Alenta duduk di kursi empuk dengan bayinya yang masih berusia 5 bulan digendongnya, Reiner. Senyum bahagia terpancar dari wajahnya saat panggilan video dengan Elea akhirnya tersambung. “Selamat pagi, Elea, kesayangan ibu...” sapa Alenta dengan suara bersemangat. Wajah Elea yang ceria segera muncul di layar ponselnya, tampak baru saja pulang sekolah dengan seragamnya yang masih rapi.“Hai, Ibu Alenta! Selamat pagi juga!” balas Elea, tersenyum lebar. “Wah, Adik Reiner sudah semakin besar, pipinya sangat gendut! Adik Reiner sudah makan?”Alenta tersenyum lembut, “Adik Reiner baru saja selesai minum susu, bagiamana denganmu, Sayang? Semalaman Ibu ingin menghubungi mu karena tidak bisa tidur. Ngomong-ngomong, bagiamana hari pertama sekolah?” Ia kemudian mengayunkan Reiner yang mulai merengek, membuat bayi itu kembali tenang.“Semuanya menyenangkan! Aku punya banyak teman, Ibu!” jawab Elea yang membuat Alenta bahagia. Ron yang mendengar pembicaraan mereka segera mendekat dan ikut serta d
Restoran kelas atas itu terasa begitu mewah dan eksklusif saat Edward sengaja memboking seluruh tempat hanya untuk dirinya dan Alenta. Cahaya redup dari lampu gantung menciptakan suasana yang sangat romantis. Alenta tampil mempesona dengan gaun hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya, sementara Edward tampak gagah mengenakan setelan jas hitam yang serasi.“Gila.... Istriku benar-benar sangat cantik malam ini,” ujar Edward, menatap Alenta dengan kekaguman. Mendengar pujian dari Edward, Alenta pun tersenyum malu. “Berlebihan sekali!” Mereka duduk berhadapan di meja yang telah disiapkan dengan apik, lengkap dengan bunga mawar merah di tengahnya.Anak-anak mereka telah dititipkan kepada Karina dan Horrison, sehingga malam itu mereka bisa menikmati makan malam romantis berdua tanpa gangguan.Pelayan yang sigap mengantarkan hidangan lezat yang telah dipesan oleh Edward. “Ya ampun... Ini sepertinya aku akan panen kalori malam ini, ya.” ujar Alenta melihat menu makan yang jelas tinggi
“Berikan jasku,” pinta Helios kepada Julia. Mendengar itu, Helios pun dengan segera mengambilkan jas untuk Helios kenakan. “Hari ini, biarkan saja Elea sekolah sendiri. Gurunya juga sudah bilang agar kau tidak perlu khawatir, tidak perlu menunggunya di sana. Nanti, kalau Elea sudah selesai, kau bisa menjemputnya, atau biarkan sopir yang melakukan itu.” ucap Helios. Julia masih belum rela, dia menghela nafas, dan jelas ekspresi tidak rela begitu terlihat. “Tidak bisa. Aku selalu saja merasa tidak tenang, bahkan kalau boleh aku ingin berada di sebelah Elea sepanjang hari.” Helios membalikkan tubuhnya, menatap Julia dengan tatapan yang terlihat keheranan. “Aku tahu kau sangat mengkhawatirkan Elea. Tapi, membiarkan dia memiliki kemandirian dan juga kepercayaan diri adalah hal yang sangat penting. Gurunya Elea menghubungi ku kemarin, kau terlalu mengkhawatirkan Elea sampai kau terus berdiri di jendela untuk memperhatikannya.” Helios menatap Julia dengan tatapan serius. “Kalau kau benar-
Alenta dan Edward dengan gembira menyambut kedatangan Julia, Helios, serta keponakan mereka, Elea, di rumah mereka. Begitu pintu terbuka, Alenta langsung melompat memeluk erat Julia, kakak perempuannya yang telah lama tidak berjumpa. “Akhirnya kalian sampai juga!” ujar Alenta merasa lega sekaligus bahagia. Keduanya berbagi kehangatan, mengekspresikan rasa rindu yang terpendam.Setelah melepaskan pelukan, Alenta beralih untuk memeluk Elea, keponakannya yang sudah satu tahun terpisah darinya. Alenta membelai lembut rambut Elea dan mencium keningnya, seakan mencoba mengejar ketinggalan waktu yang telah lama mereka lewatkan.“Sayang, Ibu rindu sekali,” ujar Alenta sembari menciumi pipi Elea. “Pokoknya, selama di sini harus tidur dengan Ibu!” ucap Alenta memaksa. Sementara itu, Edward yang biasa bersikap dingin terhadap Julia dan Helios, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya saat melihat Elea. Ia segera mengangkat tubuh mungil Elea dari Alenta dan memeluknya erat. Keduanya tampak begi
Di gedung perkantoran yang megah, sebuah mobil mewah berhenti di depan pintu utama. Dari dalam mobil itu, terlihat seorang pria muda berusia 26 tahun yang tampan dan elegan turun dengan percaya diri. Dia adalah Reiner, CEO muda perusahaan tersebut, yang sukses menggantikan posisi Ayahnya, Edward, sebagai pemimpin perusahaan.“Kulitnya benar-benar selalu bersinar, aku yang sudah melakukan perawatan selama 3 tahun ini bahkan tidak pernah mendapatkan kulit secerah itu,” ucap seorang gadis, salah satu pegawai kantor dengan tatapan kagum. Pegawai lain menganggukkan kepalanya, setuju. Rambut Reiner tergerai sempurna dengan kesan rapi namun santai, matanya yang tajam menatap lurus ke depan, dan senyum tipis di bibirnya menambah aura karismatik nya. Begitu ia melangkah, langkahnya mantap dan terarah, menggambarkan betapa ia adalah seorang pemimpin yang tegas.“Dia jauh lebih muda dariku, tapi kenapa pesonanya sangat luar bi
Reiner tersenyum puas saat melihat pantulan dirinya di cermin besar yang ada di ruangan tersebut. Tuksedo hitam berkualitas terbaik melekat sempurna pada tubuhnya, membuatnya terlihat semakin gagah dan mempesona. “Bagus! Hari ini, kau pasti akan merasa begitu bangga menikah denganku, Aruna.” gumam Reiner percaya diri. Dia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, menyadari bahwa pernikahannya dengan Aruna akan segera dimulai.“Sebentar lagi, bersabarlah, Reiner!” bisik Reiner kepada dirinya sendiri. Tiba-tiba, ponsel Reiner berbunyi, menandakan adanya pesan masuk. Dengan cepat, dia meraih ponselnya dan membaca pesan yang baru saja diterima. Ekspresi wajahnya berubah drastis saat ia menyadari bahwa pesan tersebut berasal dari Aruna. Isi pesannya membuat jantung Reiner berhenti sejenak.“Reiner, aku sungguh meminta maaf untuk keputusan yang tidak berperasaan ini. Sungguh, aku memi
“Lalukan panggilan video kepada Aruna, biarkan dia melihat sesuatu yang bagus!”Mendengar perintah Reiner, Violet pun membulatkan matanya lebih terkejut lagi. Jelas tidak mungkin, kenapa juga dia harus melakukan hal bodoh? Cepat Violet menggelengkan kepala, ini kali pertama dia menolak perintah dari Reiner. Reaksi Violet benar-benar membuat Reiner kesal, semakin ingin rasanya Reiner berbuat nekat. “Presdir, Saya tahu saat ini anda benar-benar sedang sangat marah. Namun, tolong jangan lakukan sesuatu yang akan anda sesali di kemudian hari,” ucap Violet, mencoba untuk mengingatkan. Kali ini, Reiner memang benar seperti sedang di gerogoti kemarahan. Dia ingin melampiaskan kemarahannya dengan cara yang tidak tahu apa hingga Reiner akan melakukan apapun. “Menyesal, kau bilang?” Reiner tersenyum sinis. “Aku tidak pernah merasa menyesal melakukan apapun. Apakah kau pernah melihat ku menyesali sesuatu?” Reiner menekan tubu
Ron berdiri tegak di depan dinding kaca ruangan kantornya yang menghadap ke luar, tatapannya menembus kejauhan. Di balik kemarahan yang membara, ia merasakan kepedihan yang mendalam akibat penghinaan yang dialami adiknya, Reiner. Dalam hati, ia bersumpah untuk tidak akan membiarkan Aruna wanita yang melarikan diri di hari pernikahan dan membuat Reiner hampir menanggung rasa malu luar biasa lepas begitu saja.“Wanita itu, mana boleh dia bebas begitu saja?” ujar Ron. Genggaman tangannya semakin erat, hingga ujung jari memutih. Geram memenuhi setiap serat tubuhnya, tak bisa ia kendalikan lagi. Dengan langkah mantap, Ron mengambil ponsel dari saku celananya dan menghubungi seseorang yang bisa dipercaya untuk mencari keberadaan Aruna sekarang.“Ron di sini. Aku butuh bantuanmu,” ujarnya dengan suara yang tegas dan dingin. “Aku ingin kau mencari keberadaan Aruna sekarang juga. Dia harus membayar atas apa yang telah dia lakukan kepa