Emir baru saja selesai mandi dan kini sudah bersiap untuk tidur. Lama ia memandangi langit kamar, kemudian tertawa kecil. "Ami, Ami ... Lucu sekali," gumamnya tatkala mengingat saat dia meminta Ami menjadi istrinya, tubuhnya malah di dorong keluar rumah, lalu ditutup pintunya. Wanita itu tidak menjawab iya atau pun tidak. Apakah tandanya iya? "Duh, ini yang dinamakan jatuh cinta bukan sih?" Emir membolak-balik tubuhnya agar segera terpejam, namun tidak juga bisa.
Cuaca di luar tiba-tiba hujan sangat deras disertai angin. Kilat dan petir saling berlomba memperlihatkan kekuatannya, mengobrak-abrik hati manusia hingga merasa takut akan gelegarnya. Emir yang masih belum bisa tertidur, memilih membuat susu di dapur, lalu membawanya kembali ke kamar. Setelah menenggaknya habis, barulah Emir merasa kantuk yang sangat luar biasa.Duaar!"Allahu Akbar!" pekik Emir tersentak dari tidurnya. Dilihatnya jam weker yang ada di atas meja kecil, sudah"Permisi, Mbak. Saya wali dari Aminarsih, warga RT 06, izin saya bawa ke rumah ibu saya," ujar Emir meminta izin pada petugas pendataan warga korban banjir."Benar begitu, Mbak Ami?" tanya petugas pendataan. Ami hanya mengangguk. Jujur sebenarnya ia sungkan untuk ikut ke rumah ibu dari Emir, tetapi untuk tinggal di tenda pengungsian sepertinya tidak mungkin, karena sekarang saja tubuhnya serasa demam. Jika memaksakan tak menuruti mau Emir, bisa-bisa ia sakit di tenda pengungsi dan tak ada yang mengurusnyandan juga Amira."Baiklah, silahkan tinggalkan fotokopy KTP."Emir mengeluarkan fotokopy KTP yang selalu ia sediakan di dompetnya. Setelah memberikan kertas tersebut, Emir menggendong Amira menuju mobil, sedangkan Ami merasa kepalanya mulai berputar."Ami, ya Allah!" Emir mengecek suhu tubuh Ami dengan punggung tangannya dan suhunya panas."Ayo masuk dulu!" Emir membukakan pintu belakang untuk Ami, dan pintu depan untuk Amira, l
Bugh"Aauu ...." Emir tersentak saat Ami memukul lengannya."A-Ami, i-itu tadi, gak sengaja, itu Amira pelakunya!" adu Emir sambil menoleh pada Amira yang menyeringai lebar di samping mereka."Tidak sengaja, tapi kenapa tidak segera dilepas," omel Ami dengan memalingkan wajahnya yang merona."Gak bisa terlepas, beneran. Kayak ada lemnya," terang Emir dengan wajah serius."Huh, mana ada seperti itu. Udah, sini mangkuknya! Saya makan sendiri saja, untung mangkuknya tidak jatuh," omel Ami pada Emir, lelaki itu hanya menyeringai sambil mengedipkan mata pada Amira.Pintu dibuka, ada Bu Farida di depan pintu melihat keadaan Ami. "Sudah enakan, Mi?" tegur Bu Farida."Sudah, Oma. Sudah ditium Papa, bibil Ibu. Ccuupcup," jawab Amira sambil memajukan bibirnya."Wah, masa sih? Beneran itu, Mir?""Itu, Ma. Tidak sengaja, Amira naik ke punggung saya tiba-tiba, jadi hilang kesei
Ami kini berdua saja dengan Amira di rumah Bu Farida. Karena kondisi tubuhnya sudah lumayan enakan, Ami memilih menyapu rumah dan mengepel lantai. Setelah mengepel, Ami melanjutkan menyapu halaman, lalu menyiram tanaman. Ditemani oleh Amira yang dengan senangnya berlarian ke sana-kemari.Ami memandang lekat pohon apel milik Bu Farida, seketika bulu kuduknya merinding. Pohon yang sama persis, dengan buah apel berwarna merah. Ami memberanikan diri menyiram sedikit akarnya, sambil berbisik, "izin saya siram ya, saya Aminarsih. Apa kamu kenal saya?" tak ada angin tak ada hujan pohon apel itu bergerak dengan sendirinya. Ami tersenyum, lalu pindah menyiram ke pohon yang lain.Rumah Bu Farida termasuk rumah kuno kalau menurut Ami, karena bangunannya mirip rumah pada jaman belanda, ditambah lagi cat rumah berwarna putih, dengam jendela model lama. Tiang rumah yang berada di teras rumah dan dijadikan tempat bergelayut Amira, semakin menambah kesan, rum
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi Emir atau pun Bu Farida belum juga pulang. Aminarsih masih setia menunggu pemilil rumah pulang. Ditemani Amira yang sudah terlelap dengan televisi yang menyala. Di luar, hujan mulai turun sangat deras. Ami bolak-balik melihat ke arah jendela, berharap Emir segera pulang."Hhoooaaam ....'" berkali-kali Aminarsih menguap, hampir saja tak kuat menahan kantuk. Ami memutuskan untuk bangun, lalu menggendong Amira masuk ke dalam kamar. Setelah mematikan lampu utama lalu menyalakan lampu tidur, Ami kembali berjalan keluar, duduk di sofa depan TV, sambil menunggu Emir pulang.Suara kunci pintu diputar sempat mengganggu tidur Ami, tetapi karena sangat mengantuk, kembali melanjutkan tidurnya."Ada yang nungguin saya pulang kayaknya," gumam Emir yang kini sudah berdiri di depan Ami bersama sang mama."Awas jatuh cinta," sindir Bu Farida sambil tersenyum tipis pada Emir.
"Ma," sapa Emir saat sang mama sadar dari pingsannya. Bu Farida jatuh di kamar setelah melihat video Farah yang berciuman di luar sana. Wanita paruh baya itu kecewa bahkan sangat terluka dengan apa yang diperbuat menantunya."Mama kenapa bisa pingsan?""Gak tahu," jawab Bu Farida menyembunyikan video itu dari Emir."Mama kecapean saja," sambungnya lagi, berusaha menahan air mata."Malam ini, tidur di sini dulu, Ma. Sampai kondisi Mama stabil, baru boleh pulang.""Mama gak papa, Mir. Mama mau di rumah saja, bedrest di rumah, tinggal panggil dokter atau perawat ke rumah untuk cek kesehatan Mama.""Nggak, ah. Mama biar menginap di sini saja. Sampai sehat, baru boleh pulang.""Trus di rumah bagaimana? Soto Mama bagaimana?""Ada Ami di rumah, Mama tenang saja.""Mmm ... Kamu benar menyukai Ami?""Iya, Ma.""Trus, Farah?""Entahlah, Ma." Emir meng
Bu Farida menghapus air matanya yang akhirnya turun dengan deras. Ia begitu kecewa dengan Farah menantunya. Wanita yang selalu ia banggakan di depan teman-teman arisannya, atau teman kampusnya dulu, kini justru membuat ia sangat malu dengan teman-temannya. Mencoreng nama baiknya dengan telak, apalagi kondisi Farah yang belum sepuluh hari menjadi istri dari anaknya."Hiks." Bu Farida kembali menghapus air matanya, lalu membuka video yang dikirimkan dari nomor Emir. Sudah dari tadi sebenarnya ia memencet tombol terima, namun proses loading tak kunjung selesai, membuat dirinya malas untuk menuntaskannya. Ia juga lupa menanyakan pada Emir, video apa yang dikirimkan anaknya itu."Apa ini?" keningnya berkerut, saat melihat tak ada keanehan dalam video CCTV yang dikirimkan Emir padanya."Ada-ada saja si Emir," gumam Bu Farida sambil menggelengkan kepala."Ish, jadi kangen Amira," gumamnya lagi sambil memandangi Amira yang nampak tak sabar&n
"Aku cinta kamu, sungguh!""Ish, udah dibilang jangan ngaco! Udah, pake baju sana, Mas. Ada-ada saja! Jangan keseringan meluk, nanti gak bisa lepas!" Ami mendorong tubuh Emir dengan keras, lalu meninggalkan Emir yang tergugu di depan kamar."Selama aku hidup, hampir semua cewek berada yang mendekatiku pertama kali, bahkan sejak SD. Lah, udah tua begini, ditolak dua wanita sederrhana, bahkan ditolak berkali-kali, ck ... jika saat itu dengan Mbak Parni aku gagal, karena ada Ali. Kalau dengan Ami, aku harus berhasil. Lalu Farah? Selesai sampai di sini!" Emir bergumam panjang. Dengan langkah penuh semangat, ia kembali masuk ke dalam kamar sambil memakai baju yang baru ia ambil dalam lemari.*****"Bo***h kamu Eko! Kenapa Emir bisa sampai tahu?" umpat Farah kesal di telepon."Ada CCTV dari dalam dan luar rumah, saya gak tahu Mbak. Mbak juga gak bilangin.""Sial! Gue juga gak tahu ada CCTV di rumah ibunya Emir."
Emir kembali ke ruangan sang mama yang nampak sudah rapi, bersiap untuk pulang."Kenapa, Mir?""Saya pulang sebentar ya, Ma.""Loh, kenapa gak bareng aja?""Mmm ... Maaf, Ma. Di rumah Mama ada Farah.""Hah? Sejak kapan? Amira bagaimana?""Mereka ... I-itu, Ma.""Mereka kenapa?" tiba-tiba saja dada Bu Farida bergemuruh."Diusir Farah, Ma.""Allahu akbar, istri kamu emang benar-benar bikin gemas, Mir. Cepat susulin Amira! Cepat! Bawa kemari!""I-Iya, Ma." Dalam sekejap, Emir sudah berbalik badan meninggalkan kamar perawatan sang mama.****Prraaang"Heh!" Farah menoleh ke arah dapur, suara benda jatuh membuatnya sedikit kaget. Barangkali kucing.Farah melanjutkan memainkan ponselnya.Prraang"Ish, kucing nih." Farah bangun dari duduknya, berjalan ke arah dapur dengan lem