Ale dan Alca jadi malu pasca ciuman itu. Karena yang mulai dulu Alca, tentu saja dia yang paling malu ketika melihat Ale. Namun, Alca berusaha untuk tetap tenang. Dia yang biasanya jarang makan di rumah, tiba-tiba mau makan di rumah. Berada dalam satu meja dengan Ale. Agar tidak terlihat menghindar dari Ale.‘Setelah menciumku, dia tenang sekali.’ Dibanding Alca, Ale jauh lebih tenang. Tak tampak guratan malu sama sekali di wajahnya.“Siapa yang masak?” tanya Alca tanpa menatap.“Aku,” jawab Ale. Tadi setelah berenang Ale memang menyempatkan masak. Dia pikir Ale tidak akan makan, ketika dia yang masak, tapi ternyata Ale duduk manis menunggu makanan selesai disajikan.“Oh ....” Ale membalik piringnya. Bersiap untuk makan.Ale hanya melirik saja. Dia merasa heran karena Alca mau makan masakannya. Padahal biasanya pria itu tidak mau makan sama sekali ketika dirinya yang memasak.Alca segera mengambil makanan masakan Ale. Hanya masakan biasa. Tumis brokoli dengan campuran udang. Ada juga
Ale terus memandangi wajah Dima. Suaminya itu masih di hatinya. “Aku takut, Dim. Takut jika hati ini terbuka oleh orang lain. Apalagi orang itu tidak seperti dirimu. Aku takut ketika kamu yang menjadi acuanku memandang laki-laki, aku berharap laki-laki itu sepertimu.”Saat Alca menciumnya tadi sore, nyaris hati Ale luluh. Jantungnya berdegup kencang ketika mendapati ciuman Alca. Dia merasakan degupan itu mirip ketika Dima menciumnya untuk pertama kali. Namun, Ale segera menepisnya.Saat bertemu Alca di meja makan, Ale berusaha untuk tetap tenang. Dia merasa jika perasaan tadi sore hanyalah perasaan terkejut saja. Bukan perasaan jatuh cinta.Tepat saat tuduhan Alca layangkan padanya baru saja. Akhirnya Ale sadar jika memang perasaannya tadi sore hanya keterkejutan saja. Karena memang di hatinya hanya ada Dima. Tidak ada orang lain.“Kamu adalah tempat ternyaman aku.” Ale memeluk erat foto Dima.Di kamar yang berbeda, Alca kembali membuka buku diary Dima. Dia ini tahu seperti apa Ale.
“Sebenarnya Kak Alca mau membawaku ke mana?” Ale terus bertanya mau ke mana Alca membawanya. Dia menatap pria yang sedang fokus menatap jalanan di depannya itu. “Kamu akan tahu nanti.” Sayangnya, Alca tidak mengatakan apa pun. Dia memilih menyimpan rapat ke mana dia akan membawa Ale. Tentu saja jawaban Alca itu membuat Ale memilih untuk diam saja. Terserah Alca mau membawanya ke mana. Karena malas terus bertanya, tetapi tidak mendapati jawaban dari Alca. Ale memilih memerhatikan jalanan di depannya. Saat pandangannya menyapu jalanan, dia menyadari jika jalanan itu tidak asing. Jalanan itu adalah jalanan ke kampus Dima. “Kenapa kita lewat sini?” Ale menatap Alca yang masih sibuk dengan jalanan. “Kita akan ke suatu tempat.” Alca menjawab tanpa menatap Ale sama sekali. Ale hanya menekuk bibirnya. Alca tidak mau sama sekali memberitahunya ke mana mereka pergi. Dia memilih diam untuk menunggu saja di mana mobil akan berhenti. Akhirnya mobil berhenti juga. Ale membulatkan matanya ke
“Iya tetap makan.” Ale dengan polosnya menjawab. Alca semakin dibuat tercengang. Tentu saja dia bertanya-tanya. Kenapa harus Ale mengatakan seperti tadi jika pada ujungnya tetap makan di sana juga. Seperti kata-kata Ale sia-sia saja diucapkan. “Ayo.” Ale mengajak Alca untuk segera masuk. Dengan segera Ale mengayunkan langkahnya. Alca dengan pasrah mengikuti Ale di belakangnya. Ale kembali terhenti ketika nyaris masuk warung makan tersebut. Gerakkan tiba-tiba Ale itu membuat Alca hampir saja menabraknya. Beruntung Alca dapat mengendalikan tubuhnya dengan baik. Jadi dia tidak sampai menabrak Ale. Ale melihat warung ketoprak langganannya. Ada terselip rasa rindu pada Dima. Hanya dengan Dima, dia sering pergi ke tempat ini. Namun, kini dia pergi dengan orang lain. “Ke—“ Baru kalimat itu nyaris keluar dari mulut Alca. Namun, segera buru-buru diurungkan ketika mendengar embusan napas berat dari Ale. Alca memerhatikan Ale yang sedang menatap ke arah warung ketoprak. ‘Pasti dia sedang
“Rasanya tidak enak.” Ale menjelaskan apa yang menjadi alasannya menangis. Alca membulatkan matanya. Dia pikir Ale menangis karena teringat dengan Dima. “Lalu mau bagaimana? Aku pesankan lagi?” Alca jelas bingung. Tidak tahu harus melakukan apa lagi. Tanpa menunggu jawaban Ale, Alca langsung menghampiri penjual ketoprak. Kebetulan sekali bapak yang jualan ada. “Pak tolong buatkan satu lagi.” Alca meminta penjual ketoprak untuk membuatkan lagi ketoprak. “Baik, Mas.” Alca segera kembali ke meja di mana Ale berada. Istrinya itu masih menangis. Dia hanya memandangi makanannya. “Tenanglah, sudah dibuatkan lagi. Tadi ada bapaknya. Jadi kamu akan makan ketoprak buatan dari bapak penjualnya langsung.” Alc mencoba menenangkan Ale. Ale masih menangis. Dia benar-benar merasa begitu sedih sekali karena rasanya tak sesuai dengan bayangannya. Walaupun sejak awal dia sudah tahu, tetap saja dia ingin menangis. Akhirnya ketoprak yang diminta Alc datang juga. Ale melihat yang menyerahkan bapak
B“Aku tidak mau melihatmu menangis.” Alca sejak tadi melihat Ale menangis dua kali. Jadi dia tidak mau melihat untuk ketiga kalinya. Ale mengingat jika tadi dua kali menangis. Mungkin itulah alasan Alca tidak mau melihatnya menangis lagi. “Maaf, Kak.” Ale merasa bersalah membuat Alca melihatnya terus menangis. “Kenapa harus meminta maaf?” tanya Alca. “Karena membuat Kak Alca melihat aku menangis terus.” Ragu-ragu Ale menjelaskan alasan pada Alca. Alca hanya mengembuskan napasnya. Niatnya bukan tidak suka melihat Ale menangis, tapi justru karena tidak tega melihat Ale. Namun, Alca malas jika harus menjelaskan. “Sudah pakai sabuk pengamanmu!” Alca malas jika harus berdebat lagi. Nanti yang ada pikiran Ale ke mana-mana. Ale segera menarik sabuk pengaman. Melingkarkan di tubuhnya. Tak mau melawan apa yang Alca katakan. Mendapati Alca yang sudah memakai sabuk pengamannya. Alca segera melajukan mobilnya. Membawa Ale pulang. Di dalam mobil hanya ada keheningan. Alca fokus pada jala
“Kak Ale sedang apa?” Ale memundurkan tubuhnya. Ingatannya kembali pada ciuman kemarin yang dilakukan oleh Alca. Ciuman itu juga berawal dari saling pandang. Spontan Alca segera menarik tangannya yang berada di leher dan kaki Ale. Dengan gerakan cepat Alca memudurkan tubuhnya. Namun, siapa sangka jika gerakan Alca yang terlalu cepat membuat kepalanya terbentuk pintu mobil. Karena cukup kencang, kepala Alca sudah seperti bola- membal. Sampai-sampai kepalanya menabrak sesuatu di depannya. Alca merasakan wajahnya menabrak dua gundukan milik Ale. Terasa begitu kenyal sekali saat wajahnya menabrak. Tentu saja itu membuatnya begitu terkejut. Alca sudah sering melihat dua gundukan milik Ale itu. Ukurannya cukup besar, mungkin karena Ale sedang hamil. Jadi berbeda dengan wanita pada umumnya. Sesekali memang Alca tergoda. Maklum, Alca hanya pria biasa yang dipenuhi gairah. Jadi wajar jika tergoda dengan gundukan yang menonjol dari tubuh Ale itu. Namun, dia bisa menahannya dengan cara menghin
Ale langsung menutup pintu ketika sampai di kamar. Napasnya terengah ketika jantungnya berpacu begitu cepat. Rasanya seperti baru saja berlari. Ale memegangi dadanya yang berdegup kencang. “Kenapa aku begitu berdebar-debar?” Ale benar-benar takut dengan perasaan ini. Dia belum mau mengganti Dima di dalam relung hatinya. Namun, perasaan aneh itu terus menyusup masuk ke hatinya. Membuatnya bingung dengan perasaannya sendiri. “Aku tidak boleh terlalu terbuai.” Ale berusaha menyakinkan hatinya. Tidak mau sampai hatinya luluh begitu saja. Padahal suaminya belum lama meninggal.Saat memegangi dadanya. Ale teringat bagaimana Alca tadi menempelkan wajahnya di dadanya. Ale benar-benar tidak bisa membayangkan kejadian itu lagi. Ale pun memilih untuk segera mandi. Menyegarkan pikirannya dengan apa yang tadi dilakukan oleh Alca. Di tempat berbeda Alca yang berada di bawah kucuran air mengusap wajahnya yang basah. Seketika ingatannya kembali pada kejadian tadi. Antara menyesal, tapi secara lak