Riska tersenyum, tidak mempedulikan tatapan heran Alex, ia terus melangkah masuk dan mendaratkan tubuhnya begitu saja pada sofa ruangan."Kenapa kau ada di sini?" Alex kembali melayangkan pertanyaan, hingga Riska mau tidak mau harus menjawab, "Kenapa memangnya kalau aku ada di sini? Kau keberatan?" tanyanya."Aku sibuk, Ris, jangan ganggu waktu kerjaku." Alex langsung saja memberi alasan yang tepat, ia yakin jika perempuan itu sebentar lagi akan pergi meninggalkan ruangannya."Lagipula siapa yang ingin mengganggu waktu kerja–mu sih, Lex? Justru aku ke sini karena undangan dari Tuan Arya." Dengan gampangnya Riska berbicara tanpa menghiraukan Alex yang kebingungan."Apa! Kau ke sini karena undangan Tuan Arya?" Mengenyit heran."Ya. Mana mungkin aku berani mendatangi–mu secara terang-terangan ke kantor, jika bukan undangan langsung dari bosmu. Hahah ..." Riska terbahak sendiri. Ia masih duduk dengan santai sembari memainkan ponselnya."Lalu, untuk apa kau ke ruanganku? Bukannya Tuan Arya
Selain melimpahkan tanggungjawab untuk memimpin meeting perusahaan, Alex juga bingung, kenapa Arya sampai mengundang Riska datang. Dan setelah melewati waktu berdua di dalam ruangan yang terasa sesak, kini Alex bisa bernapas lega karena masalah meeting tadi telah selesai dan Riska bisa secepatnya meninggalkan kantor itu.Alex menyandarkan punggung pada sandaran sofa tempat Riska tadi menunggunya, memejamkan mata sejenak, sembari tangannya memijit pelipisnya yang sedikit berdenyut.Kedua matanya kembali terbuka saat mendengar suara pintu terbuka dari luar. Alex yakin jika bukan Arya, pasti–lah sang sekretaris yang datang. Tapi, lagi-lagi ia di kejutkan oleh perempuan itu yang datang lagi. "Lex, apa kau tidak ingin makan siang?" Riska menyelonong masuk ke ruangan Alex, tanpa mempedulikan seperti apa wajah lelaki itu yang sejak tadi menunjuk tidak suka."Astaga ... Riska! Apa lagi sih?" Alex sudah benar-benar kesal. Harusnya ia mengunci pintu ruangannya tadi, agar tidak ada gangguan dari
"Ada apa ini?" Terdengar suara seseorang yang Lia yakini adalah suara sang bos. Gadis pengganti Nabil itu langsung membuka mata, dan beringsut berlindung di belakang Arya."Tuan, saya ..?""Nona Riska, ada apa ini?" Arya masih memandang perempuan itu dengan dahi mengkerut, bingung sekaligus tidak mengerti dengan situasi apa yang sebenarnya tengah terjadi."Tu–an Arya ..?" Riska gelagapan. Ia tidak menyangka jika tindakannya akan di pergoki langsung oleh pemilik perusahaan itu. Beruntung ia belum sempat menjambak Lia dan membuat keributan semakin besar. "Ma–af, saya hanya ..?" Apa yah, tidak mungkin ia terus terang ingin menghajar sekretarisnya tadi, kan?"Saya hanya sedang diskusi dengan sekretaris Anda." Riska lega karena dapat menjelaskan. Selanjutnya ia melirik ke arah Lia sembari memberikan kode pada gadis itu agar tidak membeberkan kejadian yang sebenarnya terjadi."Iy–iya, Tuan. Nona Riska hanya meminta sedikit pendapat pada saya." Meski ia masih ketakutan. Lia tetap memaksakan
Arya masih menjelaskan pada Alex. Meski harus berulang kali, tetap saja lelaki itu malah menganggap ungkapan Arya baru saja hanya lelucon."Tidak mungkin, Tuan. Tolong, jangan buat saya berharap dia akan membantu?" Arya sampai mendesah berkali-kali hanya untuk meyakinkan. Rupanya Alex terlalu pesimis untuk masalah yang satu ini."Lalu, aku harus bilang apa?!" Ingin sekali Arya menonjok wajah Alex yang sekarang terlihat lebih menyebalkan. 'Kalau tidak percaya ya sudah!' Arya memaki sendiri dalam hati."Saya tidak percaya karena punya alasan, Tuan. Saya tahu bagaimana lelaki itu membenci saya dan keluarga saya." Ada yang memaksa masuk dan memenuhi rongga dadanya saat mengingat itu. Bahkan sampai sekarang ibunya belum juga mendapatkan maaf dari Roy."Tapi, aku sedang tidak bercanda, Lex! Roy sungguh bersedia membantu kita. Jika kau tak percaya, tunggu saja nanti sampai dia turun tangan langsung."Ia pikir sejak tadi Arya hanya main-main mengatakan jika Roy mau membantunya. Tapi, syukur
"Siapa yang baru saja menghubungimu?" Suara bariton Dion langsung membuat gadis itu tersadar. Jantung Nabil hampir saja loncat dari tempat sangking terkejutnya. Ia gelagapan sendiri, sampai-sampai ponsel yang ia pegang hendak terlepas dari pegangannya. Beruntung panggilan sudah ia putuskan baru saja. Jika belum, mungkin ia akan menghadapi situasi yang sangat sulit."Tu–an, sejak kapan Anda ada di sini?" Suaranyaa sedikit terbata. Nabil menelan salivanya kasar. Takut, jika sampai lelaki itu mendengar obrolannya tadi."Sejak kau berbicara di telepon tadi."Apa!!!Keringat dingin sudah membasahi tubuh Nabil. Ia panik, ia tidak tahu harus bagaimana. Wajahnya pun langsung pias. Nabil tinggal menantikan apa yang akan di perbuat oleh bosnya itu, jika sampai benar-benar mendengar perbincangannya tadi."Ja–di Anda telah ...?""Aku tidak suka kau bermain-main saat bekerja. Apalagi menggunakan ponsel. Jadi, lain kali kau harus mematikan ponselmu. Mengerti!" Dion mengatakannya dengan tegas. Selan
"Ya. Kau juga akan dapat kesempatan nanti. Mungkin sebelum aku memberikannya pada lelaki itu.""Kau yakin akan melakukannya?" tanya Erick memastikan. Sebelunya ia belum pernah melakukan hal segila ini."Kenapa tidak? Lakukan seolah-olah mereka memang sengaja bertemu!" ucap perempuan itu mantap."Bisa di atur. Asal ...?"Lagi-lagi Riska memutar kedua bola matanya malas. Dasar pria mata duitan!"Masalah uang kau tak perlu khawatir. Apa kau tak mengenal siapa aku?" Riska menyombongkan diri. Ia mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam dompet dan menyerahkannya pada Erick."Wowww ....!" Kedua mata Erick menatap takjub perempuan yang ada di depannya. Ia tidak menyangka jika Riksa adalah pewaris dari salah satu perusahaan besar di negara ini."Apa kau menyanggupinya?" tanya Riska sekali lagi. Rencananya besok ia baru akan memulai melakukan misi itu."Deal!!" Keduanya berjabat tangan sebagai bentuk kesepakatan. Tidak masalah bagi Erick jika malam ini tidak bisa merasakan tubuh indah itu. Toh
'Dia 'kan perempuan itu. Perempuan yang bersama Alex di restoran waktu itu. Dan dia ... ?'Airin masih menatap heran perempuan di depannya. Hingga perempuan yang tengah ia tatap bersuara lagi untuk yang kedua kali. "Kau mendengarku?"Perempuan bernama Riska itu melambaikan tangan di depan Airin, menyadarkan gadis itu akan pertanyaannya tadi."Eh ...! Ya ... apa?" Airin sudah menguasai diri lagi. Ia tidak ingin terlihat gugup di depannya."Apa kita bisa bicara sebentar? Saya membawa pesan untuk Anda." Riska kembali mengulang pertanyaannya lagi."Maaf, Anda siapa? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Airin sengaja berpura-pura tidak mengenal perempuan itu. Meski sebenarnya ia tahu betul siapa dia. Perempuan yang sempat memeluk Alex di depan umum."Oh .. ya, maaf." Perempuan itu tersenyum. Menampakkan barisan giginya yang rapi. "Perkenalkan. Saya Riska." Mengulurkan tangan ke arah Airin.'Jadi, namanya Riska. Cantik! Tapi ... akhhh .. kenapa juga aku harus memujinya.' Airin merutuki bisi
Riska menyesal mengajak gadis itu untuk memperbaiki penampilannya. Bukan karena terlihat jelek, tapi semua yang sudah melekat di tubuhnya malah membuat Airin kerepotan.Gadis itu terlihat tidak nyaman dengan make up serta gaun yang sudah Riska pilihkan untuknya. Apalagi sepatu berhak tinggi yang harus Airin kenakan, semakin membuat gadis itu kesusahan untuk melangkah."Aku sungguh tidak bisa, Nona Riska." Berulang kali gadis itu merengek pada Riska agar boleh melepas sepatu yang ia pakai."No ...!" Kau itu wanita, kenapa tidak bisa berpakaian feminim sama sekali?" Riska sudah mulai kesal. Tapi, ia masih harus bersikap tenang menghadapi sikap Airin."Tapi, kalau nanti malah membuat malu bagaimana?" Airin sadar diri lebih dulu. Untuk melangkah dari butik menuju mobil saja ia sudah kesusahan, apalagi nanti ia harus berjalan anggun dari parkiran untuk menemui Alex."Kau 'kan belum mencobanya? Ayo, semangat!" Riska masih membantu Airin menuju mobil. Dalam hati perempuan itu terus memaki da