Leon tersenyum tipis saat melihat Abel yang masih pulas dengan tidurnya. Tangannya membelai pipi Abel perlahan, ia memberikan kecupan singkat di sanal. "Sayang, bangun. Kamu nggak lapar?" Leon sendiri tidak menyangka jika akan terbangun sesiang ini. Sedangkan Abel dia tetap memejamkan matanya meskipun sudah terbangun dari tadi. Ia malu untuk sekedar menatap wajah Leon, Abel bahkan menahan perutnya yang sudah berbunyi sejak tadi. Leon terkekeh, ia sadar jika Abel hanya pura-pura tidur karena itu dia ingin mengusilinya kembali. "Aku lapar sayang, kalau kamu nggak bangun-bangun ganti kamu yang aku makan. Aku masih kuat loh," bisik Leon sembari mengecup leher Abel pelan. Abel menggeliat menjauh menutup kepalanya dengan selimut. "Kamu makan duluan sana, aku masih ngantuk, Leon!" ucap Abel dengan suara lirih. Ia sangat berharap Leon segera pergi, agar Abel bisa segera membersihkan dirinya. "Aku maunya makan sama kamu, udah siang loh ini. Emang kamu nggak mau mandi? Tubuh kamu nggak leng
"Kamu suka?" Abel mengangguk pergelangan tangannya tak terlepas dari tangan Leon. Keduanya sudah tidak lagi merasa canggung meskipun terkadang Abel masih merasakannya. Abel mengajak Leon berhenti di pinggiran pantai, menunggu senja yang sebentar lagi akan tiba. "Leon, kamu tahu? Pantai selalu menjadi saksi kebahagiaan aku dengan keluargaku. Aku kangen banget sama ayah, kangen banget sama mama." Abel tersenyum tipis. "Kamu mau ketemu sama mama? Kalau ternyata mama kamu masih hidup gimana, By?" Abel menggelengkan kepalanya. "Mungkin aku senang, tapi hal seperti itu nggak akan mungkin terjadi Leon. Kalau mama masih hidup, mama nggak akan biarin semua ini terjadi sama aku. Mama aku sayang banget sama aku, mama nggak akan biarin aku terluka. Kalau benar mama masih hidup, mama pasti akan langsung nemuin aku." Abel menghapus air matanya yang mengalir. "Maaf, udah bikin kamu jadi sedih. Luka karena kematian sampai saat ini memang belum ada penawarnya. Tapi sekarang kamu punya aku, aku sua
"Kau dari mana?" Leon langsung memeluk tubuh Abel erat, ia tak mengucapkan apa pun. Namun, pelukannya pada tubuh Abel semakin erat. Tangan Abel perlahan naik mengusap punggung Leon pelan. Entah apa yang terjadi Abel tidak mengerti. Namun, saat ini ia merasa jantung Leon berdetak sangat kencang. "Apa yang terjadi Leon? Apa semuanya baik-baik saja?" Leon tetap diam, tanpa sadar air matanya mengalir begitu saja. "Kenapa dia meninggalkanku Abel? Apa salahku? Apa dia memang tidak pernah menginginkanku?" Leon menyembunyikan wajahnya di bahu Abel. Namun, Abel dapat merasakan jika bajunya basah. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang di maksud Leon. Abel tetap membiarkannya dia akan menunggu sampai Leon sendiri yang menjelaskannya. "It's okay, sekarang kamu punya aku. Apa pun yang terjadi kamu bisa cerita semuanya sama aku!" ucap Abel. Leon melepaskan pelukannya menatap lekat ke arah Abel. Saat itu Abel dapat melihat air mata Leon yang mengalir di wajah tampannya. Pri
"Leon kamu gila!" ucap Abel tak habis pikir, bagaimana bisa Leon memberikan persyaratan seperti itu kepada Kakek Abi. Leon tersenyum tipis, ia terlihat santai tidak setakut Abel saat ini. "Why, baby? Kamu nggak perlu secemas itu, apa salahnya memberikan cucu kepada Kakek?" tanya Leon tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Leon, punya anak itu nggak segampang yang kamu pikirin. Kalau sampai aku nggak hamil juga gimana? Tiga bulan itu waktu yang singkat, kamu bisa kehilangan semuanya!" ucap Abel kesal. Leon mendekat ke arah Abel mendorong tubuh mungil itu sampai terjatuh ke ranjang. Leon mengukung tubuh kecil Abel, matanya menatap lekat ke arah Abel. Tangan Leon mengusap rahang Abel lembut. "Jika aku kehilangan semuanya apa kau akan meninggalkanku?" tanya Leon dengan suara beratnya. Abel menatap Leon lekat dengan mantab ia menggelengkan kepalanya. "Aku nggak akan pernah ninggalin kamu, Leon. Walaupun nanti kamu jadi gembel sekalipun aku akan tetap ada di samping kamu. Tapi aku tetep ngg
Hari ini akan menjadi hari pertama Abel kembali melanjutkan kuliahnya. David sudah mendaftarkannya beberapa hari yang lalu. Abel sudah siap, ia terlihat cantik dengan jepit rambut yang dia gunakan. Abel membangunkan Leon mengusap punggungnya lembut. "Sayang, ayo bangun. Kamu harus ke kantor aku juga harus berangkat kuliah!" bisik Abel. Ia menatap lekat wajah pulas Leon yang terlihat sangat tampan. Tangannya mengusap rambut lebat Leon perlahan, Abel semakin mendekatkan wajahnya ia semakin mengagumi ketampanan suaminya. "Suamiku yang ganteng, ayo bangun!" bisik Abel kembali. Leon masih tetap memejamkan matanya, Abel yang gemas sendiri karena Leon tidak segera bangun dengan sengaja menjepit hidungnya hal itu membuat Leon kesusahan untuk bernapas. "Sayang, kamu gila!" Leon langsung terbangun dengan nafas yang ngos-ngosan, Abel justru tertawa melihatnya. "Siapa suruh kebo banget di banguninnya." Tidak langsung bangun dengan wajah yang kesal Leon kembali membaringkan kepalanya pada pah
"T-tuan Leon." Tuan Abra terlihat sangat terkejut melihat kedatangan Leon, dia buru-buru mendorong wanita itu agar pergi dari ruangannya. Namun, dengan cepat Leon menahannya. "Tetap di tempatmu, selangkah kau berani bergerak hancur hidupmu!" ancam Leon. Matanya menajam, rahangnya mengeras, terlihat jika Leon teramat sangat marah saat ini. Pria tidak bertanggung jawab yang makan gaji buta darinya, berani sekali dia bermain-main dengan Leon. "Apa hukuman yang pantas untuk Anda terima, Tuan Abra yang terhormat? Anda bahkan berani bermain api di belakang Nyonya Martha!" sinis Leon. Dia paling benci dengan perselingkuhan, terlebih istri dari Tuan Abra sudah dia anggap sebagai ibunya sendiri. Tuan Abra seketika berlutut di hadapan Leon menyentuh kaki Leon memohon ampunan. "Maafkan saya Tuan Leon, maafkan saya. Dia yang menggoda saya terlebih dulu!" ucap Tuan Abra menuduh perempuan itu. "Enak aja, bapak duluan yang mulai, bapak bilang kalau saya bisa muasin bapak. Bapak mau naikin jabata
Abel menatap tampilan wajahnya di cermin wajahnya terlihat sangat merah, senyum di bibirnya merekah. Ia semakin yakin akan rasa cinta Leon kepadanya. Abel menyentuh dadanya yang berdetak sangat kencang. "Bisa-bisanya aku salting sama ucapan Leon!" ucap Abel sembari menepuk pipinya singkat, ia segera membasih wajahnya dan kembali menemui Leon. Abel melihat setiap meja mencari keberadaan Leon, tak kunjungan menemukannya Abel memutuskan untuk bertanya pada pelayan di sana. "Mbak, meja atas nama Abel sama Leon di mana ya?" tanya Abel. Pelayan itu tersenyum lalu menunjukkan jalannya. Sampai di sana Abel merasa bingung saat tidak mendapati keberadaan Leon di sana. "Leon kemana? Kok dia nggak ada di sini, nggak mungkin kan kalau aku di tinggalin gitu aja sama dia?" Heran Abel. Makanan sudah tersaji banyak di sana, hanya saja Abel tidak dapat menemukan keberadaan Leon. Dia mencoba menghubungi ponsel Leon pun tidak di jawab. Abel menghela napas panjang beralih menghubungi David. "David, L
Leon tak melepaskan genggaman tangan Abel sampai mereka masuk ke dalam rumah. "Aku mau ke kamar mandi dulu, kamu duluan aja ke meja makannya," ucap Abel. Leon mengangguk, ia yang tadinya akan duduk di meja makan urung saat mendengar percakapan seseorang di dapur. Dahi Leon berkerut saat melihat Kakeknya bersama dengan pembantu baru yang sangat mencurigakan menurutnya. "Kapan kau sudahi semua ini, jika Leon tahu yang sebenarnya dia justru akan semakin membencimu!" Leon melangkah mendekat, apa maksud dari ucapan kakeknya barusan. "Apa yang kalian sembunyikan dariku?" Kakek Abi dan juga Marshanda cukup terkejut melihat kedatangan Leon yang tiba-tiba, terlebih saat pria itu mendengar percakapan mereka. "Leon, sejak kapan kamu kembali?" tanya Kakek Abi berusaha mengalihkan pembicaraan, sedangkan Marshanda menunduk tak ingin Leon mencurigainya. "Apa yang kalian bicarakan?" tekan Leon, matanya menatap tajam ke arah pembantu baru itu, sejak pertama kali bertemu Leon memang merasa ada ya