Dara mengeluarkan isi dalam laci tadi, yang berupa obat-obatan. Sebagian ada yang sudah terpakai. Namun, ada pula yang masih utuh. “Obat apa itu?” tanya Laila, yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Dara. “Entahlah, Bu. Mungkin, ini obat-obatan bekas Pak Reswara,” pikir Dara. Pendapat yang masuk akal, berhubung obat-obatan tadi didapat di kamar sang pemilik bangunan megah yang kini telah tiada. “Coba kulihat.” Laila ikut menurunkan tubuh, kemudian mengambil obat-obatan tersebut. Dia mengamati nama yang tertera pada bungkusnya. “Obat apa ini?” tanyanya, seperti pada diri sendiri. “Saya juga tidak tahu, tapi ….” Dara teringat akan sesuatu. “Ya, Tuhan. Apakah ini yang Non Marinka maksud?” pikirnya. Laila menoleh. Dia menatap heran bercampur penasaran pada sang asisten. “Maksudmu?” “Um … Anda masih ingat dengan kejadian waktu ….” Dara menceritakan apa yang dia dengar, antara Marinka dengan Lena secara detail. “Saya lupa membe
“Dara?” Laila menatap tak percaya pada sang asisten pribadi, yang tengah bicara di telepon bersama seseorang. “Jadi, kamulah yang bernama Rastanty?” Laila berjalan mendekat ke hadapan gadis, dengan baju tidur motif salah satu tokoh kartun terkenal tadi.Dara berdiri mematung, dengan telepon genggam yang masih berada di dekat telinga. “Bu Laila?” ucapnya tak percaya. Dia menelan ludah dalam-dalam. “Kamu ….” Laila menatap tajam. Kembali tebayang dalam benak wanita dua puluh lima tahun tersebut, suara canda diiringi tawa manja di koridor dekat kamarnya. “Apa kamu juga yang suka bertemu diam-diam dengan Mas Pram?” Nada bicara Laila penuh penekanan, terdengar tak bersahabat sama sekali. “Bu Laila, saya ….” Plak!Satu tamparan keras mendarat di pipi Dara, sebelum gadis itu menyelesaikan kalimatnya. Laila terlihat begitu kecewa, atas kenyataan yang dirinya dapatkan saat ini. Dia terlalu percaya pada gadis itu. “Dasar pengkhianat!” bentak Laila penuh amarah. “Kamu memberikan informasi dar
“Kenapa?” bisik Pramoedya. Hangat napasnya menyapu paras cantik Laila, yang langsung memejamkan mata. Wanita itu seperti tengah meresapi, sentuhan lembut bibir berhiaskan janggut tipis Pramoedya di pipinya.Pramoedya sepertinya tak memerlukan jawaban. Karena, dia tak membiarkan Laila mengucapkan sepatah kata pun. Bibir ranum yang terlihat menggiurkan itu hanya terbuka, saat merasakan lidah Pramoedya menelusup masuk, lalu bermain di dalamnya.Laila tak kuasa menolak. Lagi pula, dia tak bisa memalingkan wajah. Kedua tangan Pramoedya menahan kepalanya agar tak bergerak. Mau tak mau, wanita cantik tadi harus mengimbangi permainan sang suami.Hangat dan dalam. Manis, tetapi sangat menggairahkan. Pertautan kedua insan tadi berlangsung selama beberapa saat.“Ah ….” Helaan napas pelan meluncur dari bibir Laila, saat Pramoedya membiarkannya mengambil napas secara leluasa. Namun, itu tak berlangsung lama. Pramoedya k
Laila tak puas jika hanya berkirim pesan. Dia memilih bicara langsung dengan Dokter Hasan. “Jika bukan Anda yang memberikan resep, lalu siapa?” tanya Laila, sesaat setelah dokter kepercayaan Keluarga Hadyan itu menerima panggilan telepon darinya. Istri Pramoedya tersebut memijat pelipis, sambil menunggu jawaban sang dokter. Dia tak habis pikir, karena masalah datang silih berganti dalam hidupnya.“Bisa saja, itu bukan obat milik Pak Reswara,” sahut Dokter Hasan, mencoba berpikir positif.“Jika memang bukan, kenapa bisa ada di kamar ayah saya?” tanya Laila lagi. Nada bicaranya terdengar gamang. Dia teringat akan laporan Dara, yang mengatakan bahwa Marinka sempat mencari obat-obatan tertentu beberapa hari lalu.“Mungkinkah ….” Laila mengamati beberapa jenis obat yang dibungkus dalam empat kantong plastik berbeda. Dia menggenggam erat obat-obatan itu. “Baiklah, Dok. Nanti saya hubungi lagi,”
Laila berdiri mematung, mendapati kenyataan yang dirinya dengar dari Marinka. Dia meremas kencang bungkus plastik obat-obatan yang berada dalam genggaman. Laila tak tahu harus berkata apa, dalam menanggapi pengakuan mengejutkan putri semata wayang Adnan dan Mayang tadi.“Kamu dan Om Reswara sama-sama bodoh, Laila,” ejek Marinka, diiringi senyum penuh cibiran. Wanita muda berambut golden brown itu bangkit, lalu berdiri angkuh di hadapan Laila. Kali ini, Marinka merasa lebih unggul dari kakak sepupunya tersebut. “Aku hanya bisa tertawa dalam hati, saat melihatmu mencurahkan segala kepercayaan terhadap si tua Widura. Kenyataannya, pria itu tak jauh berbeda dengan papa dan mama-ku,” ucap Marinka lagi penuh percaya diri.“Apa saja yang kamu ketahui tentang Pak Widura?” tanya Laila penuh selidik. Dia tak ingin rasa terkejut, membuat dirinya makin terlihat bodoh. Laila tetap menyisakan taring, meski hanya sebelah.
“Apa?” desis Pramoedya seraya bangkit dari duduknya. Dia tak pernah menyangka, bahwa Widura adalah sosok yang licik. “Coba jelaskan lebih detail lagi,” pintanya pada Marinka, dengan nada bicara tak selembut seperti terhadap Laila.Marinka menatap Pramoedya dan Laila secara bergantian, sebelum terkunci sepenuhnya pada sang mantan kekasih. “Tua bangka itu mengancam aku dan papa. Widura mengatakan, bahwa dia bisa membunuh mama sewaktu-waktu bila kami tidak menuruti permintaannya. Itulah kenapa, papa sampai berbuat nekat,” papar Marinka.“Oh, ya?” Pramoedya memicingkan mata. Kali ini, ekspresinya tidak terlalu berlebihan. Pramoedya justru terlihat jauh lebih tenang.“Aku tidak bisa memercayai omong kosong ini." Laila menggeleng kencang.“Kalau tidak percaya, kamu bisa menyelidikinya sendiri,” tantang Marinka. “Dengar, Laila. Aku sudah memberikan informasi penting yang bisa menyelama
Laila terpaku beberapa saat, sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan tadi. Setelah mendengar cerita Marinka tentang Widura, pandangannya terhadap pria paruh baya itu jadi berubah. Jujur saja, dia terpengaruh dan mulai ragu. Walaupun, dirinya belum mendapatkan bukti yang benar-benar valid tentang semua pernyataan Marinka tadi.“Siapa, Sayang?” tanya Pramoedya lembut. Meskipun saat ini hubungannya dengan Laila belum membaik seperti biasa, tapi tak mengubah sikap manis pria itu terhadap sang istri.“Pak Widura,” jawab Laila ragu.“Angkat saja. Katakan bahwa kamu sedang bersamaku sekarang.” Raut wajah Pramoedya seketika jadi serius.Laila tak membantah. Dia langsung menggeser ikon hijau, untuk menjawab panggilan
Semua mata sontak tertuju pada Marinka. Celetukan wanita muda itu memang terdengar keterlaluan. “Kenapa? Apa ada yang salah?” Marinka yang telah menghabiskan setengah dari isi dalam piringnya, meneguk air putih tanpa menghiraukan tatapan aneh yang lain. “Aku hanya mengatakan sesuatu yang memang kerap terjadi di zaman sekarang. Persahabatan jadi cinta, atau cinta segitiga antar sahabat. Lebih parah lagi, jika ada dua pria yang bersahabat dekat mencintai satu wanita. Tak jadi masalah apabila si wanita tidak memilih salah satu.”Naheswari menautkan alis, setelah mendengar ucapan Marinka barusan. Ibunda Pramoedya tersebut memaksakan tersenyum, meski ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik hatinya. “Tante rasa, teorimu tadi tidak berlaku untuk Reswara dan Widura. Buktinya, Widura mendukung hingga sekarang. Sampai Anita tiada, Widura tetap mendampingi Reswara sebagai sahabat sekaligus orang kepercayaan yang banyak membantu. Bahkan, saat Reswara terbaring sakit dalam waktu yang terbilang lama.”