Sepanjang perjalanan menuju kota, Alesha menundukkan kepalanya tanpa ada air mata yang menetes sedikitpun.
Dia menekan dirinya untuk tidak menangis. Alesha juga tidak mengatakan sepatah kata pada Oliver hingga mereka sampai di tempat tujuan."Ayo turun," ajak Oliver turun lebih dulu.Wanita itu mengangguk patuh. Alesha melihat gedung markas yang megah dengan beberapa patung di depannya dan bendera angkatan laut yang berkibar.Oliver mengulurkan tangannya pada Alesha. Ditatapnya dingin telapak tangan Oliver, air matanya ingin menetes tiba-tiba."Ck! Kau ingin aku tinggal di sini?!" Oliver memperhatikan Alesha."Tahu begini aku tak akan ikut," ucap Alesha dengan penuh kekecewaan.Sudut bibir Oliver terangkat, dia melirik Alesha yang menggenggam tangannya."Bukankah kau sendiri yang bilang tak masalah bagiku melanjutkan hubungan dengan Susan?"Alesha kembali menyeka air matanya. Di depan gedung markas, dia bisa melihat sang Ayah yang tengah berdiri di sana menatapnya.Saat mendekat, Oliver memberikan hormat pada laki-laki itu. Dengan bangga seorang Laksamana Fredrick menepuk pundak Oliver, menantunya."Kau membawa Putriku juga, Oliver!" serunya tertawa senang."Sesuai perintah, Laksamana!" jawab Oliver.Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk. Oliver menoleh pada Alesha yang kini tertunduk melepaskan genggaman tangannya.Alesha beralih menatap sang Ayah. Nampaknya Fredrick sangat bangga pada Oliver, sangat mengagumi, tanpa tahu seperti apa Oliver di belakangnya memperlakukan Alesha."Putri Ayah, kemarilah nak," panggil Fredrick pada Alesha."Ayah..." Alesha langsung memeluk erat laki-laki itu.Dalam pelukan Ayahnya, Alesha tidak mampu menahan air matanya. Dia menangis dengan kuat dan bibirnya bergetar.Oliver tetap berdiri di sana, di belakang Fredrick ada dua rekan Oliver yang sama-sama menatapnya."Kenapa menangis, hem?" Fredrick terkekeh menangkup kedua pipi Alesha."Tidak papa, Alesha senang bertemu dengan Ayah." Dia tersenyum sekuat-kuatnya."Bagaimana hari-harimu tinggal bersama Oliver, hem?"Fredrick mengira tangisan putrinya adalah tangisan kerinduan. Dia menyeka air mata Alesha dengan ibu jarinya, seorang Laksamana Fredrick selalu memanjakan putri semata wayangnya.Mendengar pertanyaan sang Ayah, iris cokelat Alesha menatap Oliver yang kini berdiri di samping Fredrick."Alesha bahagia, Ayah," jawab Alesha tersenyum manis.Kedua tangan Oliver terkepal melihat senyuman di bibir Alesha."Kapten Oliver terlalu memanjakan Alesha. Di rumahnya, Alesha tidak pernah melakukan apapun. Karana dia tidak mau Alesha lelah dan dia adalah suami yang setia."Wajah Alesha begitu bahagia, meskipun dibaliknya penuh dusta yang besar.Fredrick menoleh pada Oliver, dia tertawa dan menepuk-nepuk pundak Fredrick."Bagus, syukurlah! Kau memang tidak pernah mengecewakan aku, Oliver! Aku mempercayakan kebahagiaan Alesha kepadamu, Kapten Vorgath!""Ayah tidak perlu khawatir lagi ya, Alesha pasti bahagia dengan pernikahan Alesha," ujar gadis itu memeluk lengan sang Ayah.Senyuman di bibir Laksamana Fredrick membuat Alesha ingin menjerit. Namun kenyataannya dia ikut tersenyum dan menganggukkan kepalanya.Fredrick menepuk pundak sang menantu dengan perasaan puas."Terima kasih Kapten Oliver, aku bangga padamu. Terima kasih sudah menyayangi putriku, aku yakin dia akan menjadi istri yang baik untukmu. Percayalah!"Mata sebiru lautan itu menatap Alesha yang berpura-pura bahagia, dia tidak tahu betapa kuatnya Alesha menahan air mata dan kesedihannya.Padahal, mereka berterima kasih untuk sikap Oliver yang begitu buruk, berbanding terbalik dengan apa yang Alesha ceritakan pada sang Ayah saat ini. Alesha rela berbohong.**Sepulang dari kota hingga malam hari, Alesha mengurung diri di dalam kamar. Dia sampai tidak berpamitan pada sang Ayah.Kejadian di toko bunga membuatnya merasa sakit. Memang seharusnya Alesha cemburu, tapi rasa itu muncul tak terkendali hingga kini membuat ia bersedih."Nyonya Alesha tidak lupa pesan Dokter Ruby, kan?"Terdengar Bibi Ruitz, wanita setengah baya itu masuk ke dalam kamar menyalakan penerangan kamar Alesha.Seperti biasa dia membawakan makan malam ke dalam kamar Nyonya-nya yang manja."Kandungan Nyonya Alesha sangat lemah, Nyonya tidak boleh banyak pikiran," imbuh wanita itu, lagi."Dia yang membuatku memikirkan banyak hal, Bibi."Sarung bantal merah muda dalam pelukan Alesha sampai basah.Bibi Ruitz tidak tahu apa yang membuat Alesha seperti ini. Bahkan saat melihat Oliver di lantai satu, Alesha tidak menyapanya sama sekali."Bagaimana... Bagaimana aku bisa bertahan dengan pernikahan ini? Oliver sangat membenciku, Bibi.""Nyonya, Tuan pasti akan berubah, beliau orang yang baik.""Tapi dia tidak akan memaafkan aku, Bibi. Aku sangat merasa bersalah padanya. Bagaimana... Harus bagaimana caranya agar aku bisa dia maafkan?"Telapak tangan Bibi Ruitz mengusap punggung Alesha yang bergetar. Dia sungguh tak main-main merasakan sakit hatinya.Bahkan saat di markas, tak jarang tekan Oliver mengejeknya dan bertanya apakah Oliver sudah jatuh cinta dengannya?Alesha menatap nampan berisi makan malam untuknya."Bawa kembali makanannya, aku tidak lapar," perintah Alesha menolak."Nyonya akan sakit.""Aku bukan wanita yang lemah. Cepat bawa pergi dan biarkan aku sendirian. Kumohon tinggalkan aku," pinta Alesha pada sang pembantu.Bibi Ruitz menundukkan kepalanya, dia kembali membawa nampannya keluar dari dalam kamar.Sebelum pergi, dia memperhatikan Alesha yang berbaring meringkuk memegangi perutnya. Sesungguhnya, Bibi Ruitz merasa sangat cemas akan kondisi Alesha.Perut Alesha terasa nyeri, sangat-sangat nyeri hingga ia berusaha menenangkan dirinya untuk meredakan sakit itu.'Tenanglah nak, Ibu tidak papa. Ibu tidak akan menangis lagi... Tidak papa,' batin Alesha berkata. Telapak tangannya dengan lembut meraba kulit perutnya yang terasa nyeri dan kaku.Pintu kamar terbuka kembali, Alesha mengembuskan napasnya payah untuk hal itu."Bi, sudah aku bilang, aku tidak ingin makan!" Alesha menyentak tanpa menatapnya."Apa ini bentuk protesmu?"Suara Oliver membuat kedua mata Alesha melebar seketika. Dia langsung menoleh ke belakang di mana Oliver berdiri membawa sepiring makanan di tangannya.Alesha terduduk sebelum keningnya mengernyit menahan nyeri di perut bagian bawahnya."Aku tidak lapar, Oliver." Alesha menolaknya."Dasar wanita manja. Apa kau ingin anakmu kelaparan?!" Oliver menyerahkan piring makanan itu pada Alesha.Menyangkut anak, Alesha meraih piringnya. Dia mulai memakan satu suap tanpa nikmat sama sekali.Oliver duduk di sampingnya, laki-laki itu menyunggar rambut pirangnya dan meletakkan sarung tangan putihnya di atas nakas."Kenapa kau membohongi Ayahmu dan mengatakan kalau kau bahagia?" tanya Oliver, dia merebut piring dan sendok di tangan Alesha."Apa yang kau lakukan?" Alesha memprotesnya saat Oliver menyuapinya."Jawab pertanyaanku, Alesha."Alesha mengangguk. "Karena aku tidak ingin membuat Ayahku kecewa pada orang kepercayaannya."Senyuman Oliver terukir jelas di bibir tipisnya. Dia mengulurkan tangannya menyuapi Alesha lagi, sungguh Tuan putri yang manja."Cih, Ayah dan anak yang dramatis."Tatap mata Alesha menjadi dingin. Ia menghalau tangan Oliver yang hendak menyuapinya untuk ketiga kali."Sekarang katakan padaku, kenapa kau mau menyuapiku?!" tanya Alesha dengan suara parau.Oliver meletakkan kembali piringnya, kini telapak tangan besarnya bergerak lembut menyusup ke belakang leher Alesha. Menarik tengkuknya dengan lembut hingga wajah mereka menjadi sangat dekat.Laki-laki itu tersenyum tipis."Karena aku kasihan padamu, dan aku ingin tahu, sejauh mana kau akan berjuang ingin menjadi istri yang baik untukku!""Istri yang baik untuk Oliver, dia ingin tahu sejauh mana aku bertahan." Alesha tersenyum tipis mengucapkannya. Gadis itu tak kunjung bisa tidur, Alesha terus kepikiran dengan kata-kata Oliver yang membuatnya tak tenang. "Aku harus mulai dari mana? Dia membenciku," lirih Alesha lagi, dia menggigit jemarinya cemas. Kembali Alesha terbangun, dia berjalan keluar dari dalam kamar. Langkahnya mengantarkan Alesha ke lantai satu, ia melihat Oliver yang berbaring di sofa seorang diri. Alesha terdiam menatapnya, dia berjalan tanpa suara mendekat dan sedikit membungkukkan badannya ingin menyentuh kening Oliver. 'Aku pikir dia akan tidur di tempat kekasihnya, tapi mungkin malam ini Oliver akan tidur di rumah.' Senyuman Alesha mengambang, wanita itu melangkah masuk ke dalam kamar di lantai satu. Dengan sengaja Oliver kembali membuka mata dan menatap punggung gadis itu, dia berpikir apakah yang akan Alesha lakukan. Sampai akhirnya Alesha kembali, dan Oliver kembali menutup mata. Ternyata g
"Malam ini musim dingin pertama tahun ini, aku ingin membelikan hadiah untuk istriku. Bagaimana denganmu, Kapten Oliver?" Seruan itu terucap dari bibir rekan Oliver, dia adalah Laverd. Yang kini berjalan berjajar di samping Oliver begitu mereka keluar dari dalam markas. "Heem, salju bahkan sudah turun." Oliver menengadahkan satu tangannya. "Dan kau ingin membelikan Nona Alesha hadiah apa?" tanya sang sahabat. "Kalian pengantin baru, kan? harus serba romantis." Wajah Oliver menjadi datar, dia mengingat wanita yang kini menjadi istrinya itu sedang hamil anak laki-laki lain. Namun mengetahui kalau Alesha hanyalah seorang korban, Oliver merasa sedikit kasihan pada Alesha. "Hoi... Kenapa kau malah diam, Kapten," seru laki-laki di sampingnya itu. Oliver menatapnya dan berjalan menuju mobil berwarna hitam miliknya. "Entahlah, aku tidak memikirkan itu." "Bagaimana bisa? Kau tidak mencintainya?!" seru Laverd dengan nada bersungut. "Tentu saja aku mencintainya, dia milikku, dia wanita
"Tidur denganku?" Oliver mengerutkan keningnya dengan kepala sedikit miring menatap Alesha yang terdiam seperti anak kecil menanti jawaban. "Kalau kau tidak mau juga tidak papa, aku tidak memaksamu. Dengan kau bermalam di rumah, aku sudah senang," ujar Alesha tersenyum. Helaan napas terdengar dari bibir Oliver, dia mengangguk pelan dan melangkah mendekati ranjang dengan sprai merah muda, warna kesukaan Alesha. Oliver melepaskan manset lengan seragamnya, ia melepaskan dengan santai atasannya di depan Alesha. "Aku akan tidur di sini," ujar Oliver melangkah masuk ke dalam kamar mandi."Iya, kalau begitu aku siapkan pakaian gantimu sebentar." Alesha melanggang keluar dari dalam kamar. Gadis itu melangkah ke lantai satu menuju kamar Oliver. Di sana, Alesha mengambil satu stelan piyama hitam milik Oliver, namun sesuatu terjatuh saat Alesha menarik pakaian itu dan selembar kertas kecil membuat perhatian Alesha teralihkan. "Kertas apa ini?" gumam Alesha meraihnya. Kedua mata gadis it
"Nyonya Alesha butuh banyak istirahat, kondisi kehamilannya sangat lemah, Tuan." Seorang dokter menjelaskan kondisi keadaan Alesha pada Oliver. Sedangkan gadis itu masih terbaring lemah di atas ranjang. Oliver menganggukkan kepalanya, dokter pun segera berpamitan pergi setelah memeriksanya. "Oliver, apa aku sudah boleh pulang?" tanya Alesha saat Oliver mendekat. "Kondisimu masih lemah, jangan bersikeras meminta pulang. Diam di sini dan berisitirahat," ujar Oliver, dia menarik kursi dan duduk di samping sang istri. Alesha menatap seisi ruangan itu, ia mengusap-usap perutnya."Terima kasih ya, sudah mengantarkanku ke sini," ucap Alesha tersenyum tipis. "Aku hanya peduli padamu, bukan anak itu!" jawab Oliver. Tatapan iris birunya membuat nyali Alesha menciut. Oliver duduk bersandar dan bersedekap memperhatikan wajah Alesha dengan tatapan yang sulit diartikan. Keheningan terjadi di antara mereka untuk beberapa saat. Oliver tetap memperhatikan wajah Alesha, menelisik dalam-dalam hi
"Kau yakin hanya ingin membeli bunga mawar saja?" Oliver menatap Alesha yang berdiri di sampingnya memeluk buquet bunga di dalam pelukannya. Gadis itu mengangguk antusias. "Iya, aku ingin ini saja. Sudah lebih dari cukup, Oliver. Ada lagi yang ingin aku minta. Tapi tidak sekarang!" "Ck! Kenapa kau malah banyak maunya?!" sinis Oliver kesal.Laki-laki itu berjalan merangkul pundak Alesha saat seseorang hampir menyenggol tubuh Alesha saat mereka berjalan kaki dan bersalipan dengan seseorang. "Karena aku mau. Kau membelikan Susan bunga, jadi aku ingin bunga juga," jawab Alesha menatap bunga mawar merah di pelukannya. Oliver melirik Alesha yang begitu senang. Dia seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah mainan baru. "Lalu, setelah kemarin aku membelikan hadiah mantel untuk Susan, kau menginginkannya juga? Apa kau lupa kalau Susan siapaku?!" Oliver kembali bersedekap berjalan berjajar dengan istrinya.Alesha menggelengkan kepalanya, sampai tiba-tiba langkah Oliver terhenti
Cukup larut Oliver pulang malam ini, namun tidak biasanya ia masuk ke dalam rumah tidak ada sambutan apapun dari Alesha. Kening Oliver mengerut saat rumahnya terasa amat sangat sepi. "Di mana dia?" gumam Oliver bertanya-tanya. "Tidak biasanya dia tidak menungguku." Oliver melepaskan seragam berwarna navy dengan kancing emasnya. Dia juga meletakkan topi perwiranya di atas meja. "Tuan..." Suara Bibi Ruitz membuat Oliver menoleh ke belakang. Laki-laki itu mengerjapkan kedua matanya. Dia paham akan tatapan Bibi Ruitz saat ini padanya. "Ada apa? Di mana Alesha?" tanya Oliver, perasaannya meminta dia bertanya di mana istrinya kini. "Nyonya... Nyonya Alesha ada di kamarnya." Bibi Ruitz terlihat begitu sedih. "Kenapa? Apa dia sakit?" Wajah Oliver menjadi kaku, iris birunya menajam seketika. "Laksamana Fredrick siang tadi ke sini, maaf kalau saya lancang mendengarkan semuanya. Tapi... Nyonya sedang tidak baik-baik saja. Laksamana Fredrick meminta Nyonya Alesha untuk menggugu-"Ucapan B
"Pemeriksaan kandunganku tiap bulannya membutuhkan biaya, dan aku tidak mau merepotkan Oliver." Alesha menggigit ujung ibu jarinya dan mondar-mandir di teras sejak tadi. Wajahnya serius dan tengah berpikir keras. Sedangkan Bibi Ruitz yang memperhatikannya, wanita itu kebingungan dengan tingkah Alesha seperti anak kecil. "Nyonya, ada apa? Kenapa Nyonya Alesha terlihat resah sekali?" tanya Bibi mendekati Alesha."Iya Bi. Aku stress sekali hari ini..." Alesha menepuk keningnya. "Apa semalam tidur dalam pelukan Tuan masih membuat Nyonya Alesha stress?" Mendengar lelucon yang terucap oleh sang pembantu, wajah Alesha langsung memerah. Dia menggelengkan kepalanya cepat. "Ti-tidak! Tidak begitu!""Lalu, apa yang sebenarnya sekarang Nyonya pikirkan? Nyonya bisa bercerita pada saya." Alesha berdiri menatap taman di pekarangan rumah Oliver. "Bi, aku butuh banyak uang untuk pemeriksaan kandunganku sampai sembilan bulan nanti. Aku tidak mau merepotkan Oliver, apalagi sampai meminta uang pa
Keesokan paginya, begitu Oliver keluar dari dalam kamar dengan pakaian kerjanya. Laki-laki menuruni anak tangga, dia melihat istrinya sedang sibuk dengan beberapa barang-barang yang baru saja dia beli. "Apa saja yang dia beli? Banyak sekali," gumam Oliver lirih. Langkah Oliver mendekati Alesha, dia bersedekap memperhatikan wajah cantik itu nampak serius dengan beberapa kotak-kotak kayu kecil di atas meja marmer. "Jadi kau membelanjakan uang yang aku pinjamkan untuk barang-barang tidak berguna ini? Boros sekali hidupmu!" sinis Oliver dari belakang di pundak kiri istrinya. Alesha tersentak kaget mendengar suara Oliver tiba-tiba, dia langsung membalik badannya dan terpana dengan wajah tampan Oliver. Rambut pirangnya yang sudah tertata rapi. "Aku... Aku tidak boros, aku membeli beberapa bibit tanaman. Kalau salju sudah menipis, aku akan menanamnya!" seru Alesha tersenyum gemas. "Bagaimana kalau bunga-bunga itu mati?" tanya Oliver lagi sembari menyeringai licik dia mendekatkan wajahny