"Rum, aku pinjam uangmu dulu tiga juta. Ibu sakit, itu untuk biaya beli obat!" pinta Mas Akmal saat kami baru saja selesai makan malam. Wajahnya begitu sedih dan kebingungan. Pantas saja ia makan sedikit sekali malam ini, bahkan makanannya masih bersisa di piring."Hah, Ibu sakit? Sakit apa, Mas?" Aku tercengang karena setahuku Ibu tidak punya riwayat penyakit apa pun. Paling hanya sering pusing dan sakit kepala, itu pun jika sudah masuk tempo pembayaran hutang."Ibu menderita diabetes. Dia harus rutin cek gula dan mengkonsumsi obat-obatan agar tidak semakin parah," keluhnya begitu khawatir. Mas Akmal sangat dekat dengan Ibunya, wajar jika ia begitu cemas, bahkan lebih cemas daripada melihat aku yang sakit.Aku memang sering mendengar orang-orang seusia Ibu menderita penyakit diabetes, bahkan beberapa penderita yang penyakitnya sudah parah maka penglihatannya akan terganggu. Biasanya mata mereka akan mengalami penurunan dan tubuh juga semakin kurus. Bahkan beberapa anggota tubuh yang
Sebelum azan subuh, aku sudah bangun untuk memasak dan merapikan rumah. Karena hanya sendirian di rumah, aku memasak nasi goreng untukku dan hanya untuk porsi sekali makan saja. Seperti biasa, aku hanya menanak nasi dan untuk makan siang aku akan membeli lauk saja di warung langgananku.Kupercepat kegiatanku memasak saat suara azan subuh berkumandang dari satu-satunya masjid di desa ini. Kusucikan anggota tubuh dengan air wudhu untuk segera menunaikan ibadah dua rakaat tersebut.Kuhamparkan sajadah ke arah kiblat lalu memulai shalatku dengan khusyu'. Kemudian melangitkan doa untuk orang tuaku dan kesembuhan bagi Ibu mertuaku. Berharap Sang Maha Kuasa mendengar doaku dan segera mengabulkannya. Di tangan-Nya lah bergantung setiap makhluk yang bernyawa, Ialah satu-satunya tempat yang diharapkan untuk mengangkat penyakit yang diderita Ibu mertuaku.Setelah itu aku beranjak ke dapur untuk menyantap sarapan pagiku yang masih hangat, kunikmati sendirian bertemankan segelas susu hamil rasa va
"Rum, bangunlah Rum!" Samar kudengar seseorang memanggil namaku dan menepuk bahuku beberapa kali. Aroma minyak kayu putih menyengat ke hidung. Sepertinya seseorang telah mengoleskan begitu banyak ke area hidungku, sampai bibir atasku terasa panas.Ruangan ini sangat asing bagiku. Kucoba untuk memutar kembali ingatan kenapa aku berada di sini, aku melihat Mas Akmal sedang berpelukan mesra dengan wanita berambut pirang di acara peresmian showroomnya. Tapi, kenapa aku malah terbaring di sini? Apa aku bermimpi?"Arum, kamu udah sadar?" ucap suara yang sangat kukenal, ia adalah Mas Akmal, suamiku. Kukedipkan mata beberapa kali untuk menajamkan pandangan. Memperjelas kembali kejadian dalam mimpi yang terasa nyata."Mas, kita di mana?" tanyaku seraya memegangi kepala yang terasa berdenyut."Uhm, kamu kok bisa ke sini sih, Rum?"Bukannya menjawab. Ia malah balik bertanya.Aku kini berada di sebuah ruangan yang mirip kantor. Ada sepasang kursi dan meja yang di atasnya terdapat sebuah laptop.
Entah di mana mereka letakkan akal sehatnya. Bisa-bisanya membohongiku seperti itu. Ingin tampil bergaya di hadapan calon istri Mas Akmal, tapi tidak punya modal dan malah mengandalakan uangku. Jelas-jelas aku korban di sini. Tapi masih juga dimanfaatkan. Dasar edan!"Arum, berikan uangnya!" tuntut Mbak Rima tak tahu malu. Ia terus saja mengejarku."Apa? Kenapa harus uangku, Mbak?""Karena kami sedang tidak punya uang.""Katakan saja pada pemilik salon untuk membayarnya bulan depan. Bukankah kalian sudah terbiasa berhutang?" balasku ketus. Uang ini milikku. Aku tidak sudi memberikannya lagi walau satu rupiah pun."Dasar pelit, untungnya Akmal akan segera menikah dengan Firda. Lihat saja nanti, kau akan menyesal. Jika Firda sudah menjadi menantu di rumah Ibu, semua hutang kami akan lunas, bahkan mulutmu itu akan kami beli nanti," cibirnya begitu jemawa. Memang manusia tidak punya malu, menyombongkan diri dengan harta orang lain. Dasar benalu.Tidak lagi kuperdulikan segala ocehan dan s
"Allah tahu Ibu wanita kuat dan sabar, sehingga Dia ambil lagi apa yang telah dititipkannya di rahim Ibu," lanjutnya lirih dan sangat hati-hati. Disusul isak tangis Ibu dan Bu Yanti. Bagai tersambar petir di siang bolong, lantas aku meratap pilu. Ternyata benar dugaanku, hal buruk telah menimpaku. Setelah aku kehilangan Mas Akmal, kini aku harus kehilangan janin yang seharusnya menjadi penguatku di kala sang ayah menorehkan luka di hidupku."Ya Allah, kenapa Engkau lakukan ini padaku. Kenapa tidak Engkau ambil saja aku bersama anakku," rintihku menangis pilu. Aku meronta di atas tempat tidur berwarna hijau itu. Aku kehilangan kendali dan ingin menarik paksa inpus yang terpasang di tanganku.Hatiku baru saja disayat-sayat, sakit sekali. Kini, bekas luka yang masih basah itu semakin perih, ibarat disiram air garam di atasnya. Perih tak terkira. Bahkan sakitnya tak sebanding dengan kehilangan suami. Ingin aku akhiri saja hidupku yang malang ini."Bu Arum, Ibu percaya takdir 'kan? Tolong
"Akmal, tolong katakan pada Ibu kenapa kamu talak anak Ibu? Tarik ucapanmu, Akmal. Jangan begini," racau Ibu pada lelaki yang masih mengatur napasnya dengan tangan masih terkepal. Ia tetap bergeming, hingga Ibu berpindah pada wanita yang rautnya begitu bahagia."Rima, ada apa ini? tolong jawab pertanyaanku. Mereka tidak boleh berpisah," ucap Ibu memohon, sontak wanita itu menyunggingkan sebelah bibir dan memandang rendah ke arahku.Ibu terus saja bertanya pada semua orang, wajahnya memelas memohon jawaban pada semua orang yang ditanya. Wajar memang jika Ibu seperti itu. Karena sepanjang pengetahuannya, hubungan kami selalu harmonis dan tenteram, sebab aku tidak pernah menceritakan padanya sedikit pun tentang aib rumah tanggaku "Sudahlah, Bu. Ini memang keinginanku, aku tidak sanggup hidup bersama Mas Akmal lagi," sahutku agar Ibu berhenti bertanya. Aku tidak mampu melihat Ibu terus-terusan memohon seolah lelaki itu sangat berharga di hidupku."Arum ini istri yang tidak tahu diuntung,
Aku bertekad akan bangkit dari segala keterpurukan ini. Memulai status baru dengan tekad dan pribadi yang lebih baik. Menyongsong masa depan yang pernah tenggelam akibat meraih cinta yang salah.Pandanganku menyisir pada setiap sudut ruangan rumah. Pengkhianatan yang dilakukan Mas Akmal sehingga mengakibatkan aku kehilangan calon buah hati sudah cukup menorehkan luka dalam dan sakit hati. Caranya menceraikanku dan menjarah isi rumah ini ibarat kembali menabur garam di atas luka yang masih menganga. Perih sekali.Hati yang terlanjur sakit, tak boleh dibiarkan terus berlarut. Terlepas dari Mas Akmal artinya terlepas pula dari segala derita. ***"Apa kabar, Bu?" sapa Pak Zulham saat aku memasuki ruangan guru di hari pertama bekerja setelah melewati cuti sekaligus libur semester kurang lebih tiga Minggu lamanya. "Alhamdulillah, saya baik, Pak." Aku menjawab lalu meletakkan tasku di atas meja. Kemudian bergabung dengan pengajar lain dan saling menanyakan k
Setibanya di rumah, sudah ada dua orang berpakaian serba hitam yang berdiri di depan rumahku. Seram dan menakutkan. Aku tidak pernah melihat mereka sebelumnya. Dari gaya berpakaiannya, aku yakin mereka adalah para penagih hutang."Selamat pagi, Bu!" sapa seseorang yang wajahnya paling menakutkan."Pagi. Ada apa, ya, Pak?" tanyaku heran. Sepanjang ingatanku, aku sudah mendatangi semua orang-orang tempat Mas Akmal meminjam uang. Aku sampaikan pada mereka bahwa semua sangkutan Mas Akmal bukan lagi menjadi tanggung jawabku sejak dilontarkannya kata talak tempo hari. Tapi mereka? Aku sama sekali tidak tahu siapa kedua lelaki bertubuh tegap ini."Perkenalkan, Bu. Saya Romi. Kami DC dari Koperasi Dompet Hitam, datang ke sini untuk menagih cicilan Pak Akmal yang sudah tertunggak selama empat bulan. Kami sudah memberi peringatan dan tempo baginya untuk menyicil, namun sepertinya yang bersangkutan sengaja lari dan tidak ingin bertanggung jawab. Ia bahkan memblokir kontak kami," papar lelaki itu