalam. "Zahra? Gak ada, Mas. Memangnya Zahra ke mana?" "Zahra pergi dari rumah dan bawa HP. Dicari ke makam mama gak ada. Apa kamu tahu kira-kira Zahra pergi ke mana?""Mas sudah telepon Syamil? Coba saja, Mas. Siapa tahu Syamil tahu keberadaan Zahra. Saya gak tahu tempat favorit Zahra, Mas. Maaf ya.""Belum, saya belum telepon Syamil. Males sebenarnya, tapi ya sudah, saya telepon deh."Sambungan itu diputus oleh Raka tanpa ucapan salam. Hani sadar bahwa Raka sedang bingung dan juga cemas, sehingga ia tidak terlalu menanggapi salam penutup yang belum diucapkan Raka ketika mereka selesai bicara. Ke mana Zahra? Ada apa dengannya?
"Gak boleh bawa abang Syam! Abang, masuk! Bial Syam aja yang dibawa! Di sana ada mainan tembakan kan Om Polisi? Syam mau main tembakan," ujar Syam dengan lucunya. Dua anggota polisi tertawa, tetapi tidak dengan wajah Ibnu dan Syamil yang masih sama ketatnya. "Baik, Pak, saya boleh ganti baju dulu. Tidak, maksudnya saya ganti sarung saja." Kedua polisi itu saling pandang. Lalu salah satu diantara mereka mengangguk. "Baik, terima kasih Pak." Syamil pun masuk ke dalam rumah untuk mengganti sarung dengan celana panjang berwarna hitam. Saat ia turun dari tangga, Laila dan abah keluar dari pintu kamar masing-masing. Ibnu yang memberikan pesan pada abah dan kakak Syamil agar segera keluar rumah untuk melihat Syamil dibawa polisi. "Ada apa ini, Sya?" tanya abah bingung. Ada getar pada suaranya. Antara ingin marah dan juga menangis. Syamil mendekati abahnya dan juga Laila. Pemuda itu mencium punggung tangan keduanya. Laila sudah menangis. Ia sempat diceritakan oleh abah tentang ketakutan i